NEGARA TANPA SAYAP
Oleh:
Richard Christian Sarang, S.Fil*
Hari peringatan proklamasi kemerdekaan
negara kita tahun ini sungguh mencemaskan, diwarnai dengan keprihatinan yang
cukup mendalam, berbagai peristiwa menyedihkan. Masih jelas dalam ingatan kita,
beberapa waktu lalu di Jawa Barat, sekelompok orang (yang katanya sebagai warga
negara yang baik dan ramah), begitu membabi buta membakar serta
membumihanguskan area pemukiman warga lain dengan dalil-dalil tertentu. Juga
tragedi Morowali-Sigi Sulawesi Tengah, yang memakan korban jiwa. Di sana,
beberapa nyawa juga melayang. Terkini adalah peristiwa Sampang-Madura. Lebih ironisnya
lagi, berbagai tragedi kemanusiaan tersebut mewarnai hari-hari terakhir saat
ini, yang mana sebagian besar anak bangsa, sedang merayakan hari raya Idul Fitri. Kenyataan-kenyataan ini kiranya sudah cukup
bagi kita, untuk melihat kembali serta merefleksikan sejauh mana rasa
masyarakat-bagsa kita sudah terjadi. Sejauh mana karakter komunitas keberagaman
kita telah tercipta? Apakah semua itu
sudah menyadarkan kita yang lain akan kelam dan suramnya masa depan serta
ke-Indonesia-an kita saat ini?
Tertulis jelas dalam memori kebanyakan anak
negeri, akan cita-cita luhur bangsa ini, yang tertuang dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar negara kita. ”Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan
di dorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.” Sungguh luar biasa cita-cita ini. Tentu,
kemerdekaan yang dimaksud oleh founding fathers kita adalah dalam segala aspek
kehidupan, dalam kebersamaan dengan berpayungkan pelangi keanekaan. John
Gardner, seorang pemikir abad ini pernah mengatakan: “tidak ada bangsa yang
dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika
tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna
menopang peradaban besar”. Artinya, kalau satu bangsa selalu menaruh curiga
terhadap yang lain, maka tak ada jalan untuk mencapai satu bangsa yang besar.
Indonesia Negara Bangsa?
Perjalanan (baca:
usia) bangsa Indonesia sudah begitu jauh. Bertahannya kondisi ini, tentu
dipengaruhi serta disemangati dengan
falsafah bangsa kita, yakni Pancasila. Sila-sila dalam Pancasila, seyogyanya
menjadi perekat, pemersatu, pengayom dan juga sebagai pandangan hidup bersama
sebagai masyarakat bangsa. Tetapi, cita-cita tersebut sudah kita lalaikan saat
ini. Kenyataan termutakhir, kita seolah-olah kehilangan identitas dan jati diri
sebagai perekat perbedaan. Indonesia negara bangsa tak tersetuh oleh
pilar-pilar konstitusi, karena kuatnya paham sempit primordial kita.
Pancasila sebagai falsafah bangsa
serta fondasi kehidupan kebersamaan lebih sering hanya dipajang tanpa makna.
Rasa kebersamaan dalam keanekaan, terendus jelas menunju titik nadir
kehancuran. Lebih senang kita mencederai keberbedaan, dengan saling menghakimi,
secara mem-babi buta. Tragedi kemausiaan yang terjadi akhir-akhir ini, menguatkan
hipotesa saya akan kehancuran keberadaban bangsa ini. Semangat negara-bangsa,
yang dicita-citakan pendiri bangsa ini, yang beranekaragam suku, ras, golongan,
kepercayaan dan agama, terasa hanya fatmorgana dan slogan tanpa makna. Lebih
parahnya lagi, harapan luhur bangsa kita yang tertuang dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, sering dipermainkan dalam adegan politik yang penuh
dengan kemunafikan dan keangkuhan orang dan kelompok orang tertentu.
Oase negara bangsa hilang arah.
Kelompok-kelompok dengan ekstrim tetrtentu, tidak lagi memberikan rasa aman di
tengah saudara-saudaranya. Seakan paham kita paling benar dan secara naif
menuduh yang lain. Lebih sering bertahan, bahwa agama kita yang benar, men-judge
agama lain sebagai kafir. Sungguh, satu
kecelakan maut yang luar biasa. Kapan kita harus bangkit? Padahal pengalaman
kemajuan sebuah bangsa, seyogyanya dibentengi oleh karakter yang kuat dalam
membina hubungan, menjalin kerja sama, serta saling menghargai. Tanpa kehilangan
perbedaan, tidak dengan menyeragamkan warna kehidupan. Toh, kita semua memang
diciptakan dalam kerangka perbedaan dan keanekaan.
Kehilangan Arah: Terbang Tanpa Sayap
Rasanya sulit bagi kita untuk merajut kembali indahnya
cita-cita para Proklamator. Mereka dengan tegas dan dengan rasa kekeluargaan
mencari “jalan terbaik” bagi terbentuknya negara ini. Pancasila sebagi sayap terkuat yang mematenkan
rasa kebersamaan dalam keanekaan, kini berada dalam tabir kegelapan, yang bukan
tidak mungkin akan diporak-porandakan oleh kaum yang ingin mengoyak merah
putihnya Indonesia.
Kekerasan hati dan pendirian kelompok
teretentu, sedang menyeret keharmonisan yang pernah ada di negeri ini menuju
kehancuran. Kesatuan dalam keanekaan itu sudah mulai hilang. Toleransi di
antara sesama masyarakat bangsa terkikis. Bangsa kita mulai kehilangan arah,
sayap-sayap perekat sudah mulai patah dan hancur. Karena kita terlanjur membiarkan
onak kecurigaan merajalela. Dan akhirnya, kita masuk dalam kategori
negara-bangsa yang gagal memberi rasa aman dan nyaman bagi
penghuninya.
Mengutip pidato
Proklamator kita, Ir. Soekarno: “ Pancasila adalah satu alat pemersatu
yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke
Merauke, hanya dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Kita hendak
mendirikan satu negara, semua untuk semua.” Saya sungguh yakin, mereka tidak
pernah setengah hati merintis negara ini di atas bingkai keberagaman. Mereka
juga tidak menghalalkan segala cara untuk kelompok sendiri demi mencapai
kemapanan sesaat. Meminjam bahasa Niccolo Machiavelli, filsuf berkebangsaan
Italia,” demi mempertahankan kemapanan, terkadang orang atau kelompok orang
tidak peduli dengan prinsip apa pun, dan mereka melakukan keinginan mereka
untuk memperolehnya.” Para pencetus bangsa ini tidak melakukan hal itu. Tapi
sekarang justru berbeda. Tertutupnya jalan untuk meretas indahnya kebersamaan
dalam keaanekaan. Dan malahan, memuluskan rasa haus-lapar kaum serakah yang tak
lagi memakai logika dan nalar kemanusiaan dalam bertindak. Lalu, mau di bawa ke
mana arah negara-bangsa ini, kalau sayap (payung kontitusinya) tak berfungsi
atau patah?
Toleransi terkikis-rasa aman menjauh: negara (pemerintah) di mana?
Tidak bisa dielakkan lagi, negara tercinta ini terancam
kehilangan masa depan yang cerah. Gambaran masa depan yang adil, makmur,
sejahtera dan harmonis yang dicita-citakan pada 67 tahun
silam justeru “diperkosa” demi kepentingan pribadi, hasrat kekuasaan dan
juga kesenangan kelompok-kelompok tertentu. Peran negara untuk memberi rasa
aman kepada warganya tidak sampai pada titik maksimal. Ada kesan, berbagai
peristiwa kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini seperti yang telah
digambarkan di atas, diakibatkan oleh kurangnya, dan bahkan tidak tegasnya
pemerintah (aparat penegak hukum) untuk menindak orang/ kelompok orang yang
secara brutal melecehkan yang lain. Lebih mengecewakan lagi, terjadi saling
lempar tanggung jawab dan terkesan cuci tangan terhadap setiap peristiwa.
Tak cukup dengan perintah dari pusat.
Karena mental tersebut tidak lebih hanya sebagai pelipur dahaga sesaat (lip
service) dan tidak akan pernah sampai pada titik persoalan yang ada di setiap komunitas
masyarakat. Bagaimana mungkin persoalan membumi-hanguskan komunitas tertentu,
tetapi oleh pemerintah mengatakan perbuatan tersebut justru dianggap sebagai kriminal belaka? Justru saya berpikir,
statement-statement seperti itu hanya akan menyuburkan lahan primordial dan
keangkuhan kelompok tertentu untuk terus menghabiskan (membunuh sesama) secara
bebas dan brutal. Kalau kondisi ini yang terus terjadi, untuk apa pemerintah
ada? Sekali lagi, celaka dan laknat bangsa ini! Dan jelas, negara tidak lagi
menjadi rumah bersama untuk merajut harmoni
dalam perbedaan.
Maka menurut hemat saya, rasa aman
sebagai masyarakat bangsa hanya akan terjaga, ketika kita bisa menjadi sahabat
bagi yang lain. Kehadiran pribadi dan komunitas lain dalam hidup, harus
dipandang sebagai “aku” yang hadir dalam wujud
“dia” atau “mereka”. Dan peran semua pihak, lebih khusus para pengambil
kebijakan benar-benar harus ditingkatkan serta dioptimalkan. Sehingga pada
akhirnya, cita-cita proklamasi tentang negara yang beradab, negara yang adil,
negara yang sejahtera serta negara yang aman, sungguh ada. Jangan biarkan
sayap-sayap pemersatu bangsa ini tersobek oleh keangkuhan dan latenya pikiran
sempit kelompok tertentu. Hidup sebagai satu bangsa dalam rumah bersama, dengan
tetap menyadari perbedaan sebagai
sesuatu yang nyata merupakan hal terindah yang menjadi cita-cita banyak orang.
*Penulis adalah dosen tetap di STK St. Yakobus Merauke