STK ST. YAKOBUS Merauke merupakan Sekolah Tinggi Katolik pertama dan satu-satunya yang terdapat di wilayah Papua Selatan. Sekolah Tinggi ini berada dalam wilayah management Keuskupan Agung Merauke dan secara khusus dikelolah oleh Yayasan Pendidikan Dan Persekolahan Katolik (YPPK) Merauke.
Selasa, 24 April 2012
Jumat, 20 April 2012
Hasil Penelitian Dokumen Quam Singulari (jantje rasuh)
Betapa Istimewanya
(Jantje Rasuh)
Abstrak
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui apakah anak berusia 7 tahun sudah bisa menerima
komuni pertama menurut dokumen Quam Singulari. Penelitian dilakukan di sekolah
dasar Xaverius II Merauke dan SD Mikael Merauke. Subjek peneitian berjumlah 44
orang anak kelas 1 SD Xaverius II Merauke dan 52 anak kelas 1 SD Mikael
Merauke. Hasil penelitian menunjukkan t = 4,785 pada dk = 0,005 untuk SD Xaverius
II, dan t = 2,89 pada dk 0,005. Itu berarti subjek penelitian sudah mencapai
usia akal budi menurut Quam Singulari. Setelah itu penelitian ini dilanjutkan
dengan uji perbedaan antara kemampuan subjek kelas 1 SD Xaverius II dengan
kelas 1 SD Mikael dalam menjawab Quesioner yang diberikan. Subjek dari SD
Xaverius II mendapatkan pengajaran materi persiapan komuni pertama dan subjek
dari SD Mikael tidak diberikan materi tersebut. Hasil uji t menunjukkan t =
2,189 pada dk = 0,005. Itu berarti terdapat perbedaan antara subjek yang
menerima materi persiapan dan tidak. Perbedaannya terletak pada kemampuan
menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan moralitas. Untuk mendapatkan
penelitian yang holistik penelitan ini dilanjutkan dengan survey pendapat orang
tua dan para imam tentang batas usia komuni pertama. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara membagikan angket pada orang tua yang tinggal di Keuskupan Agung
Merauke berjumlah 45 responden, sedangkan para imam berjumlah 9 orang
diwawancarai melalui telepon. Para imam berdomisili di beberapa keuskupan di
Indonesia dan memiliki latar belakang pendidikan dari seminari tinggi yang
berbeda. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa para orang tua dan imam tidak
menyetujui anak berusia 7 tahun menerima komuni pertama karena belum mampu
menangkap makna sakramen. Semoga penelitian ini menjadi bahan acuan dalam
menentukan batas usia atau kriteria seseorang sudah bisa menerima komuni
pertama.
Kata kunci : Anak,
Usia, akal budi, orang tua, imam.
PENDAHULUAN
Sudah
lumrah anak menerima komuni pertama pada usia 9 tahun atau kelas IV SD. Anak
juga perlu memiliki perilaku yang baik, kemudian
dapat menerima komuni pertama. Sedangkan menurut dokumen Quam Singulari (Betapa
Istimewanya) sebaiknya seorang anak sudah bisa menerima komuni pertama pada
usia 7 tahun. Anak usia 7 tahun sudah
dapat membedakan hosti biasa dan hosti kudus, anggur biasa dan anggur kudus,
serta perbuatan jahat dan perbuatan baik. Dengan menerima sakramen anak juga
diteguhkan atau dibimbing kearah yang benar.
Dari
perbedaan antara ajaran geraja katolik (Quam Singulari) tentang komuni pertama
yang dikeluarkan oleh Paus Pius X dengan praktek pastoral gereja katolik di
lapangan penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
gambaran secara statistik apakah anak berusia 6 sampai 7 tahun sudah mencapai
usia akal budi sebagaimana dimaksud dalam dokumen Quam Singulari, yang menjadi
syarat seorang anak menerima sakramen pengakuan dosa dan komuni pertama.
Aspek yang diukur pada penelitian ini
adalah kemampuan anak-anak berumur 6 sampai 7 tahun dalam membedakan hosti
biasa dengan roti kudus, anggur biasa dan anggur kudus, perbuatan baik dan jahat,
serta apakah anak sudah mau menerima komuni pertama dan memiliki rasa hormat
terhadap roti kudus. Kemampuan anak-anak tersebut diukur dengan menggunakan
angket kemudian diuji secara statistik. Setelah itu penelitian ini dilanjutkan
dengan pengujian perbedaan antara anak-anak berusia 6 tahun dan 7 tahun yang
mendapatkan materi persiapan komuni pertama dengan yang tidak mendapatkan.
Untuk mendapatkan penelitian yang menyeluruh penelitian ini juga dilengkapi
dengan survei pendapat orang tua dan para imam tentang syarat menerima komuni
pertama.
Landasan Teori
1. Karakteristik
Anak Berumur 7 Tahun
Para
ahli psikologi menggambarkan karakteristik anak 7 tahun dari berbagai sudut
pandang sesuai dengan kajian bidang penelitian atau mazhab yang mereka anut.
Dalam pembahasan ini karakteristik anak tujuh tahun dapat ditinjau dari faktor
perkembangan, kognitif, sosial emosional, moral dan kepercayaan.
a.
Kognitif
Anak berusia
tujuh tahun sudah mulai menggunakan logika oprasional konkret (concrete operation). Pada tahap ini anak
sudah dapat berpikir dua arah (reversibel)
dan sistem kekekalan (konservasi)
(Piaget, dalam Suparno, 2001). Reversibel artinya anak dapat mengerti suatu
pemikiran logika bolak balik, misalnya dalam penjumlahan 2 + 3 = 5 atau 5 – 3 =
2. Sistem Konservasi adalah pemikiran terhadap suatu objek yang bersifat konstan ketika dipindahkan pada
tempat atau wadah yang lain. Misalnya Air dalam gelas dipindahkan pada dua
wadah yang berlainan bentuk berupa wadah yang panjang (A) dan pendek (B). Wadah
yang pendek lebih lebar akan tetapi memiliki daya tampung volume yang sama
dengan wadah yang tinggi. Anak usia 7 tahun mengetahui bahwa isi pada wadah A
dan B tetap sama meskipun berbeda bentuk. Selain itu anak usia 7 tahun mengerti
bahwa suatu benda meskipun diubah bentuknya, substansi fisiknya tidak berubah.
Misalnya tanah liat dirubah bentuknya menjadi bola namun tanah liat tidak
berubah secara substansi.
b.
Sosial-emosional
Dari sudut
pandang perkembangan sosial emosional anak yang berumur tujuh tahun mulai mengembangkan
sikap rajin dan mempelajari reward
dari ketekunan dan kerajinan (Erikson,
dalam Hall C. S. & Linzey G., Ed. Supratiknya, A. 1993). Perhatian pada minat bermain
berangsur-angsur digantikan dengan perhatian pada alat-alat kerja. Pada periode
ini perkembangan seksualitas anak bersifat laten karena energi psikisnya
diarahkan pada tugas belajar atau pendidikan formal.
Apabila pada
tahap ini anak berhasil mengembangkan sikap rajin maka ia akan mendapatkan
nilai kompetensi. Rasa kompetensi ini dicapai dengan menekuni pekerjaan dan
penyelesaian tugas-tugas. Sebaliknya jika anak gagal mengembangkan sikap rajin
maka ia akan menjadi inferior (Erikson, dalam
Hall C. S. & Linzey G., Ed. Supratiknya, A.1993).
c.
Moral
Anak berumur
tujuh tahun memiliki sistem moral heteronom
(piaget dalam Santrock, 2003). Keadilan dan peraturan adalah hal mutlak yang tidak dapat diubah serta
menjadi patokan atau acuan untuk bertindak. Orientasi moral ini jika dilihat
dari sudut pandang perkembangan moral menurut Kholberg berada pada tahap
orientasi pada hukuman dan kepatuhan (Kholberg, 1995). Seorang anak melakukan
tindakan yang benar karena takut akan hukuman dan patuh pada otoritas.
d.
Kepercayaan
Anak berusia
antara 3 sampai 7 tahun memiliki kepekaan terhadap gerak dan isyarat yang
digunakan orang dewasa dalam mengungkapkan kepercayaannya (Fowler J. W., Ed.
Supratiknya, 1995). Anak pada usia ini peka terhadap dunia misteri dan yang
ilahi serta tanda-tanda nyata kekuasaan. Selain itu anak membentuk gambaran
diri dan imajinasi kekuatan yang melindungi dan mengancam dirinya. Gambaran dan
imajinasi itu akan berpengaruh kuat pada perkembangan kepercayaan selanjutnya.
2. Usia Akal Budi
Dalam
ajaran Gereja Katolik syarat orang menerima komuni pertama sudah merima
sakramen permandian dan tobat. Sakramen
ekaristi diberikan setelah menerima sakramen tobat. Yang menjadi syarat orang
menerima komuni pertama setelah menerima sakramen permandian adalah usia akal
budi. Menurut dokumen Quam Singulari usia akal budi adalah “saat seseorang dapat membedakan antara baik dan jahat,
yaitu ketika seseorang mencapai tahap penggunaan akal budi tertentu, sama saja
halnya untuk komuni kudus, dituntut suatu usia saat seorang anak dapat
membedakan antara roti dari Ekaristi kudus dan roti biasa” (Dokumen Quam
Singulari, Pen. Gloria B. M., 2003).
3. Usia 7 Tahun Dan Quam Singulari
Menurut
dokumen ajaran Gereja Katolik yang dikeluarkan oleh St. Paus Pius X bahwa anak
bersusia 7 tahun sudah dapat menerima komuni pertama yang didahului oleh
sakramen pengakuan dosa, (Dokumen Quam Singulari, Pen. Gloria B. M., 2003). Hal
itu karena anak tujuh tahun sudah dapat mengenakan akal budinya yang juga
menjadi syarat menerima sakramen tobat. Patokan usia akal budi ini berasal dari
pendat St. Thomas Aquinas. Ia mengatakan
bahwa ‘saat anak-anak mulai menggunakan akal budinya sedemikian sehingga mereka
dapat membayangkan, memikirkan suatu
penghormatan kepada sakramen (Ekaristi), maka sakramen ini dapat diberikan
kepada mereka’ (Dokumen Quam Singulari, Pen. Gloria B. M., 2003).
Dalam
perkembangan kognitif anak 7 tahun sudah dapat berpikir konkrit. Dengan
kemampuan pada taraf berpikir konkrit, anak 7 tahun sudah dapat membedakan roti
biasa dan roti kudus. Dengan kemampuan berpikir reversibel dan konservasi ia
kemungkinan besar dapat membuat suatu perbandingan pada dua objek yang berbeda.
Anak tujuh tahun sudah mampu melihat secara konservasi antara roti biasa dan roti kudus. Dalam pemikiran konservasi, secara subtansial
bentuk dan warna dari roti biasa dan roti kudus dalam perayaan ekaristi tidak
berbeda. Tetapi anak 7 tahun mampu menunjukkan perbedaan sikap antara roti
biasa dan roti sudah diberkati. Hal ini didukung oleh kemampuannya yang peka
terhadap tanda dan isyarat yang dilakukan orang dewasa dalam mengungkapkan iman
pada suatu perayaan keagamaan (Fowler J. W., Ed. Supratiknya, A. 1995).
Hipotesis
Hipotesis
dalam penelitian ini adalah anak berumur 7 tahun sudah mencapai usia akal budi
menurut dokumen Quam Singulari. Selain itu juga terdapat perbedaan antara anak
yang menerima materi usia akal budi dengan tidak mendapatkan materi usia akal
budi.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini
adalah penelitian deskriptif kemudian dilanjutkan dengan uji perbedaan hasil
dari dua sampel penelitian. Penelitian deskriptif bertujuan memberikan gambaran
atas hasil yang diperoleh sampel penelitian. Dan penelitian komparatif atau uji
beda ialah memberikan penjelasan mengenai perbandingan hasil dua sampel atau
lebih terhadap suatu pengukuran (Sugiyono, 2007).
2. Subjek Penelitian
Subjek pada
penelitian ini adalah anak-anak kelas satu SD Xaverius II Merauke berjumlah 44
orang dan SD St. Mikael Merauke berjumlah 52 orang. Mereka beusia 6 sampai 7
tahun. Selain itu juga orang tua yang beragama katolik dan para imam.
3. Aspek-aspek Yang Diukur
a.
Pada
Anak Kelas 1 SD
Aspek yang
diukur dalam penelitian ini adalah usia akal budi menurut dokumen Quam
Singulari (QS), keinginan anak untuk menerima komuni pertama serta rasa hormat
terhadap roti kudus. Dalam dokumen QS usia akal budi didefinisikan“saat seseorang dapat membedakan antara baik dan jahat,
yaitu ketika seseorang mencapai tahap penggunaan akal budi tertentu, sama saja
halnya untuk komuni kudus, dituntut suatu usia saat seorang anak dapat
membedakan antara roti dari Ekaristi kudus dan roti biasa” (Dokumen
Singulari, Pen. Gloria B. M., 2003, dalam Boli Ujan 2010, Kongregasi Ibadat dan
Tata-tertib 2004,).
Definisi usia
akal budi dibagi dalam 3 aspek. Aspek
pertama, kemampuan anak membedakan antara roti biasa dan roti kudus.
Indikatornya anak mampu membedakan mana roti biasa yang belum diberkati dengan
roti kudus yang sudah diberkati imam dalam misa. Cara membedakannya anak
diberikan pertanyaan lisan atau tulisan bisa dalam bentuk gambar. Kemudian anak
memilih jawaban yang ia anggap benar. Aspek
kedua anak diminta membedakan anggur biasa dan anggur kudus. Anggur biasa
berarti belum diberkati dan didoakan dalam misa sedangkan anggur kudus sudah
didoakan dalam misa. Cara menjawab pertanyaan seperti pada membedakan roti
biasa dan roti kudus. Aspek ketiga
anak diminta memilih pertanyaan yang ia anggap benar tentang perbuatan baik dan
jahat.
Keempat adalah aspek keinginan. Indikatornya anak
memiliki kemauan menerima roti kudus tanpa ada paksaan dari orang lain.
Pengukurannya anak diberikan pertanyaan lisan atau tulisan tentang keinginannya
menerima komuni pertama. Kelima aspek rasa
hormat, indikatornya anak mampu memilih jawaban dalam angket yang
menunjukkan anak memiliki rasa hormat pada roti kudus. Aspek-aspek yang diukur dalam penelitian ini
dijabarkan pada 15 item pertanyaan.
b.
Pada
Orang Tua dan Imam
Para
orang tua diminta mengisi angket tentang pendapat mereka mengenai anak yang
menerima komuni pertama dan pengakuan dosa pada usia 6 atau 7 tahun yang duduk
di kelas 1 SD. Para pastor diwawancarai
lewat telepon dengan metode wawancara semi terstruktur.
4. Pengambilan Data
Alat pengumpul
data pada penelitian ini menggunakan angket usia akal budi menurut Quam
Singulari yang dibuat peneliti. Kemudian angket dibagikan pada anak-anak kelas 1 SD Xaverius II Merauke dan SD Mikael
Merauke. Anak-anak diminta untuk menjawab pertanyaan pada angket. Caranya
responden memilih jawaban yang mereka anggap benar. Bagi anak yang tidak tahu
membaca, angket dibacakan oleh guru atau peneliti, kemudiaan anak diminta
memilih jawaban yang mereka anggap benar. Untuk anak yang tidak tahu membaca
dibagi secara berkelompok dengan jumlah 5-6 anak dalam menjawab pertanyan.
Pada anak-anak
kelas 1 SD Xaverius II Merauke sebelum diminta mengisi angket, mereka diajari
materi usia akal budi menurut dokumen Quam Singulai. Pada anak-anak sekolah
dasar kelas 1 SD Mikael tidak diajarkan materi yang akan diukur. Materinya
adalah perbedaan antara anggur biasa dan anggur kudus, hosti biasa dan roti
kudus serta perbedaan perbuatan baik dan jahat. Setelah satu minggu kemudiaan
anak-anak diminta menjawab pertanyaan angket usia akal budi menurut dokumen Quam
Singulari. Setiap pertanyaan memiliki 2 pilihan jawaban dan hanya ada satu
jawaban yang benar.
Pada anak-anak
sekolah dasar kelas 1 SD Mikael tidak diajarkan materi yang akan diukur. Mereka
mengisi angket Quam Singulari yang dibuat peneliti tanpa ada pemberitahun pada
hari sebelumnya. Angket yang diberikan pada anak-anak sekolah SD Xaverius II
sama dengan di SD St. Mikael Merauke.
Untuk
pengambilan data pada orang tua dan para imam dilakukan lewat survei dan
wawancara melalui telepon. Para orang tua diminta mengisi atau menjawab
pertanyaan pada angket yang telah disusun. Para imam diwawancarai lewat telepon.
Hasil Penelitian
Hasil
uji reliabilitas angket dengan internal
consistency diperoleh nilai KR 20 sebesar 0,413. Analisi data menggunakan
bantuan program komputer Microsoft Office Exel 2007. Di bawah ini hasil penelitian usia akal budi
menurut Quam Singulari yang dijelaskan pada bagian aspek yang diukur di halaman sebelumnya.
1. Hasil Penelitian Pada SD Xaverius II Merauke.
Tabel
1: Statistik Deskriptif Hasil
Penelitian
Skor
Mean 10,54
Standar
Deviasi (SD) 2,14
Range 9
Minimum 5
Maximum 14
n 44
|
Kategorisasi norma dalam penelitian ini
X <
X – 1,5 σ Sangat Rendah
_ _
X – 1,5 σ< X < X – 0,5 σ Rendah
_ _
X – 0,5 σ< X < X + 0,5 σ Sedang
_ _
X + 0,5 σ< X < X + 1,5 σ Tinggi
_
X + 1,5 σ> X
Sangat Tinggi
Tabel
2 : Frekuensi Subjek dan Persentase
Skor Usia Akal Budi pada siswa kelas 1 SD Xaverius II Merauke menggunakan norma
Empirik.
Kategori
Subjek/Frekuensi
Presentase
|
Sangat rendah 1 2,27%
Rendah 8 18,18%
Sedang 28 63,63%
Tinggi 7 15,90%
Sangat Tinggi
Grafik 1: persentase
hasil penelitian SD Xaverius II Merauke.
2.
Hasil Penelitian
Pada SD St. Mikael Merauke.
Tabel
3: Statistik Deskriptif Hasil
Penelitian
Skor
Mean 9,88
Standar Deviasi (SD) 2,19
Range 10
Minimum 4
Maximum 14
n 52
|
Tabel
4: Frekuensi Subjek dan Persentase
Skor Usia Akal Budi pada siswa kelas 1 SD St. Mikael Merauke menggunakan norma
Empirik.
Kategori Subjek/Frekuensi
Presentase
|
Sangat rendah 1 1,92%
Rendah 5 9,61%
Sedang 39 75,00%
Tinggi 7 15,90%
Sangat Tinggi
Grafik 2 : persentase
hasil penelitian SD St. Mikael Merauke.
3. Hasil Survei Pada Orang Tua
Di
bawah ini adalah hasil survei pendapat orang tua mengenai anak yang berusia
enam atau tujuh tahun apakah sudah bisa menerima komuni pertama atau belum.
Dari 45 respoden semuanya menjawab tidak setuju anak yang berumur 7 tahun atau
kelas 1 SD sudah bisa menerima komuni pertama. Berikut adalah jawaban para
orang tua yang tinggal di Wilayah Keuskupan Agung Merauke.
Tabel
5 : alasan anak berumur tujuh tahun
belum bisa menerima komuni pertama.
No
|
Alasan
|
Frekuensi
|
1
|
Belum
memenuhi persyaratan umur yang sudah biasa menjadi patokan.
|
25
|
2
|
Belum
bisa menghayati makna sakramen
|
14
|
3
|
Belum
bisa menghafal doa-doa
|
7
|
4
|
Belum
dewasa dalam Iman
|
5
|
|
Jumlah Total
|
51
|
Grafik
3 : alasan anak berumur tujuh tahun
belum bisa menerima komuni pertama berdasarkan table 5.
4. Hasil Wawancara Dengan Para Imam
Wawancara
dilakukan dengan para imam lewat telepon. Imam yang diwawancarai terdiri dari 4
imam dari Merauke, dan luar Merauke yaitu: Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Surabaya, Manado masing-masing satu orang imam. Dari hasil wawancara semi
terstruktur semua responden mengatakan anak yang berusia 7 tahun atau kelas 1
SD belum bisa menerima komuni pertama. Alasanya anak yang berumur 7 tahun belum
bisa menangkap makna dari sakramen ekaristi.
Analisis Data
Skor
yang diperoleh oleh masing-masing sampel akan diuji dengan rumus pengujian
hipotesis deskriptif. Jika subjek menjawab soal pada angket QS lebih besar atau
sama dengan sembilan 9 (≥ 9) berarti subjek pada umumnya sudah berada pada usia
akal budi. Nilai 9 berarti 60 % nilai
kebenaran dari nilai 15 item.
Hasil
uji hipotesis deskriptif skor yang diperoleh SD kelas 1 Xaverius II
menunjukkkan t = 4,785 pada dk = 0,005. Itu berarti anak-anak kelas 1 SD
Xaverius II pada umum memiliki kemampuan menjawab pertanyaan pada angket QS di
atas atau sama dengan 60 % kebenarannya. Begitu juga dengan anak-anak kelas 1
SD St. Mikael memiliki kemampuan di atas 60% dalam menjawab pertanyaan angket
QS. Karena hasil uji hipotesis pada
hasil tes anak-anak kelas 1 SD St. Mikael Merauke menunjukkan t = 2,89 pada dk
0,005.
Hasil
uji komparatif atau perbedaan antara hasil tes dari SD Xaverius II dan SD St.
Mikael menunjukkan t = 2,189 pada dk = 0,005. Jadi terdapat perbedaan kemampuan
menjawab angket QS antara anak-anak kelas 1 SD Xaverius II dan anak-anak SD St.
Mikael Merauke. Dengan demikian materi QS yang diajarkan pada anak-anak SD
kelas 1 Xaverius II memiliki pengaruh yang signifikan.
Pembahasan
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek sudah berada pada usia
akal budi menurut dokumen Quam Singulari. Dengan demikian anak-anak kelas 1 SD
atau berumur 7 tahun sudah bisa menerima komuni pertama. Mereka sudah bisa
membedakan antara hosti atau roti yang belum diberkati dan yang sudah
diberkati.
Anak
juga pada usia 7 tahun secara psikologis sudah mulai menggunakan akal budinya.
Ia bisa menganalisis sesuatu walaupun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
konkrit. Anak berumur 6 sampai 12 tahun mulai memiliki kemampuan
mengklasifikasikan, mengelompokkan, menyusun dan menghubungkan (Piaget dalam
Syamsu Yusuf, 2007). Sementara menurut Fowler (1995) anak-anak usia dibawah
tujuh tahun sangat peka terhadap gerak isyarat, upacara dan kata-kata yang
digunakan orang dewasa untuk mengungkapkan kepercayaan mereka.
Disamping
itu persiapan materi komuni pertama sangat membantu anak dalam memahami makna
sakramen. Dari hasil uji perbedaan antara siswa siswi kelas 1 SD Xaverius II
Merauke dengan anak-anak kelas 1 SD St. Mikael Merauke menunjukkan ada
perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut nampak pada hasil skor
menjawab item-item yang mengukur moralitas. Anak-anak yang mendapatkan materi
persiapan komuni pertama lebih banyak menjawab benar untuk item-item moralitas
dari pada anak-anak yang tidak mendapatkan persiapan. Hasil penelitian pada
orang tua menggambarkan bahwa pengetahuan para orang tua tentang syarat
menerima sakramen pengakuan dosa dan komuni pertama ada perbedaan dengan ajaran
gereja katolik Quam singulari.
Penelitian
pada para imam menjelaskan bahwa anak yang sudah bisa menerima komuni pertama
ketika sudah bisa menangkap makna dari sakramen ekaristi. Maka terjadi
perbedaan antara praktek pastoral dan ajaran Quam Singulari karena terdapat
perbedaan yang menjadi dasar anak menerima komuni pertama.
Kesimpulan Dan Saran
Dari
hasil penelitiaan ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak kelas 1 SD sudah bisa
menerima komuni pertama yang diawali dengan sakramen pengakuan dosa. Pada umumnya
subjek penelitian sudah berada pada usia akal budi yang menjadi syarat
seseorang menerima komuni pertama menurut Quam Singulari. Dengan menerima
sakramen orang juga merasa diteguhkan untuk menjalani hidup selanjutnya.
Untuk
para orang tua perlu diadakan katekismus atau pengajaran tentang peran orang
tua mendidik iman anak dan mempersiapkan anak menerima komuni pertama. Dengan
komuni pertama, menyadarkan peran orang tua yang begitu penting dalam mendidik
iman anak. Karena anak pada usia 7 tahun secara psikologis merupakan periode
yang baik membangun iman anak.
Semoga penelitian ini dapat menjadi
bahan acuan atau pertimbangan dalam melaksanakan pastoral dan katekese umat
khususnya untuk menentukan batas usia komuni pertama dan persiapan menerima
komuni pertama yang didahului oleh sakramen tobat.
Daftar Pustaka
Boli Ujan B. (2010).Berapa Usia Anak Untuk Komuni dan Pengakuan Dosa. Artikel.
Betapa Istimewanya (Quam Singulari).
Bernadette Maria “dc” Gloria (Penyunting). Ende: Nusa Indah, 2003.
Fowler J.W. (1995).
Teori Perkembangan Kepercayaan. Alih
bahasa: Agus Cremers. Editor: Supratiknya A. Yogyakarta: Kanisius.
Hall
C. S. & Lindzey G. (1993). Teori-teori
psikodinamika (klinis). Supratiknya A.Yokyakarta: Kanisius.
H.
Syamsu Yusuf L N. (2007) Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen (2004) Redemptionis Sacramentum. R.P. Cornelis
Bohm, MSC. Jakarta: Komisi Liturgi KWI.
Kholberg
L. (1995). Tahap-tahap perkembangan moral.
Pen.Santo d.j. & Cremers A. Yogyakarta : Kanisius.
Sugiyono.(2007) Statistika
untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Suparno
P. (2001). Perkembangan kognitif jean
piaget.Yogyakarta: Kanisius.
Santrock
J.W. (2003) Adolescence, perkembangan
remaja. Alih bahasa: Adelar S.B.; Saragih S. Ed: Kristiaji W.C; Sumiharti
S. Jakarta: Erlangga.
Langganan:
Postingan (Atom)