Pernah diterbitkan di Papaua Selatan Pos; Senin, 11 Juni
2012
MASIH ADAKAH
DAMAI DI TANAH PAPUA?
(refleksi
sederhana untuk tanahku)
Richard
Christian Sarang, S.Fil*
Catatan Awal
Dari hari ke hari, kondisi keamanan di
Papua semakin mengkwatirkan, marak terjadi kekerasan yang mengakibatkan
kematian bagi beberapa anak manusia di serambi Cenderawasih. Penembakan misterius hampir terjadi setiap pekannya.
Rentetan peristiwa ganas; lakon pembunuhan, penembakan, perang saudara
seperti yang sudah dan sedang terjadi
(Puncak Jaya, Timika, Jayapura), membuat masyarakat semakin resah. Yang lebih
memprihatinkan lagi, korban jiwa bukan saja warga masyarakat lokal, tetapi juga
orang asing yang berwisata di negeri
ini, yang katanya cinta keberagaman, tanah penuh damai, negeri yang diberkati.
Ironisnya, banyak peristiwa serakah
ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan, baik oleh
pemerintah maupun oleh keompok-kelompok dalam masyarakat itu dendiri.
Seolah-olah, tak ada lagi spasi/ruang untuk berdialog, bercerita, merajut
nasionalisme kebangsaan, keberagaman, kecintaan dan respek terhadap sesama.
Label
tanah damai, hanya menjadi slogan klise tanpa makna, yang menggiring anak
manusia negeri ini terjerumus pada satu kecenderungan bertindak tanpa berpikir
atau juga bisa sebaliknya, berpikir dan berbuat yang terkesan kuat pada actus
hominis semata.
Ketika kelompok-kelompok tertentu
berlomba-lomba mencari kepuasan sendiri, ketika tidak lagi menyadari
nilai-nilai suci kehidupan manusia, maka kematian (pembunuhan, penembakan,
pemaksaan, dll) adalah jalan satu-satunya untuk memuaskan dahaga keserakah itu.
Artinya, seruan-seruan yang datang dari luar hanya akan menjadi alunan suara kosong
yang tidak cukup berarti bagi perubahan pola pikir masyarakat tertentu.
Papuaku Sayang,
Papuaku Malang
“Itu tidak benar”,
“itu tidak adil” . Tetapi, dari manakah ide “adil” dan “benar” datang? Ide-ide ini dihubungkan dengan keadilan dan
kebenaran. Keadilan adalah salah satu dari nilai paling penting manusia, karena
keadilan mempengaruhi seluruh hidupnya. Berpikir tentang keadilan, biasanya
melibatkan pemikiran tentang jenis masyarakat yang kita hidupi, atau ingin
hidup di dalamnya lebih dari sekadar hubungan antarindividu. Begitu juga halnya
dengan kebenaran. Walau dalam kaca mata tertentu, tidak ada kebenaran mutlak, toh manusia
selalu mengklaim bahwa kebenaran-nyalah yang mutlak. Hal inilah yang mengakibatkan
terjadinya distorsi nilai masyarakat itu sendiri. Maka walaupun tidak ada
kebenaran mutlak, tidak berarti kita enggan berusaha untuk menuju titik
kebenaran bersama. Kebenaran dalam kacamata kebersamaan, tentu memiliki nilai
yang lebih berarti, ketimbang kita mengabsolutkan nilai kebenaran kita, yang
terkadang justru mencelakakan banyak orang.
Berhadapan dengan kenyataan kita sekarang ini (kondisi
tanah Papua), tentu kita semua yang masih concern dengan terciptanya
toleransi, rasa aman dan damai di tanah ini, perlu membangun paradigma baru,
berani keluar dari hegemoni kelompok yang tidak mencerminkan semangat sebagai
tanah damai, negeri yang diberkati, negeri yang dilimpahi susu dan madu.
Alangakah indahnya label cinta damai yang selalu disuarakan (bahkan sampai
seluruh dunia tahu), dihidupkan mulai dari komunitas tercekcil, yang berangkat
dari kesadaran kolegial akan makna hidup bersama sebagai saudara. Bagaimana
mungkin, kita sebagai makhluk ber-Tuhan, tetapi ber-seragam-kan kebencian di
antara sesama? Sejauh mana kuatnya
seruan-seruan moral, kalau hanya di awang-awang? Seberapa ampuhnya diplomasi
pemerintah, kalau tidak menyentuh persoalan yang mendasar, yang sungguh-sungguh
dirasakah oleh kita orang Papua?
Tentu bukan perkara mudah untuk
memecahkan persoalan ini. Tetapi ketika kita memiliki komitmen yang sama,
bergelora dengan semangat yang sama, “mewujudkan
cinta kasih serta menghargai keberagaman”, maka lambat laun semuanya akan
menjadi indah. Toh, kita tidak berada di jamannya filsuf Friedrich Nietzsche,
yang dengan lantang menvonis atau mengklaim bahwa “Allah sudah mati”. Bagi
Nietzsche, bahwa kepercayaan kepada Allah akan memiskinkan kehidupan manusia.
Bahwa kepercayaan kepada Allah yang kita jalankan hanyalah halusinasi kosong
terhadap kedangkalan pemikiran manusia itu sendiri. Tetapi kenyataannya, kita
semua yang ada di tanah ini adalah orang-orang yang memiliki iman kepada Allah
yang satu dan sama, walau dengan cara pandang yang berbeda. Maka, ruang diskusi
yang pernah dikumandangkan oleh filsuf berdarah Yahudi itu, tidak memiliki
tempat di atas tanah ini.
Harapan dan cita-cita semua manusia
adalah terciptanya kebaikan bersama (bonum cumunae) dalam masyarakat
yang bisa dirasakan, dialami dan hidup menyatu di tengah masyarakat itu
sendiri. Tetapi sampai saat ini, harapan luhur itu masih sebatas wacana yang belum
hidup dan bahkan mungkin tetap akan terpekur mati dikuasai
oleh kepicikan cara pikir dan cara bertindak kita. Keadilan adalah cita-cita
semua orang. Maka ketika keadilan itu tidak mendapat tempat di hati setiap
pribadi, dengan sendirinya akan terjadi kecemburuan social yang tidak lagi
memperhatikan kaidah/norma moral yang berlaku. Dengan demikian sangat perlu kita berbenah, baik secara
pribadi, maupun bersama. Baik pada komunitas keagamaan, maupun dalam tataran
sebagai masyarakat negara.
Kita harus mulai menata kembali kelusutan
benang kedamaian di tanah ini. Membuka diri, tanpa harus kehilangan
jati diri. Berdialog, tanpa perlu meninggalkan keunikan komunitas. Berbagi
rasa, tanpa harus memandang asal. Tidak perlu enggan, tidak perlu takut, tidak
perlu resah untuk mencapai kedamaian dengan jalan permusyawaratan. Karena
keengganan kita menerima kenyataan keberbedaan menjadi salah satu sebab,
mengapa semakin suramnya rasa aman dan damai di negeri ini. Ketidakmampuan kita
mengelola dan me-manage diri untuk keluar dari pemikiran sempit primordial,
juga sebagai biang tumbuh suburnya kekerasan yang berujung kematian. Dan yang
tidak kalah krusial adalah bagaimana peran sentral pemerintah dan tokoh agama
(serta lembaga adat) dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat akar rumput
yang menjadi dasar dari terciptanya suasana damai, cinta kasih dan kebersamaan.
Kiranya saya tidak berlebihan dalam mengungkapkan pandangan sederhana ini.
Boleh jadi, inilah awal kehancuran tanah kita, kalau belum sadar akan fenomena
ini. Yang oleh leluhur kita adalah tanah
damai, mungkin akan hanya tinggal sejarah dan beralih langkah menuju lautan
berlimpah darah keserakahan. Pertanyaan sederhana muncul; masih
layakkah kita bangga dengan tanah ini? Apa yang perlu kita banggakan (kekayaan
alam? sumber daya manusia?). Ataukah kita hanya membanggakan bahwa kita masih
bisa membunuh sesama secara keji? Di mana letak kebanggaan kita?
Toleransi Menjadi
Spirit Kebersamaan
Semua pasti sepakat dengan saya, bahwa
tidak ada tempat bagi kaum separatis bersenjata di tanah ini. Dengan ideologi
apapun yang dibangun oleh kaum separtis, tentu kita memiliki kewajiban untuk
menentangnya. Negara Indonesia sudah diletakkan di atas dasar yang satu dan
sama, yang bernafaskan Pancasila, sebagai roh penggerak, roh pemersatu dan
sebagai landasan pijak cara manusia Indonesia berpikir dan bertindak. Artinya,
walau dalam berbagai keberbedaan, tidak menghalangi semangat kita untuk ada
bersama. Maka toleransi antara sesama anak negeri ini, harus menjadi spirit
kebersamaan.
Semua pihak ingin diperlakukan
toleran, maka negara mendapat legitimasinya jika dapat bersikap toleran
terhadap warganya (F.Budi Hardiman;
Kompas, 30 Mei 2012). Tentu, kita tidak hanya menuntut pemerintah untuk
bersikap toleran, tetapi yang paling mutlak harus dilakukan adalah bagaimana
kita sebagai warga negera harus toleran dengan sesama, tanpa harus meninggalkan
keunikan kita masing-masing. Tentu toleransi yang dimaksudkan di sini adalah toleransi
positif, bukan toleransi negative. Toleransi
positif yaitu respek terhadap orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda,
agama yang berbeda, suku yang berbeda dan keturunan yang berbeda. Sementara
toleransi negative adalah pembiaran ataupun ketidakpedulian terhadap kejahatan,
ketidakadilan, dan penindasan terhadap mereka yang berbeda. Dan kedua modus ini bisa dilakukan oleh kita
semua, tak terkecuali negara. Negara mengambil sikap toleransi negative, ketika
membiarkan kelompok-kelompok separatis merajalela di tanah ini. Setiap pribadi
mengambil sikap toleransi negative, ketika membiarkan diri dan masyarakat di
mana ia tinggal larut dalam tindakan-tindakan anarkis.
Tentu dalam kasus ini, perlu
perjuangan semua orang untuk menegakkan kedamaian di tanah ini. Tanah Papua
akan menjadi negeri yang malang, yang tidak lagi dibanggakan ketika kita tidak
serius menata diri untuk merangkai kebersamaan. Dan sebaliknya, serambi
Cenderawasih ini akan selalu disayang, ketika setiap orang menyadari bahwa orang
lain adalah aku yang hadir dalam bentuk serta ciri yang lain. Tanah
Papua akan menjadi tanah yang diberkati, ketika kita semua menyadari serta
menghidupi semangat kebersamaan dalam cinta kasih, yang telah didengungkan
beribu-ribu tahun silam.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan
setiap keputusan yang diambil, baik oleh pemerintah maupun oleh otoritas dalam
masyarakat, tentu tidak bisa diselesaikan dengan cara kekerasan (pemembakan,
perang saudara dan pembunuhan) yang justru menghancurkan masa depan kita
sendiri. Dalam alam demokrasi, kehidupan yang baik hanya akan terwujud bila
semua orang sadar akan keberbedaan, keberagaman dan tetap bersikap kritis
terhadap setiap kebijakan, bukan dengan kekerasan tetapi mengedepankan sikap
menghormati serta respek terhadap sesama. Saya dan anda tentu mencintai dan
menghargai tanah ini, tanah Papua, serambi Cenderawasih yang berlimpah susu dan
madu. Maka, tidak ada cara dan pengungkapan rasa hormat yang lebih berarti yang
harus kita laksanakan, selain kita berada di dalamnya, berani menentang segala
tindak kejahatan, terutama setiap tindakan menghilangkan nyawa sesama
mansuia sebagai mahkota ciptaan. Cinta kehidupan menegaskan ekesistensi kita
sebagai pribadi bermoral, yang selalu berteriak bahwa kita ber-Tuhan. Dan
sebaliknya, membenci kehidupan (dengan menghilangkan nyawa sesama) adalah
langkah yang memuluskan kita kepada akhirat yang mematikan***
*Penulis adalah
pengajar tetap di Sekolah Tinggi Katolik St. Yakobus Merauke