KEBENARAN SUBJEKTIF DAN PENENTUAN PILIHAN MORAL
PERSPEKTIF SOREN A. KIERKEGAARD
Rikard Kristian Sarang
Abstract:
In this article, the writer want to tell us about
Kierkegaard’s thinking that be convinced about the subjective rightness as the
first truth. In his view, human being will be the real person when they embrace
and follow their existence, without must be influence from outside moment. At
the long journey, human being has go into the crowd mass that have no handle,
so they only become man or woman who commanded by other people. Therefore,
Kierkegaard explain the people to exist or tobe theirselves. As long as the
human being become our self, automaticaly
we can take over what can we do and we can be how we are. The existence
and the subjective rightness will make us to live independent and more than it,
we will determine what can we do and how about our life. At the high level,
when we embace the subjective truth as the first, so our moral choices depended
on our mind, not from other.
Key words: subjective rightness, human
being, crowd and moral
I.
Catatan Awal
Kierkegaard yang bernama lengkap Soren Aabye
Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 15 Mei 1813 .
Pada tahun 1830, ia masuk ke fakultas teologi
Universitas Kopenhagen. Selain mempelajari teologi, ia juga mendalami liberal
arts dan sains. Ketika itulah ia
berkenalan dengan pemikiran Hegel. Masa kuliahnya, ia merasa bahwa konsep filsafat, terutama filsafat yang
dibangun oleh Hegel sangat tidak cocok dengan Kristianitas. Sepintas
pemikirannya;
Apa gunanya kalau kebenaran berdiri di depan
saya, dingin dan telanjang, tidak peduli apakah saya mengenalinya atau tidak dan malah membuat saya takut dan
bukannya percaya? Yang sungguh-sungguh tidak saya miliki adalah kejelasan apa
yang harus saya lakukan dan bukannya apa yang harus saya ketahui kecuali sejauh
pemahaman tertentu harus mendahului setiap tindakan" ,
menggambarkan kritiknya terhadap kepasuan, ketidak-otentikan hidup dan publik
yang abstrak. Pada tahun 1838, setelah
kematian ayahnya, ia melanjutkan studi teologi dan pada tahun 1840 dapat
menyelesaikan studinya tersebut.
Ada banyak karya tulis yang dihasilkannya dan memperlihatkan kecemerlangan pemikiran serta berpengaruh pada perkembangan filsafat modern pada abad ke-20, ditandai oleh munculnya
aliran filsafat yang disebut eksistensialisme .
Pandangan yang menyatakan bahwa
eksistensi bukanlah objek dari berpikir abstrak atau pengalaman kognitif (akal
pikiran), tetapi merupakan pengalaman langsung, bersifat pribadi dan dalam
batin individu .
Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan segala persoalan pada eksistensinya.
Titik pijak dari semua pergulatan yang ada dalam dunia adalah manusia sebagai
makhluk yang unik, dan memiliki kebenaran dalam dirinya. Eksistensi pada
manusia adalah bagaimana manusia itu berada, yang dibedakan dari cara beradanya
benda-benda, di mana benda-benda hanya berada tetapi manusia bereksistensi.
Tema paling awal dari eksistensialisme terdapat pada individu manusia sebagai
subjek yang sadar, rasa ketidakbermaknaan dan kehampaan eksistensi manusia
serta kegelisahan dan depresi yang larut dalam kehidupan manusia.
Aliran
ini mempertanyakan kembali eksistensi manusia yang mulai hilang. Hal demikian
dilatarbelakangi oleh terjadinya perang dunia, yang mengakibatkan manusia kehilangan
jati diri dan hanyut dalam arus masa yang memiliki kekuatan di atas kemampuan
individu. Manusia masuk dalam tubir kekosongan eksistensi. Dalam situasi yang
serba tak menentu ini, manusia lebih senang masuk dalam kelompok dan
mengabaikan kehendaknya sendiri. Eksistensi autentiknya justru direduksi dengan
kenyataan kekuatan massa. Manusia tidak lagi mampu memberikan ruang yang cukup
kepada kemampuan individunya dan membiarkan arus kelompok bermain serta
menguasai kebereksistensiannya.
Melalui
perjalanan yang panjang, manusia / individu mulai menyadari akan pentingnya
berada secara benar dan tepat. Manusia mulai mempertanyakan serta
mempertentangkan dirinya dalam relasi dengan benda-benda dan bagaimana ia dapat
mencapai kebenaran. Pencarian manusia bersifat vertikal dan horisontal, yakni
bagaimana manusia berhadapan dengan realitas duniawi serta cara berhadapan dengan yang absolut. Relasi manusia dengan
sesama, alam dan dengan Allah menggambarkan
secara jelas tentang bagaimana sebagai individu atau subjek yang otonom,
mampu menempatkan diri di hadapan yang lain. Dengan demikian, manusia mulai
dengan bebas untuk melihat serta menginterpretasi kenyataan-kenyataan konkret
yang ada, yang nampak sebagai pengalaman atau fakta eksistensial manusia.
Karena itu, jaman modern ini juga bisa di sebut sebagai jaman pembentukan
subjektifitas. Aku sebagai pusat pemikiran, pengamatan, kebebasan, tindakan,
kehendak dan perasaan.
Sebagai
salah satu penganut aliran eksistensial, ia menegaskan hakekat manusia
sebagai individu. Eksistensi, ketakutan, hidup, mati, harapan, putus asa, dll
yang kelak menjadi kegemaran aliran eksistensi, semua itu sudah meliputi alam
pemikiran Kierkegaard. Realitas aku (individu) adalah paling nyata. Eksistensi
membuat orang lebih menjadi individu melampaui universalitas. Ia mementingkan
eksistensi manusia yang individual dan konkret. Tugas
paling berat setiap orang menurutnya adalah menjadi seorang individu. Menjadi
individu berarti mengenali keunikannya sendiri, menghadapi keharusan untuk
mengambil keputusan sendiri, dan terutama melakukan “lompatan iman’”. Sebagai bapak eksistensialisme, pandangan filosofis
Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya.
Beberapa point yang penting dalam filsafatnya: individu tidak ditempatkan di
hadapan ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan. Dia menganggap Hegelianisme
sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona. Yang harus
dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran
dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif termasuk agama, harus mendarah daging dalam
si individu. Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa
kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat.
Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar
untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah
gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua
sistem filosofis. Kierkegaard mencari kebenaran yang konkret serta eksistensial,
suatu pengetahuanyang dihayati (connaissance vécue), a real knowledge.
II. Stadium Eksistensi Manusia:
Sebagai Proses Menyadar
2.1. Stadium Estetis
Untuk menyakinkan pemahamannya, Kierkegaard membedakan
manusia dalam tiga stadium penting, yaitu: estetis, etis dan religius. Pada
stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar
kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup
daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal,
tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang
berminat.
Tahap estetis dapat digambarkan sebagai usaha
mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik (good) dan
yang jahat (evil). Artinya, ketika orang bertindak tertentu, ia tidak
memikirkan apakah tindakan itu baik atau jahat dan kemudian menilai apakah itu
boleh dilakukan atau tidak. Individu dalam tahap estetis menolak norma-norma etis, nilai-nlai yang
terkandung dalam masyarakat dan lebih dari itu membentuk identitasnya dengan
hidup mengejar kenikmatan. Hidup estetis dapat dinikmati dengan berbagai kekuatan
seperti uang, reputasi, hobi dan di dalamnya segala sesuatu yang bersifat
sementara.
Tindakan atau keadaan estetis ini lebih dipengaruhi oleh pengamatan langsung
dari pandangan indrawi yang membawa individu kepada usaha untuk memenuhi
keinginannya tanpa mempertimbangkan akibat dari perbuatan tersebut (baik atau
jahat). Yang ada hanyalah nafsu yang harus dikejar serta dipuaskan. Dalam eksistensi estetis,
manusia menaruh perhatian yang besar terhadap sesuatu yang di luar dirinya. Ia
hidup di dunia dan masyarakat, dengan segala sesuatu yang dimiliki dunia dan
masyarakat itu. Ia menikmati segala yang jasmani dan rohani. Sekali pun
demikian, batinnya kosong. Ia senantiasa
menghindari setiap keputusan yang menentukan. Sifat hakiki eksistensi
estetis ialah tidak adanya ukuran-ukuran
moral yang umum yang telah ditetapkan dan tidak adanya kepercayaan keagamaan
yang menentukan.
Yang ada hanyalah keinginan untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu.
Ia membenci segala pembatasan yang mengharuskannya untuk memilih. Seluruh kenyataan dalam hidupnya sungguh-sunggguh
digerakan oleh setiap rangsangan dari luar, tanpa mempertimbangkan apakah
rangsangan itu bermanfaat baginya atau malah merugikan kehidupan individu
estetis tersebut. Yang ada dalam pikiran
individu adalah kemauan dan hasrat untuk dipuaskan segala bentuk keinginannya.
2.2.
Stadium Etis
Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin
seseorang ke arah
stadium yang kedua, stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis.
stadium yang kedua, stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis.
Dalam wilayah eksistensi yang kedua, orang mulai
memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik (good) dan yang jahat (evil)
dalam bertindak. Hidupnya tidak lagi ditandai oleh sifat langsung (immediacy)
tindakan-tindakannya, melainkan sudah memuat pilihan-pilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio, suara
hati dan juga refleksi. Pada stadium ini, manusia memperhatikan
benar-benar kepada batinnya. Sikapnya di dalam dunia senantiasa diusahakan agar
dapat ditentukan dari sudut hidup batiniahnya, menurut patokan-patokan yang
umum. Pertimbangan berdasarkan rasio, suara hati dan refleksi menghantar
individu kepada pengambilan keputusan yang benar. Individu akan melihat dan
menilai seluruh situasi hidupnya, mana yang pantas dilakukan dan mana yang
tidak boleh dijalankan. Inilah awal dari pembentukan hidup etis. Ada satu gerak
maju, sehingga mencapai tingkat integrasi, memenuhi kewajiban dan peran
sosialnya serta menerima tanggung jawab yang memberinya kesempatan untuk
memperlihatkan siapa dirinya kepada dunia.
Pilihan etis dari setiap individu akan menambah
nilai-nilai dalam masyarakat, sekalipun berkenan dengan kewajiban kepada Allah.
Tahap etis ini adalah tahap di mana orang memilih untuk menjadi dirinya
sendiri. Hanya dengan memilih, aku
menjadi diriku sendiri. Singkatnya pada tahap etis ini, orang diperhadapkan
dengan berbagai kemungkinan dan ia dituntut untuk memilih. Seorang manusia etis
menurutnya adalah orang yang mampu menentukan pilihan yang tepat bagi dirinya
sendiri, dengan melibatkan kesadaran, pengetahuan dan kehendak serta komitmen
yang tegas. Kenyataan-kenyataan tersebut membuat individu untuk berani
menentukan hidup; melompat ke arah yang lebih tinggi untuk memberikan arti yang
lebih sempurna bagi dirinya.
2.3.
Stadium Religius
Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil
mendambakan
topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu
manusia yang terkoyak-koyak (bdk. Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Dalam wilayah eksistensi ini, orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak memadai lagi untuk hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan yang Ilahi. Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mesti bukanlah miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang untuk memuaskan dirinya. Dalam relasi dengan yang ilahi, kepuasan diri dalam mencapai sesuatu termasuk hidup bermoral dan bahkan pencapaian kebahagiaan abadi tidak mendapat tempat. Tahap religius mengantar individu untuk menjalankan relasi dengan Allah dan secara langsung bertanggung jawab kepada Allah. Ditandai oleh pengakuan individu akan Allah dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan Allah. Pada tahap ini, individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang disebutnya lompatan iman. Lompatan ini bersifat non-rasional dan biasa di sebut pertobatan, yang oleh Kierkegaard sendiri dimaknai sebagai kontradiksi
topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu
manusia yang terkoyak-koyak (bdk. Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius. Dalam wilayah eksistensi ini, orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak memadai lagi untuk hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan yang Ilahi. Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mesti bukanlah miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang untuk memuaskan dirinya. Dalam relasi dengan yang ilahi, kepuasan diri dalam mencapai sesuatu termasuk hidup bermoral dan bahkan pencapaian kebahagiaan abadi tidak mendapat tempat. Tahap religius mengantar individu untuk menjalankan relasi dengan Allah dan secara langsung bertanggung jawab kepada Allah. Ditandai oleh pengakuan individu akan Allah dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan Allah. Pada tahap ini, individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang disebutnya lompatan iman. Lompatan ini bersifat non-rasional dan biasa di sebut pertobatan, yang oleh Kierkegaard sendiri dimaknai sebagai kontradiksi
Dalam
pemberian diri dan komitmen kepada yang Ilahi, orang harus terus menerus
menyingkirkan dan membersihkan segala bentuk perhatian kepada diri sendiri
(self regard) dari motivasinya bertindak, termasuk keinginan memperoleh
kebahagiaan abadi bersama yang ilahi. Baginya puncak eksistensi manusia adalah
apabila menemukan dirinya di hadapan Tuhan, karena siapa yang tidak menemukan
dirinya di hadapan Tuhan, dia bukanlah seorang pribadi[13].
Iman adalah yang esensial dalam hidup. Iman yang hidup berarti menyerupai
Kristus dan mengikuti Kristus. Sebagai
orang Kristen, ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk dengan
ketidakpastian intelektual yang besar
mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman
kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan
Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta
kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang merupakan
kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia. Dengan adanya keberanian seperti ini, individu
sungguh-sungguh menyadari diri sebagai yang terbatas serta mengakui adanya yang
absolut. Tahap ini menjadi kepenuhan dari dua tahap sebelumnya, estetis dan
etis. Dalam bahasa Peter Vardy, ia melihat perbedaan di antara ketiga tahap
ini, yaitu: tahap estetis esensinya
berkaitan dengan kenikmatan, cinta erotis, kesenangan sesaat, tahap etis esensinya cinta sebagai
kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan dan dalam tahap religius cinta diarahkan
kepada Allah sebagai kenyataan yang absolut[14].
III. Apa Yang Dimaksud
Dengan Kebenaran Subjektif
Filsafat Kierkegaard mulai dan berakhir dengan
individu[15].
Baginya, kebenaran adalah masalah batin (inwardness), dan bukan pertama-tama
masalah sesuatu yang berada di luar diri manusia. Kebenaran selalu dikaitkan
dengan subjek, yakni dengan diri yang memeluk dan meyakini kebenaran itu secara
pribadi. Yang ditekankan di sini adalah relasi manusia dengan kebenaran
tersebut dan bukan hakekat kebenaran itu sendiri[16].
Secara tegas dia menggarisbawahi bahwa kebenaran
adalah kepastian subjektif (kebenaran sebagai subjektifitas). Artinya, yang
diketahui dengan pasti oleh manusia hanyalah realitas eksistensinya sendiri
sebagai seorang pelaku. Sikap, keyakinan, perhatian dan harapan individu
(subjek) terhadap objek atau sesuatu yang dipandangnya sebagai kebenaran
mendahului (atau lebih penting) daripada kebenaran fakta itu sendiri. Titik
berangkatnya adalah keyakinan subjek (pelaku). Namun, kebenaran atau realitas
objektif (realitas sebagaimana adanya) tidak diketahui secara pasti oleh
manusia. Padahal, manusia pada dasarnya juga memiliki kerinduan untuk menggapai
kebenaran atau realitas objektif, yaitu kebenaran yang menjadi patokan salah
atau benarnya penilaian manusia – baik kebenaran objektif yang bersifat
manusiawi, maupun yang bersifat ilahi.
Kebenaran bukan apa yang kita abstraksikan atau renungkan secara berjarak,
tetapi apa yang kita bangun lewat pilihan dan keputusan personal. Kebenaran menjelma
melalui rajutan eksistensial kita sebagai pelaku.
Kebenaran sebagai subjektifitas memfokuskan
penekanannya pada relasi manusia dengan kebenaran tersebut, dan bukan hakikat
kebenaran itu sendiri. Ketika isu-isu mengenai makna dan kepenuhan hidup seseorang
sedang dipertaruhkan, sikap orang tersebut terhadap objek keprihatinannya atau
apa yang dipandangnnya sebagai kebenaran, lebih penting daripada isu mengenai
kebenaran fakta yang dimilikinya itu.
Contoh konkritnya adalah relasi imam dengan umat. Ada seorang imam yang
tak lama lagi akan merayakan panca windu imamatnya. Umatnya sungguh yakin bahwa
imam itu memang sungguh setia dalam panggilannya. Pengalaman hidup bersama imam
mereka itu memberi kepastian kepada mereka bahwa imam itu memang mencintai panggilannya.
Bagi mereka itu adalah kebenaran (kebenaran sebagai kepastian subjektif).
Disebut kebenaran subjektif kerena hal itu hanya merupakan keyakinan subjek
(umat). Namun, secara objektif (fakta yang terjadi) umat tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan bahwa suatu saat imam itu akan meninggalkan
imamatnya. Di sini tampak jelas bahwa kebenaran sebagai kepastian subjektif
lebih menekankan relasi subjek terhadap keyakinannya yang terealisasi dalam
tindakannya, daripada kebenaran fakta yang dihadapinya. Dalam individulah sebenarnya terdapat
intisari spirit terungkapkan yaitu sebagai subjektifitas.
IV.
Hakekat Kebenaran Subjektif
4.1.
Penerimaan Iman
Penerimaan
iman hanya akan dapat dimengerti dan dipahami dalam bingkai hubungan personal
dengan Allah. Setiap pribadi memiliki andil untuk meretas hubungan dengan
Allah. Tidak ada orang lain yang dapat
menggantikan tempatku untuk berhadapan dengan-Nya. Kenyataan ini sebagai
realisasi dari makna terdalam dari subjektifitas. Subjektifitas merujuk kepada
kebatinan dan kedalaman jiwa individu dalam berhadapan dengan berbagai
ketidakpastian pendekatan objektif yang
berhubungan dengan kebenaran iman.
Bila iman dihubungkan dengan Allah, maka iman itu harus bersifat subjektif, artinya bahwa berbagai jenis
filsafat spekulatif yang menekankan akal, tidak akan menjangkau secara objektif
dan memadai akan keabadian Allah.
Ketika
pertanyaan tentang kebenaran dibangun atas dasar pemikiran objektif, maka
refleksi yang kita bangun secara langsung akan bersifat objektif atas kebenaran
itu. Dengan demikian, sebagai objek yang
kepadanya orang ingin tahu berhubungan. Walau pun demikian, refleksi bukan terfokus atas relasi, tetapi pertama-tama
pada persoalan atau pertanyaan apakah
itu sunggu-sunguh sebagai kebenaran yang kepadanya kita arahkan pikiran serta menjalin hubungan[17]. Mencermati kenyataan ini, maka iman bisa dimengerti
sebagai persoalan pribadi setiap orang untuk berhubungan dengan Allah. Hubungan
personal ini melampau kekuatan terang akal budi manusia yang pada dasarnya
adalah terbatas. Allah tidak mungkin bisa dipahami secara penuh hanya dalam
pendekatan objektif spekulatif. Yang paling penting bagi manusia adalah
bagaimana ia secara bebas, sadar dan bertanggung jawab menjalin hubungan dengan
Allah.
4.2.
Keputusan, Pilihan dan Penghayatan
Berbagai
keputusan yang diambil oleh setiap pribadi adalah bentuk tanggung jawabnya
sebagai eksistensi yang otonom. Keputusan sebagai sebuah pilihan yang harus
dihayati dalam perealisasian hidupnya. Semuanya itu merupakan kristalisasi
kenyataan adanya. Manusia yang berpribadi menentukan hidup, bukan atas dasar
kemauan orang lain tetapi semata-mata karena dia sadar dan memahami dirinya. Eksistensi itu sendiri merujuk pada kesadaran seseorang
akan satu hal[18]. Bahwa keberadaannya yang tak tergantikan mengarahkan
setiap pribadi untuk merealisasikan hidupnya.
Menghantar setiap individu untuk memahami diri serta mengambil berbagai
keputusan untuk dihidupi, dihayati dan lebih dari itu agar penghayatan yang
demikian menyadarkan juga setiap pribadi
yang ada di luar dirinya. Penghayatan hidup dari setiap orang adalah khas dan
nyata sebagai pribadi bukan sebagai kerumunan orang-orang atau arus massa.
4.3.Kesadaran
Eksistensial: Aku Ada
Aku
ada, bukan sebagai pengakuan tanpa alasan, tetapi berdasar pada subjektifitas
manusia. Menegaskan tentang keasadaran
eksistensial manusia sebagai pemikir
subjektif memiliki tugas untuk memahami dirinya dalam eksistensinya. Pemikiran
yang abstrak hanya akan menunjukkan kontradiksi dan dengan dorongan kekuatan
imanennya. Karena itu, bagaimana pun
juga dengan mengabstrakkan eksistensi akan muncul berbagai kesulitan. Pemikir
subjektif adalah orang yang sama, dan berada pada waktu yang sama[19].
Kesadaran diri hanya ada pada manusia. Setiap
manusia juga memiliki tingkat kesadaran yang berbeda tentang dirinya dan juga
lingkungannya. Kesadaran itu juga yang memberikan afirmasi penuh kepada adanya
manusia. Manusia yang sadar pada akhirnya memberikan penekan pada hidupnya yang bersumber dari kesadarannya tersebut.
Aku ada, bukan sebagai pengakuan tanpa alasan, tetapi berdasar pada subjektifitas
manusia. Setiap individu
diperhadapkan pada satu kenyataan bahwa ia ada, ada yang konkret, real dan memiliki kewajiban personal untuk menghayati adanya dalam dunia secara
sadar dan tidak melihat semuanya secara abstrak dan umum. Ia yang menentukan
pilihan sekalipun pilihan tersebut bertentangan dengan pandangan umum dan
bahkan menyakitkan. Ia yang mengarahkan hidup ke mana ia inginkan. Bukan atas
dasar keegoan dan kepalsuan yang melebur
dalam kebersamaan yang bersifat abstrak serta
tidak memiliki kekuatan.
V.
Kebenaran Subjektif Dan Penentuan Pilihan Moral
5.
1 Manusia
Sebagai Eksistensi Yang Otonom
Sebagai
eksistensi, manusia dipandang atau dipahami
dalam kerangka badan dan jiwa[20],
yang secara dinamis memilliki relasi yang tak terpisahkan antara yang satu
dengan yang lainnya. Manusia mengalami kenyataan jiwa dan badan dalam satu
kesatuan yang utuh. Dalam kesatuan yang utuh inilah manusia mengaktualisasikan
segala kemampuannya sebagai subjek, yang memiliki kesadaran, pikiran,
pengalaman hidup yang berkaitan langsung dengan kenyatan hidupnya[21]. Manusia bereksistensi justeru karena manusia
dianugerahi kebebasan untuk memilih dan
bebas menentukan pilihan. Kebebasan yang dimiliki manusia mengantarnya
untuk berjuang dalam seluruh pergulatan
hidup, untuk memilih kemungkinan-kemungkinan yang membawa dirinya kepada
kesempurnaan. Menjadi manusia baginya
berarti senantiasa berada dalam satu situasi konkret yang harus
memberikan respons yang aktif terhadap situasi tersebut. Eksistensi manusia
adalah sebuah tugas yang harus disempurnakan dan sebuah kewajiban yang harus
diselesaikan.
5.2 Moment Eksistensial: Melakukan Pilihan
Yang
paling penting dalam diri pribadi manusia sebagai subjek adalah bagaimana ia
melakukan serta menentukan pilihan.
Setiap pilihan menggambarkan bagaimana manusia itu memaknai hidupnya. Hanya
dengan memilih, manusia bisa menjadi pribadi yang sesungguhnya. Warna subjek
dan keotentikannya dipertaruhkan ketika ia memilah mana yang baik untuk
dipilih, mana yang tidak baik untuk dihindarkan atau bukan sebagai pilihan. Kenyataan
menentukan pilihan tersebut diarahkan pada berbagai aspek, baik sosial,
moral pun religius. Dalam tataran ini, tentunya semua pilihan yang di
ambil oleh setiap pribadi adalah atas
dasar kebebasan yang dia miliki. Hanya dengan suasana yang bebas dalam dirinya,
manusia bisa menentukan pilihan yang akan membahagiakan dirinya.
Dalam setiap saat pilihan, ia terarah pada
perwujudannya karena personalisasi dari seseorang akan nyata dari setiap
pilihan yang dia ambil. Dan pada saat yang sama, ia memulai perwujudannya itu
karena ia memilih dari dirinya sendiri berdasarkan kebebasannya. Sebagai
produk, ia diarahkan untuk masuk ke dalam bentuk aktualitas sehingga dengan
pilihan itu ia menjadikan dirinya elastis, serta mentrasformasikan segala
sesuatu yang eksterior menuju yang interior[22]. Dengan demikian,
sungguh jelas bahwa tak ada pribadi lain yang dapat menggatikan adaku untuk
menentukan berbagai pilihan hidup. Pribadiku yang otentik dan sejati hanya ada
maknanya dalam setiap pilihan yang aku ambil, yang aku hayati dalam kehidupan
baik bagi diriku sendiri mau pun bagi lingkungan.
5..3 Panggilan Menjadi Diri Sendiri
Sebenarnya,
kalau ditelusuri lebih dalam maka yang ditakutkan atau dicemaskan oleh Kierkegaard
adalah beberapa pemikiran filosofis Hegel, terutama sistem yang gagal
memperhatikan pergulatan eksistensial dan subjektifitas manusia. Beliau
mendeskripsikan pemikiran filosofis Hegel seperti naik ke puncak gunung dan
memandang ke bawah. Dari atas hanya di lihat keindahan, keteraturan atau pun
kerapihan yang nampak. Tetapi Hegel lupa bahwa situasi yang nampak mungkin
sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di dalamnya. Dengan demikian, individu pun dengan
mudah larut dalam sistem abstrak atau
lukisan besar tersebut. Manusia tidak lagi dikenal sebagai pengada yang
memiliki kebenaran dan eksistensinya yang bersifat contingent[23]. Bereksistensi berarti berjuang untuk menjadi diri
sendiri. Ketika orang berjuang dengan kekuatannya untuk menjalankan hidup dan
mengikuti suara hati atau kebenaran terdalam dari adanya, ketika itu juga ia
mulai menyadari akan keterpangggilan hidupnya. Bahwa dirinya tidak harus
sepenuhnya digerakkah oleh berbagai kekuatan dari luar. Ia menjadi dirinya
sendiri ketika semuanya berjalan sesuai dengan keberadaannya. Dengan demikian,
seluruh personalitasnya bermakna bagi diri dan bagi orang lain. Dalam
perjuangan tersebut, individu dihadapkan dengan satu persolan besar yakni
pergumulan atau pergulatan eksistensial.
Pergulatan ini dikaitkan dengan kenyataan multidimensional yang ada dalam diri
individu. Bagaimana individu dan keautentikannya mampu mempertahankan jati diri,
tanpa harus mengikuti arus kerumunan. Baginya, cara mengada
manusia dapat dirumuskan, I
choose, therefore i exist. Orang yang sungguh meng”ada” tidak akan lari dari
pilihan-pilihan yang harus dibuatnya dan dari keputusan-keputusan yang harus
diambilnya.
VI.
Subjektifitas Sebagai Dasar Pijak Untuk Menentukan
Pilihan Moral
6.1 Subjektifitas Sebagai Kebenaran Pertama
Dalam
pandangannya mengenai kebenaran sebagai subjektifitas, Kierkegaard tidak
berbicara mengenai semua bentuk kebenaran, melainkan hanya bentuk-bentuk
kebenaran yang secara konkret menentukan cara manusia menjalani hidupnya, yakni
kebenaran moral dan religius. Berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan. Kebenaran moral dan religius ini berbicara
langsung kepada manusia sebagai subjek dan menawarkan nilai-nilai kehidupan,
khususnya mengenai bagaimana kita hidup: apakah dalam bertindak kita akan
memperhatikan nilai-nilai moral, apakah dimensi religius atau yang Ilahi
memainkan peran utama dalam hidup kita, apakah untuk mencapai kepenuhan hidup
dan menemukan maknanya kita harus mencari pasangan hidup, atau apakah yang
menjadi prioritas hidup kita[24]? Semuanya ini tentu berawal dan berdasar pada apa yang dinamakan kebenaran
pertama yakni apa yang kita peluk erat-erat, apa yang dari semula kita yakini
sebagai kebenaranan (kondisi batin kita). Dengan berpangkal pada kebenaran
tersebut, kita akan mampu menentukan ke mana arah tindakan dan penentuan pilihan kita. Pilihan
moral yang berbobot, muncul ketika pertama-tama kita mendengarkan suara hati
dan mempertimbangkan segala kemungkinannya. Itulah tugas seorang manusia:
menanggapi secara konkret tawaran kebenaran moral dan religius, serta membangun
relasi eksistensial dengannya, dengan membuat pilihan dan komitmen. Bagaimana
pun juga, orang harus memilih bagaimana cara ia hidup di dunia atau cara
ia berada dalam dunia (his or her own way of being in the world)[25]
6.2 Bentuk Tanggung
Jawab
Ketika
individu memeluk kebenaran yang ada di dalam dirinya, serentak juga ia
menyadari konsekwensi terdalam dari pilihan tersebut. Pilihan mengandaikan
tanggung jawab dan mengarah kepada penyempurnaan diri. Dengan potensi
(kebenaran dalam dirinya), refleksi atau acuan utama yang menjadi indikator
adalah pergulatan eksistensi etis manusia. Artinya, pertimbangan moral
(good-evil/ baik-buruk) akan sangat jelas demi sebuah pilihan. Pada tingkat
inilah individu menjadi dirinya sendiri, individu yang memiliki kebenaran dalam
dirinya.
Pilihan dari dirinya sendiri merupakan sesuatu
yang krusial atau sangat penting bagi kepribadian seseorang. Melalui pilihan
tersebut, individu menyelami apa yang
telah dipilihnya. Karena itu, ketika tidak melakukan pilihan, maka individu
mengalami penurunan dalam kebereksistensiannya[26]. Pilihannya mengandung seluruh personalitasnya, mengandung
pertimbangan, komitmen dan dengan demikian mengafirmasi kenyataan
kebereksistensiannya.
Dengan demikian,
pemanfaatan potensi yang ada dalam diri individu sangat menentukan
berbagai bentuk pilihan, terutama pilihan dalam ranah eksistensi etis.
Pertimbangan good-evil akan selalu berjalan bersama demi terwujudnya kehidupan
individu yang bermoral. Kehidupan moral individu yang baik menggambarkan atau
menampakkan kebereksistensiannya. Bahwa ia bertanggung jawab penuh atas
kenyataan dirinya, baik yang
bersifat membangun mau pun
terhadap setiap tindakan yang merugikan.
6.3 Komitmen Pada Tingkat Tertentu
Dengan
mengedepankan kebaikan sebagai hal tunggal yang harus dikehendaki, maka komitmen
atau tanggung jawab subjektif yang perlu dibangun atas seluruh usaha
menghenghendaki dan menghayati kebaikan sebagai tanggung jawab abadi di hadapan
Allah: kebaikan tunggal. Komitmen pada tingkatan tertentu
hanyalah mengungkapkan adanya
partikularitas dan determinasi tanggung jawab manusia yang menghendaki
dan menghayatinya. Inilah tantangan yang
dimaksud. Kierkegaard menyebutnya dengan
nama kesibukan. Baginya, tanggung jawab abadi di hadapan Alla sebagai subjek adalah satu kewajiban inheren, berkenan dengan segala bentuk
realisasi diri yang berkesadaran. Oleh karena itu, bila seseorang ingin
mencapai kemurnian hati, dan benar-benar
ingin menjalani hubungan sepenuhnya
dengan Allah serta menghayati hubungan
tersebut, maka kesibukan dan berbagai
kegiatan kehidupan lainnya akan menjadi godaan terbesar.
6.4 Arah
Penyempurnaan Diri
Panggilannya
sebagai makhluk yang paling mulia akan menjadi penuh ketika manusia mampu mengambil, meresapi serta menjalankan
nilai-nilai kebenaran dalam kehidupannya. Nilai-nilai kehidupan (nilai moral)
itu harus hidup bukan karena ada tekanan
atau intimidasi dari pihak luar tetapi benar-benar karena manusia itu sendiri
menyadari kebereksistensiannya.
Kesempurnaan dirinya (walaupun tidak mutlak sempurna seperti Allah),
akan menjadi nyata ketika ia bertindak sesuai dengan suara hati, bisa melawan
arus kerumunan massa / eforia massa yang
sarat dengan topeng kemunafikan dan berani mengambil keputusan yang berpihak
pada pada kesejateraan bersama (bonum comunae). Dengan demikian, melalui berbagai perbuatannya yang baik
dan benar, manusia berusaha membentuk
dirinya sehingga mencapai titik yang sempurna dalam kaca mata manusia. Tugas
itu harus dikonkretkan dalam setiap aktivitas melalui berbagai peristiwa hidup,
baik secara pribadi pun dengan sesama
manusia. Dengan demikian, tugas dan
panggilan bukan saja membentuk dirinya, melainkan juga sebagai satu tindakan
dan perbuatan. Setiap pribadi harus terus-menerus mentransformasikan seluruh
adanya dengan segala kemampuan, memberikan diri seutuhnya kepada pemenuhan
hasrat dan untuk kebaikan bersama.
VII. Catatan Kritis: Relevansinya
Bagi Kehidupan Manusia Jaman Sekarang
Kalau kita berbicara tentang manusia, tentu kita
akan mengarahkan pikiran kepada apa yang dinamakan pribadi yang unik, otonom
dan berkesadaran. Semuanya itu memberi arti yang tak tergantikan pada diri
manusia itu sendiri dan sebagai pengafirmasian akan eksistensinya. Otonomitas bukan dibentuk atau dimaknai oleh adanya yang
lain, tetapi pertama-tama dimengerti atau dipahami hanya karena manusia itu
sendiri. Ia yang menjadikan dirinya bermakna baik bagi dirinya sendiri mau pun
bagi orang lain (walau pun tidak bisa terlepas dari campur tangan
orang atau pribadi lain di luar dirinya). Kebenaran ada pada subjek yang
sadar yang pada gilirannya memberi arti bagi eksistensinya. Walau pun demikian,
kebenaran subjektif yang melekat pada eksistensi manusia tidak pernah
menyangkal atau pun menolak apa yang dinamakan kebenaran objektif. Hanya saja,
perlu diberi distingsi yang jelas sehingga keduanya tetap pada tempatnya
masing-masing, bukan saling mengklaim bahwa salah satunya saja yang benar dan
yang lain mengikuti atau tidak memiliki kebenaran sama sekali. Proses pemikiran
yang di bangun oleh manusia tentang dunianya bukan semata-mata karena ia
melihat atau sadar akan res hic et nunc
(realitas di sini dan sekarang), tetapi juga pemikiran tersebut muncul dari
intensionalitas diri yang dimilikinya. Dari
dalam diri telah ada yang dinamakan kebenaran. Kebenaran itulah yang selalu
berhubungan atau berpartisipasi langsung dengan seluruh rangkaian kegiatan
(menilai dan memutuskan) setiap tindakan. Kenyataan sadar setiap manusia dan berbuat baik berdasarkan kesadaran tersebut. Dan di sini
jelas bagi kita, bahwa kenyataan sadar
muncul pertama-tama dari dalam pribadi, bukan karena rangsangan dari
luar. Kenyataan sadar itulah yang menggerakkan manusia untuk berbuat, memaknai
hidupnya, merealisasikan adanya sekaligus sebagai bentuk penghayatan
panggilannya. Bahwa setiap pribadi dipanggil untuk dapat memberi arti, baik
bagi dirinya sendiri mau pun bagi orang
lain yang ada di sekitarnya, sehingga dengan demikian pengakuan terhadap dirinya
sebagai pribadi yang tak tergantikan, unik, otonom dan berkesadaran bisa berarti.
Dengan melihat pokok - pokok pikiran di atas,
setidaknya ada beberapa point penting (dalam bidang kehidupan) yang bisa kita ambil sebagai bahan permenungan
bersama untuk dihidupkan dalam praksis
hidup kita. Sekaligus bisa ditegaskan kembali bahwa semuanya itu itu adalah
bentuk jawaban kita bagi Allah untuk melaksanakan pangggilan hidup.
Pertama, dalam bidang sosial-politik. Seringkali dalam praktek perpolitikan, kita cenderung
mengabaikan hati nurani untuk setiap keputusan dan tindakan yang diambil.
Politik yang pada hakekatnya sebagai art of life, justru dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga kehilangan makna
terdalamnya. Dalam setiap kebijakan
yang di ambil, yang lebih dominan muncul adalah perjuangan untuk mencapai
kemapanan keolompok-status quo, agar tetap eksis dengan
mengorbankan golongan yang tak berdaya. Dan kenyataan inilah yang sejak awal
perjuangan Kierkegaard menarik rasa dan
simpati hatinya. Ia coba mengubah pola pikir masyarakat pada masanya untuk
tidak terjerumus dalam arus massa serta mengkritik kerumunan tersebut yang
dilihatnya berandil besar menggeser dan bahkan melenyapkan apa yang dinamakan
keunikan eksistensi setiap pribadi. Politik yang pada saat itu lebih cenderung
arogan dan bermotif untuk meningkatkan kemapanan kelompok tertentu sungguh
digandrungi oleh kaum elit. Dan di
sinilah orang - orang kecil dikorbankan. Kenyataan yang sama juga masih kita jumpai dengan jelas
di jaman sekarang ini. Karena itu, pada saat ini seruan yang sama,
yang pernah dilontarkan oleh Kierkegaard juga diarahkan kepada kita sebagai
bagian darinya untuk bermain dan memaknai hidup sebagai bentuk
panggilan kita. Tentunya, perjuangan itu tetap dalam tataran yang mengedepankan
bisikan suara hati serta kebenaran yang kita miliki, karena sesungguhnya
berpolititik adalah sebuah panggilan dan
seni kehidupan.
Kedua, dalam bidang agama-religius. Bercermin pada situasi perpolitikan di masanya yang cenderung mengabaikan kekuatan hati nurani dan
kebenaran subjektif, hal ini juga berimbas pada kenyataan hidup keagamaan.
Orang memeluk agama atau beriman dengan
kepercayaan tertentu bukan atas dasar keinginan hati atau keadaannya sendiri,
tetapi lebih dikarenakan situasi yang ada di sekitarnya. Agama baginya hanyalah
sebagai simbol yang memang melekat dengan negara. Agama bukan sebagai jaminam
hidup di masa depan, tetapi karena negara mewajibkannya. Karena itu, tidaklah
heran kalau praktek keagamaan itu juga lebih bersifat profan dan hura-hura. Penerimaan agama Kristen memerlukan subjektifitas, disposisi batin personal yang dilandasi
tanggung jawab inheren, menyangkut pilihan, hasrat dan penghayatan hidup yang
sesuai. Allah menjadi pilihan, hasrat dan keputusan mutlak. Semua temporalitas
dan kesibukan dunia hanyalah hal sekunder yang menjabarkan kemutlakan ini. Karena itu, sebagai bentuk panggilan kenabian kita pada
masa ini, hendaknya agama (iman) perlu dipegang dan dipeluk erat-erat sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari keberekesistensian kita. Kita juga perlu
menyadari, bahwa dengan memeluknya sebagai bagian dari hidup maka setiap
tindakan yang kita ambil dan keputusan yang dilaksanakan akan mencerminkan
keberpihakan kita kepada nilai-nilai kebenaranan yang menuju kepada kebaikan bersama
(kesejahteraan rakyat banyak).
Ketiga, dalam bidang moral-kemasyarakatan. Kehidupan moral
yang baik dalam masyarakat selalu menjadi cita-cita setiap pribadi manusia. Setiap pribadi selalu
mengidealkan hal yang sama karena dengan adanya kehidupan moral yang baik dalam
masyarakat, maka akan muncul harmoni
dan keselarasan dalam hidup. Meskipun adanya cita-cita bersama ini, tetap saja
terjadi banyak ketimpangan dan bahkan dekadensi moral yang mengakibatkan
kehidupan semakin tidak menentu. Berbagai tindakan yang tidak didasarkan pada
fondasi kebenaran serta hati nurani justru dilegalkan dan bahkan dijalankan
tanpa beban. Moral masyarakat tidak mencerminkan adanya sebagai pribadi yang beriman,
otonom, unik dan berkesadaran. Manusia terjerumus dalam hegemoni hedonisme
sekular yang lebih memilih untuk menikmati hal-hal sesaat, tanpa
mempertimbangkan akibatnya. Manusia
bertumpu dan berharap kepada kekuatan massa yang terkadang tanpa dasar yang kuat untuk dipertahankan.
Manusia lebih senang untuk ada dalam kerumunan karena ia takut untuk menjalani
kebereksistensiannya secara pribadi. Yang ada hanyalah aksi tanpa hati,
dinamika tanpa arah. Karena itu, pada saat ini kita semua dipanggil sebagai
pribadi yang memiliki kekuatan dalam diri untuk
melawan segala kebobrokan hidup dalam masyarakat. Eksistensi kita hanya
akan berarti ketika kita mampu menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah manusia yang otonom, unik
dan berkesadaran untuk melakukan apa yang kita mau sesuai dengan hati nurani
dan kebenaran yang kita miliki. Kehidupan moral yang baik dalam masayarakat
akan berarti ketika setiap kita sadar akan panggilan kenabian yang diembankan
kepada kita. Inilah panggilan kita sebagai pribadi yang memiliki kebenaran
dalam diri, yang unik, yang otonom serta yang berkesadaran.
Manusia harus menampilkan “diri otentik“ dengan keluar
dari kerumunan atau massa, karena dalam kerumunan, setiap pribadi mengalami
gejolak yang pada akhirnya menjerumuskannya untuk tidak mendengarkan kata hati
atau kebenaran dari dalam dirinya. Terkadang tak bermakna lagi, ketika kekuatan
massa lebih mendominasi seluruh kehidupan. Kebenaran sebagai subjektifitas yang
bermuara pada penyerahan kepada Yang Tak Terbatas. Iman dalam diri yang
terbatas mengakui realitas yang tak terbatas. Imanlah yang menghidupkan agama
sekaligus menjawab keraguan, kecemasan dan ketakpastian manusia. Dengan
iman yang kita miliki, maka akan turut mempengaruhi setiap tindakan. Iman yang
akan menyelaraskan kehidupan. Maka yang terpenting bagi setiap pribadi adalah
bagaimana terjadi harmoni antara intensi, ekspresi dan tindakan. Dengan
munculnya harmoni, maka tindakan kita
akan selalu memperhitungkan baik buruk, boleh tidaknya sesuatu untuk dilakukan.
Moral yang baik akan selalu terjaga ketika semua hal yang kita lakukan
berpegang teguh pada komitmen kita dan relasi kita dengan Allah.
Daftar
Pustaka
Soren A. Kierkegaard, Concluding Unscientific Postcript,
translate by David F. Swnson (New Jesrey: Princenton University Press, 1944)
____________________, Either/Or, Part II, Edited and Translated with introduction and notes by Howard V. Hong
and Edna H. Hong (New Jesrey: Princeton University Press, 1987)
Albert Snijders, Antropologi
Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan,(Yogyakarta: Kanisius,
2004)
Antony T. Pandovano, The
Estranged God Modern Man’s Search For Believe, (New York: Combridge University Press,1996)
F. Budi Hardiman,
Filsafat Modern, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama,2004)
Fuad Hasan, Pengantar
Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2005)
Hadiwijono H., Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1980)
Harry Hmmersma, Tokoh-Tokoh
Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983)
Louis Dupre, Kierkegaard
as Theologian, (New York: Comebridge University Press, 1963)
Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002)
N. Drijarkara, SJ, Percikan
Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan, 1981)
Peter Vardy, Kierkegaard,
(London: Part of Harper Collins Publisher,1996)
Roger Scruton, Sejarah
Singkat Filsafat Modern Dari Descartes Sampai Witgenstain, (Jakarta: Panca Simpati, 1986)
Save M. Dagun, Filsafat
Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)
William L.Kelly, Readings
in the Phylosophy of Man, (USA: McGraw-Hill Book Company, 1967)
[1] Louis Dupre, Kierkegaard as Theologian,
(New York: Comebridge University Press, 1963), p. 3
[2] Lihat
catatan harian Kierkegaard dalam Thomas Hidya Tjahya, Kierkegaard: Pergulatan Menjadi
diri Sendiri, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), p. 4
[3] Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta:
Pustaka Jaya, 2005), p. 124 Eksistensialisme merupakan satu paham atau aliran, yang memandang segala
gejala dengan berpangkal pada ekistensi; yakni cara manusia berada di dalam
dunia. Cara manusia berada dalam dunia, berbeda dengan cara berada benda-benda.
Benda-benda tidak sadar akan keberadaanya, juga yang satu berada di samping
yang lain, tanpa hubungan. Tetapi manusia menyadari dirinya di antara manusia
lain dan benda-benda (bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1980, p. 148)
[7] Harun Hadiwijono, Op.Cit., p.51
[12] Tahap
religius merupakan tahap pemenuhan, tetapi perlu dicatat bahwa pemenuhan itu
tidak seperti seorang yang memberikan sedekah berupa emas, tetapi lebih
dipahami sebagai penyesalan atau pertobatan secara pribadi yang akan terjadi
dalam waktu yang tak terbatas dan sebagai konsekuensinya religius adalah
kontradiksi” (Soren A. Kierkegaard, Stages of Life’s Way,
edited and translate with introduction and notes by Howard H.Hong and Edna H.
Hong ( New Jesrey: Princenton University Press, 1988), p. 477)
[15] Roger
Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern Dari Descartes Sampai Witgenstain, (Jakarta: Panca Simpati, 1986), p. 224
[17] Lihat dalam Soren A.
Kierkegaard, Concluding Unscientific Postcript, translate by David F. Swnson
(New Jesrey: Princenton University Press, 1944) p. 296
[18] Ibid., p. 276
[19] Ibid., p. 314
[20] Louis Dupre, Op.Cit., p. 41
[21] Albert
Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), p. 24
[22] Lihat dalam Soren A. Kierkegaard, Either/Or, Part II, Edited and
Translated with introduction and notes
by Howard V. Hong and Edna H. Hong (New Jesrey: Princeton University Press,
1987), p. 251
Thomas Hidya Tjahya, Op.Cit., p. 153-155
Ibid., p. 14-15
Loc.Cit.
Lihat dalam Soren A. Kierkegaard, Either/Or, Part II, Edited and
Translated with introduction and notes
by Howard V. Hong and Edna H. Hong (New Jesrey: Princeton University Press,
1987), p. 163