Kemendikbud Ngebut, Guru-Dosen
Kalang Kabut
Oleh:
ALBERTUS FIHARSONO, S.Pd., M.Hum.
Terus terang, saya lumayan bingung memilih judul
untuk tulisan ini. Bingung mau pilih yang mana; “kemendikbud malas, guru-dosen
kerja keras”, atau “kemendikbud
ngebut,
guru-dosen kalang kabut” atau “kemendikbud
ngebut,
guru-dosen benjut”. Tak tahulah, mana yang lebih pas.
Yang jelas saya gerah
dengan kebijakan
kemendikbud
yang suka ngebut, tetapi malas dan berorientasi jalan pintas. Para pejabat di kemendikbud
sukanya
membuat syarat kelulusan yang serba ideal secara nasional, tetapi kemudian
kembali duduk di kursi
mereka
yang empuk sambil terkantuk-kantuk. Mereka tidak tahu bahwa di luar sana, di kota-kota kecil,
di kampung-kampung, di daerah-daerah pedalaman dan perbatasan, guru-dosen menjadi
kalang kabut memenuhi tuntutan kemendikbud
yang selalu ingin ngebut.
Hebatnya, walau gaji
seringkali hanya sampai tanggal lima belas, kredit motor juga belum lunas, guru-dosen
tetap mau bekerja keras, mendidik siswa-mahasiswa dengan penuh ikhlas. Padahal hati
mereka menangis, karena mereka tahu betul, pencapaian siswa-mahasiswa mereka
hampir pasti tak akan bisa menembus syarat lulus. Ya, syarat lulus semakin tak
tertembus, sementara suasana belajar masih diliputi rasa was-was, takut tertimpa
robohnya atap kelas. Fasilitas pun serba terbatas.
Mungkin sekali-kali para pejabat kemendikbud, termasuk Pak
Menteri,
yang berkantor nun jauh di
Jakarta sana, perlu beranjak dari
kursi empuk dan jalan-jalan menengok sekolah-sekolah di pedalaman, misalnya
saja di sekitar Merauke-Papua. Saya rekomendasikan beberapa tempat yang saya
tahu, Distrik Kimaam, Jagebob,
atau Okaba, misalnya. Saya juga siap menemani, dengan senang hati.
Para pejabat kemendikbud perlu melihat
langsung bagaimana kondisi pendidikan di Papua; bagaimana perjuangan anak-anak
Papua yang harus berjalan kaki tanpa alas kaki menyusuri sungai dan menembus
hutan dengan kondisi
serba ekstrim, hanya untuk belajar di gubuk reyot yang
disebut sekolah; bagaimana perjuangan guru-guru di sana yang harus hidup dalam
kondisi yang sangat jauh
dari segala macam efisensi dan kenikmatan kemajuan jaman;
dan lain sebagaianya. Ini penting, supaya kebijakan yang dikeluarkan dan diberlakukan
secara nasional bukan kebijakan yang berpola pikir dan berkonteks Jakarta.
Tentang pendidikan
tinggi, Pak Menteri juga perlu mengerti bahwa selama ini masyarakat di Papua kurang
memiliki akses terhadap perguruan tinggi. Untunglah, beberapa tahun belakangan
ini, banyak yayasan kecil berswadaya mendirikan perguruan tinggi demi melayani
anak-anak Papua yang tidak berdosa terhadap negara ini tetapi seringkali
bernasib malang, terlindas oleh kebijakan yang berpola pikir dan berkonteks
Jakarta.
Sekarang, di kota-kota
kecil seperti Merauke, sudah terdapat beberapa perguruan tinggi, walaupun pada
umumnya sangat kecil atau bahkan ala kadarnya. Bisa diperkirakan seperti apa
kualitas kebanyakan perguruan tinggi itu. Selain karena fasilitas dan tenaga dosennya
kurang memadahi, baik secara kuantitas maupun kualitas, ini juga karena
kualitas input mahasiswa barunya juga relatif rendah. Ini adalah mata rantai
yang saling terkait, dimulai dari pendidikan dasar yang diselenggarakan di
gubuk-gubuk reyot yang nyaris tanpa fasilitas itu.
Ujian nasional, cermin
malas
Betul, ujian nasional
adalah sebuah usaha untuk meningkatkan kualitas akademik lulusan. Tetapi mari tengok
apa yang dikatakan S.G. Grant dalam Theory and Research in Social Education
(2002:2), “testing drives much of what
teachers do.” Jadi, jika ingin meningkatkan kualitas
pendidikan, kemendikbud
tidak perlu repot. Berlakukan saja tes yang sulit, maka guru dan murid yang
malas sekalipun akhirnya akan berusaha keras. Proses pendidikan akan menjadi
lebih baik dengan sendirinya.
Lebih jauh, Grant mengatakan,
“curricular and instructional change will
occur if and when the tests change” (hal. 2). Jadi, tampaknya, evaluasi dan
beberapa perubahan pada ujian nasional - skor minimal kelulusan yang dinaikkan
setiap tahun, misalnya - didasarkan pada
asumsi semacam ini. Naikkan saja standar kelulusannya, maka semua guru dan
murid akan bekerja lebih keras. Proses pendidikan menjadi lebih baik dengan
sendirinya.
Jika demikan, lalu apa
susahnya menjadi pejabat di
kemendikbud?
Meneruskan pemberlakuan ujian nasional dan membuat sedikit perubahan setiap tahun, saya kira bukanlah
perkara rumit. Usaha simpel ini toh pada
akhirnya berhasil membawa peningkatan kualitas pendidikan, minimal terwujud
dalam angka-angka statistik.
Dan jika memang benar
ada peningkatan kualitas pendidikan, siapa sebenarnya yang bekerja keras? Siapa
pula yang duduk bermalas-malas? Mudah sekali jawabannya bukan? Karena “change the test, and it changes teachers’
practice” (Grant, 2002: 3). Tetapi celakanya, pembuat kebijakan yang hanya
duduk bermalas-malas itulah yang justru mendapat pujian atas peningkatan
kualitas pendidikan yang terjadi.
Publikasi
karya ilmiah, juga cermin malas
Para dosen dan mahasiswa, belakangan ini, juga kalang kabut.
Betapa tidak? Sebagai syarat kelulusan, terhitung mulai Agustus 2012, mahasiswa
S-1 harus mempublikasikan karya ilmiah di jurnal, mahasiswa S-2 di jurnal
nasional yang terakrediatasi oleh Dikti, dan S-3 di jurnal internasional.
Betul, publikasi karya
ilmiah kaum akademisi,
termasuk mahasiswa, melalui jurnal ilmiah perlu untuk terus
didorong dan ditingkatkan. Hal ini juga merupakan usaha untuk meningkatkan
kualitas akademik lulusan perguruan tinggi kita. Seperti yang dikatakan Mendikbud,
Mohammad Nuh, publikasi karya ilmiah dapat mendorong tumbuhnya budaya ilmiah,
pengembangan keilmuan, dan meminimalisasi plagiarisme (Kompas, 11/2/2012). Pada
konteks ini saya sepakat.
Namun, jika publikasi
karya ilmiah di jurnal dijadikan sebagai syarat kelulusan mahasiswa, saya kurang sependapat. Ini tak berbeda dengan
kebijakan ujian nasional. Ini juga bentuk kebijakan malas yang hanya
mementingkan jalan pintas untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Ini
adalah model kebijakan yang hanya berorientasi pada produk akhir, tetapi tidak
mau bekerja keras membenahi proses dan sumber daya sejak dari hilir.
Celakanya, walaupun
kritik datang dari berbagai pihak, Nuh tetap kukuh. Seperti dikutip Kompas
(11/2/2012), Nuh mengatakan bahwa kebijakan publikasi ilmiah memang harus
dipaksakan. Jelas sekali bahwa kritik dan berbagai kendala di lapangan yang
sudah diungkapkan berbagai pihak tidak mampu sedikitpun menggoyahkan
keinginannya. Bahkan dia menegaskan bahwa publikasi ilmiah tetap harus
dijalankan (Kompas, 11/2/2012).
Terus terang, saya
tidak bisa membayangkan kapan mahasiswa-mahasiswa saya di Merauke bisa lulus
S-1 kalau begitu. Saya sama sekali tidak bermaksud underestimate kamampuan mereka
atau kualitas perguruan tingginya, tetapi saya ingin menegaskan bahwa mereka
selama ini kurang beruntung sebagai warga negara Indonesia. Sejak mereka kecil,
negara telah alpa dalam penyediaan pendidikan yang berkualitas bagi mereka. Dan
saya kira, ini
tidak hanya terjadi di Merauke atau Papua saja, tetapi juga daerah atau pulau lain.
Patut saya tekankan
pula bahwa walau bagaimanapun, perguruan tinggi-perguruan tinggi kecil di
kota-kota kecil,
seperti Merauke, telah berkontribusi besar, terutama dalam mengembangkan
potensi dan intelektualitas anak-anak bangsa yang kurang beruntung itu. Mahasiswa saya, misalnya, banyak yang lulus dengan
kemampuan pas-pasan, tetapi akhirnya bisa berperan sangat besar ketika pulang
ke kampungnya di pedalaman dan menjadi guru di sana. Dedikasi mereka sangat baik. Dan
itu patut kita apresiasi. Walaupun, tentu saja, kualitas akademik mereka
kurang bisa
diperbandingkan dengan kualitas lulusan universitas-universitas besar, seperti
di Yogyakarta misalnya.
Perbaikan
secara sistemik dan sistematik
Pemberlakuan syarat
kelulusan, baik berupa ujian nasional dengan ketentuan skor minimal bagi siswa
sekolah menengah maupun publikasi karya ilmiah bagi mahasiswa, sebenarnya tak
sepenuhnya jelek dan merugikan. Kita tetap patut menghargai bahwa kedua
kebijakan tersebut adalah bentuk usaha dalam rangka peningkatan kualitas
pendidikan. Tetapi harus diakui juga bahwa itu adalah usaha yang paling malas. Tentu
ini menjadi celaka besar bagi bangsa ini jika kebijakan ujian nasional dan publikasi
karya ilmiah ternyata tidak dibarengi dengan perbaikan substansial-menyeluruh
pendidikan kita, baik secara sistemik (concept,
design, dan operation) maupun
secara sistematik (goal, process, dan
resources).
Jika Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan memang serius untuk memperbaiki pendidikan kita, perbaikan
harus benar-benar dilakukan secara sistemik dan sistematik. Pembenahan secara
sistemik berarti dimulai dari pembenahan konsep pendidikan, yang kemudian
mewujud pada design, hingga akhirnya
terimplementasikan pada
tataran operasional. Pembenahan secara sistematik berarti dimulai dari revisi tujuan,
yang kemudian berlanjut ke perbaikan proses, dan pembenahan sumber dayanya.
Dalam hal pembenahan
konsep, misalnya, konsep pendidikan yang baru harus tersosialisasikan dengan
baik hingga benar-benar dihayati oleh para guru-dosen. Dengan demikian
perubahan yang terjadi bukan hanya perubahan di tataran permukaan atau kulit,
tetapi sungguh perubahan yang dimulai dari penghayatan dan pola pikir.
Jika konsepnya berubah,
maka design dan operasionalnya pun
akan ikut berubah. Jika konsep di kepala guru-dosen telah berubah dari
“menggurui” dan “mentransfer”, menjadi “memfasilitasi pengalaman” dan “memungkinkan”
murid untuk mengembangkan potensinya, maka perencanaan pengajaran dan
implementasi di kelas pun akan berubah pula. Jika konsep di kepala guru-dosen
sudah berubah dari “guru adalah sumber” dan “satu-satunya kebenaran” menjadi “murid
juga sumber” dan “murid juga memiliki kebenaran” maka perencanaan pengajaran
dan implementasi di kelas pun akan berubah pula. Aktivitas pembelajaran
akhirnya menjadi proses mengalami bagi setiap individu. Proses mengalami inilah
yang memungkinkan masing-masing individu untuk mengonstruksi sebuah pemahaman
baru secara unik sesuai dengan potensi dan background
knowledge yang dimiliki, tanpa harus disalahkan, diperbandingkan, atau
bahkan dinyatakan gagal karena tak memenuhi standar nasional.
Pendidikan pada
hakekatnya tak mengenal siswa gagal. Setiap siswa dipandang berhasil karena
setiap siswa mampu menciptakan progress sesuai
potensinya masing-masing. Model pendidikan semacam inilah yang pada akhirnya
mampu menghasilkan manusia yang terus berproses dengan keingintahuannya, selalu
mempertanyakan “mengapa”, berani mengungkapkan gagasannya, dan menciptakan progress sesuai potensinya.
Jalan
panjang, mulai dari dasar
Meningkatkan kualitas
pendidikan hingga indikator-indikator yang tetapkan kemendikbud terpenuhi – dalam hal
ini siswa sekolah menengah mencapai skor minimal tertentu dalam ujian nasional,
dan mahasiswa mampu mempublikasikan karya ilmiah di jurnal nasional dan
internasional - tentu bukan perkara mudah dan bisa dicapai secara pintas hanya
dengan menerbitkan kebijakan syarat kelulusan. Ini memerlukan proses panjang,
dimulai dari level pendidikan yang terendah, pendidikan dasar.
Pendidikan dasar kita
perlu dibebaskan dari dominasi guru dan marginalisasi murid. Pendidikan dasar
kita harus memberi ruang terhadap perbedaan, keunikan, kreativitas, rasa ingin
tahu, keberanian, bahkan kenakalan dan keusilan yang menjadi kekhasan anak.
Semua anak dihargai sebagai pribadi unik dan berpotensi. Semua anak dipandang
berhasil karena mempu menciptakan progress
sesuai potensinya. Inilah seharusnya yang menjadi fokus dari kemendikbud, bukan justru sibuk
dengan kebijakan ujian nasional dan publikasi karya ilmiah sebagai syarat atau
standar kelulusan.
Hati-hati, Pak Menteri,
pendidikan pada hakekatnya tak hendak menyetandarkan pencapaian manusia. Pendidikan hendak membantu setiap manusia untuk
menciptakan progress sesuai
potensinya masing-masing.
ALBERTUS FIHARSONO, S.Pd., M.Hum.
Direktur Educational Research & Development
Institute (ERDI);
Guru/Dosen Tetap KPG Khas “Papua”Merauke;
Dosen Luar Biasa STK St. Yakobus Merauke