PENDIDIKAN: SEBUAH PROSES
PEMBEBASAN
Negara telah mendedikasikan tanggal
2 Mei sebagai hari pendidikan nasional atau dikenal dengan HARDIKNAS. Dalam
menyongsong HARDIKNAS ini, setiap lembaga atau instansi yang bergelut dalam
bidang pendidikan merencanakan berbagai kegiatan sebagai bentuk peningkatan kualitas
pendidikan. Namun penetapan tanggal 2 Mei sebagai HARDIKNAS juga menjadi ajang
untuk menuai berbagai kritik terhadap penyelenggaraan pendidikan. Lembaga dan
elemen-elemen sosial yang menjadi pemerhati pendidikan sering melontarkan
kritik sebagai salah satu bentuk tanggungjawab dan andil dalam mencerdaskan
manusia Indonesia.
Realitas pendidikan di Indonesia
menjadi masalah besar. Idealisme pendidikan tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Ada kehancuran moral yang dibangun oleh anak-anak didik. Bahkan tindakan
generasi anak bangsa kita semakin meresahkan masyarakat karena sering melakukan
tawuran dan bahkan melakukan tindakan-tindakan kriminal. Misalnya polisi
menangkap tiga orang pelajar karena membacok seorang siswa Madrasah Aliyah
Negeri III di Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada kamis, 19 April 2012. Ketiga
orang pelajar ini merupakan anggota komunitas geng motor “The Wools” (bdk. Papua
Selatan Pos, 25 April 2012 hal. 2 kolom 26-28). Inilah realitas pendidikan anak
bangsa yang menampilkan wajah buram dengan tindakan kekerasan. Ketika dunia
pendidikan diperhadapkan dengan persoalan seperti ini maka kita perlu menelisik
hakekat pendidikaan itu sendiri. Apakah pendidikan harus dimulai dalam keluarga
(pendidikan informal)? Apakah pendidikan sudah memerdekakan anak-anak didiknya?
Siapa yang bertanggungjawab terhadap pendidikan? Apakah pendidikan itu harus
berlangsung seumur hidup?
Pertanyaan-pertanyaan di atas lebih
berkaitan dengan arti pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan sesungguhnya
adalah pemanusiaan manusia. Ini berarti pendidikan merupakan sebuah proses
untuk memanusiakan manusia. Jika demikian maka pendidikan itu merupakan proses menginternalisasi
nilai dan norma-norma yang berkaitan dengan kemanusiaan. Nilai dan norma-norma
kemanusiaan hanya dapat disosialisasikan pertama dan utama adalah keluarga.
Peran keluarga menjadi sangat penting karena keluarga menjadikan anak harus bersikap
dan berperilaku normal sebagai manusia yang berakal budi. Di sini berarti
anak menjadi manusia dewasa, manusia
yang memiliki rasa kemanusiaan, manusia yang seutuhnya. Dengan demikian
keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama. Maka pertanyaan, apakah
pendidikan harus dimulai dalam keluarga (pendidikan informal) dapat terjawab.
Pendidikan merupakan proses humanisasi
maka pendidikan harus dirancangbangun demi pembentukan karakter kepribadian
manusia sehingga sungguh-sungguh manusiawi. Karena itu, kita perlu menggagas
pendidikan sebagai sebuah pembebasan. Di sini saya mengangkat pemikiran seorang
filsuf dan ahli pendidikan yang berkebangsaan Brasil yaitu Paulo Freire. Menurutnya
pendidikan yang membebaskan sesungguhnya
merupakan penyadaran tentang kemanusiaan yang berasal dari dirinya sendiri. Kesadaran
tentang kemanusiaannya (potensi diri, daya kreativitas, dan inisiatif) harus memampukan
orang untuk mengidentifikasi dan mencermati realitas sosial. Pendidikan menjadi
momen untuk membangun kesadaran kritis terhadap berbagai problem sosial yang ada
di dalam masyarakat. Kesadaran kritis merupakan kesadaran penuh dalam diri di
mana manusia dapat memilah sesuatu, membedakan sesuatu, dan memvisualisasi apa
yang tidak dipahami sebelumnya (bdk. Seri Buku VOX Ledalero, seri
51/03-04/2006, hal 44). Kesadaran kritis berarti merenungkan tentang dirinya
dan realitas dunia yang dihadapinya. Pada tahap ini, pendidikan merupakan
sebuah proses untuk menghantar orang dalam memanusiawikan dirinya. Maka
pendidikan bukanlah sebuah penyaluran pengetahuan dan informasi dengan metode
dan teknik pengajaran yang ideal.
Pendidikan bukan hanya sekedar menggunakan proyektor dan kecanggihan teknologi
melainkan pendidikan merupakan sebuah proses pembentukan secara fundamental
sikap kritis terhadap diri, dunia, dan masyarakat.
Pendidikan
adalah proses maka seharusnya pendidikan itu berlangsung terus-menerus.
Pendidikan sebagai proses berarti pendidikan merupakan suatu realitas yang
sedang berlangsung dan terus berlanjut sampai pada tahap di mana terjadi
transformasi dan perubahan. Pendidikan sebagai proses berarti pendidikan terus
berlangsung dalam diri manusia dan tidak akan pernah selesai. Model pendidikan
seperti ini akan mudah dipahami. Ketika manusia sudah memahami tentang sesuatu,
memilah sesuatu maka ia memasuki tahap refleksi. Tahap refleksi berada pada tingkat
menemukan nilai bagi dirinya, bagi realitas dunia yang dihadapi. Ketika dasar nilai
itu terbentuk dalam dirinya maka tindakan yang benar akan tercipta. Maka
pendidikan yang membebaskan seseorang dari nilai-nilai yang berseberangan
dengan kemanusiaan dapat tercipta.
Berdasarkan
gagasan tentang pendidikan di atas, maka ada beberapa catatan yang perlu
diperhatikan ketika proses pendidikan bagi masyarakat Papua belum sampai pada
taraf transformasi karakter kepribadian manusia (humanisasi). Pertama:
pendidikan harus dimulai di dalam keluarga. Keluarga menjadi pendidik pertama
dan utama bagi anak-anak karena hanya di dalam keluarga terjadi proses transformasi
nilai dan norma dalam hidup bermasyarakat di mana mereka tinggal. Sebagian
masyarakat Papua masih memilih kebiasaan hidup berpindah-pindah. Gaya hidup
seperti ini akan berakibat pada pembentukan sikap dan watak anak. Kapan
orangtua memiliki waktu untuk mendidik anak-anak tentang nilai dan norma yang
harus dihayati sebagai pegangan hidup? Ketika orangtua hidup berpindah-pindah
maka anak-anak tidak memiliki dasar nilai dan norma hidup yang kokoh dalam
dirinya. Anak-anak akan sulit menemukan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru dan juga teman sebaya. Anak-anak membutuhkan tempat tinggal yang
tetap sehingga mereka sungguh-sungguh kerasan dan merasa bahagia dengan
lingkungan sekitarnya. Jika hal ini terjadi maka proses transformasi dan
internalisasi nilai dan norma dapat terjadi dalam diri anak-anak. Sangat
disayangkan, jika anak-anak dibiarkan setiap hari bahkan malam hari mengais
rezeki di pinggiran toko ataupun di rawa-rawa tanpa ada fungsi kontrol orangtua.
Realitas seperti ini akan melemahkan arti pendidikan yang sesungguhnya.
Anak-anak tidak diberikan kesempatan untuk mencerna nilai-nilai dalam
lingkungan pergaulan, kebebasan untuk hidup sebagai seorang anak dimatikan
melainkan beralih peran menjadi pencari nafkah. Karena itu saya yakin semua sependapat
bahwa keluarga merupakan lingkungan pokok dalam pendidikan anak-anak dan
pendidikan harus dimulai, dilangsungkan, dan diselesaikan dalam keluarga (bdk.
Josephus Ignatius G. M. Drost. Sekolah: Mengajar atau Mendidik, 1998. Hal. 27).
Kedua, ketika keluarga belum memfungsikan diri secara maksimal maka proses
menginternalisasi nilai dan norma hidup sebagai manusia belum tercapai sehingga
pembentukan sikap dan watak kepribadian belum tercipta. Pendidikan yang otentik
selalu berpapasan dengan adanya patokan dan dasar nilai yang benar untuk bisa
menemukan kesadaran yang benar sehingga melakukan tindakan yang benar juga.
Ketika kesadaran nilai seseorang keliru maka akan menghasilkan strategi yang
keliru dan juga tindakan yang keliru. Karena itu tidak heran jika hampir setiap
hari, surat kabar harian selalu memberitakan peristiwa pencurian, pembunuhan,
pemerkosaan di Merauke dan bahkan setiap hari selalu ada pemabuk yang
berkeliaran di jalan. Di sini orangtua perlu menanamkan nilai dan norma hidup
yang obyektif serta universal dalam diri anak. Nilai dan kebenaran obyektif
adalah nilai yang mengangkat manusia menuju taraf yang lebih manusiawi dan
beradab. Nilai-nilai tersebut tidak bergantung pada rasa senang atau tidak
senang melainkan secara obyektif harus dikejar karena berkaitan dengan martabat
manusia. Misalnya dilarang membunuh adalah berlaku secara obyektif dan harus
ditaati, apapun suasana batin yang berlangsung. Ketiga, sistem pendidikan yang
sedang dibangun oleh pemerintah tidak mampu menciptakan manusia Papua menjadi
manusia yang berkualitas. Pendidikan hanya sebagai sebuah proyek untuk
menggolkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu sementara itu anak-anak didik
menjadi korban dari sistem yang ada. Pendidikan hanya akan menjadi ajang untuk
saling menjajah. Otonomi khusus daerah Papua dengan kucuran dana yang besar
hanya membuka peluang untuk menjarah. Program-program yang diadakan pemerintah hanya
sebagai sarana untuk menghabiskan dana dan belum mengena pada sasarannya.
Misalnya program paket untuk siswa-siswi yang berusia lebih dari 18 tahun (bdk.
Papua Selatan Pos, 25 April 2012). Apakah siswa-siswi yang mengikuti program
ini sudah dibebaskan dari buta huruf? Apakah setelah menyelesaikan program ini
siswa-siswi dapat mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi? Apakah mereka akan
mampu memenuhi tuntutan perguruan tinggi yang nota bene harus menerbitkan sebuah
karya ilmiah dalam jurnal ilmiah (berdasarkan peraturan Kemendikbud sekarang)? Atau
misalnya salah satu program yang diusung oleh kantor perpustakaan dan arsip
kabupaten Merauke adalah perpustakaan masuk kampung (bdk. Papua Selatan Pos, 25
April 2012). Pertanyaan muncul, apakah masyarakat kampung juga sudah dibebaskan
dari buta huruf? Apakah masyarakat kampung sudah memiliki minat baca yang cukup
tinggi? Sementara itu fasilitas sekolah yang tidak memadai sehingga anak-anak
belum mengalami suasana belajar yang sesungguhnya. Hemat saya, program-program
seperti di atas perlu ditinjau kembali sehingga sungguh menyentuh sasaran yang
dituju.
Berdasarkan
catatan di atas maka saya menawarkan beberapa solusi agar pendidikan di Papua
dapat membangun jiwa kemanusiaan masyarakat. Pertama, pemerintah bersama
elemen-elemen sosial masyarakat perlu mengupayakan penyadaran kepada keluarga
dan masyarakat Papua bahwa pendidikan bukan hanya sekedar untuk naik kelas dan
memperoleh ijazah tetapi pendidikan sesungguhnya adalah membebaskan manusia
dari situasi terbelenggu. Pendidikan harus dipahami sebagai suatu proses untuk
menarik mereka dari situasi yang tidak manusiawi menjadi berwajah manusiawi
(pribadi yang integral berarti pribadi yang kreatif, jujur, dan memiliki daya
juang tinggi). Pendidikan harus dipahami sebagai proses untuk menjadi manusia
yang sungguh-sungguh mulia, yang keluar dari ketertindasan dan kebodohan
(mengutip pemikiran Y.B. Mangunwijaya). Kedua, pemerintah dan Gereja lokal
(Katolik) perlu bekerja sama untuk mempersiapkan tenaga-tenaga pendidik yang
memiliki semangat pengabdian dan pengorbanan bagi daerah-daerah pedalaman
Papua. Di sini berarti pemerintah dan Gereja lokal perlu bersikap selektif
terhadap tenaga-tenaga pendidik yang akan bekerja. Para pendidik harus mampu menghantar
anak-anak didik menjadi manusia utuh. Menjadi pendidik yang memiliki keutamaan
sehingga mampu mengangkat anak-anak Papua menjadi lebih bermartabat. Tenaga
pendidik yang mampu membentuk karakter anak-anak didik, sikap kritis dan
semangat juang yang tinggi bagi siswa-siswi. Ketiga, pemerintah perlu
mencanangkan program-program yang sungguh-sungguh menyentuh sasaran dalam
meningkatkan kualitas pendidikan di Papua. Program-program itu harus
berkelanjutan dan tepat sasar sehingga mampu membawa perubahan dalam bidang
pendidikan. Misalnya jika ingin mencanangkan program perpustakaan masuk kampung
maka langkah awal yang harus dilakukan adalah membebaskan masyarakat kampung dari
buta huruf. Apabila langkah yang diambil secara tepat maka saya yakin program
untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat berupa perpustakaan masuk kampung
akan mungkin sedikit berfaedah. Karena itu pemerintah dan setiap lembaga
pemerintahan perlu mengkritisi setiap program yang ada sehingga program-program
yang dibangun sungguh-sungguh tepat sasar dan mampu menjawabi situasi dan
persoalan yang sedang melilit masyarakat Papua. Keempat, pemerintah juga perlu
menyediakan fasilitas belajar yang membangun semangat belajar bagi siwa-siswi
yang berada di daerah-daerah pedalaman Papua. Dengan fasilitas belajar yang
memadai pasti akan memberikan kenyamanan belajar. Maka proses pendidikan yang
mereka peroleh mampu membebaskan mereka dari situasi keterpurukan dan menciptakan
generasi cerah bagi bangsa dan negara.
Banyak orang tidak mau menghargai proses, tapi berharap hasil yang optimal.
BalasHapusbanyak orang sudah terjebak dalam mental hidup seorang nomaden. jika orang hdup nomaden berarti ia tidak tahu bahwa segala sesuatu membutuhkan proses.ia hanya tahu menikmati hasilnya maka dia juga telah menghilangkan potensi diri, daya kreatifitas, inisiatif. kalau seperti ini berarti manusia belum sampai pada tahap bertingkahlaku secara normal karena ratio tdk berlaku bagi dirinya. yan
Hapus