Senin, 03 September 2012


NEGARA TANPA SAYAP
Oleh: Richard Christian Sarang, S.Fil*

             Hari peringatan proklamasi kemerdekaan negara kita tahun ini sungguh mencemaskan, diwarnai dengan keprihatinan yang cukup mendalam, berbagai peristiwa menyedihkan. Masih jelas dalam ingatan kita, beberapa waktu lalu di Jawa Barat, sekelompok orang (yang katanya sebagai warga negara yang baik dan ramah), begitu membabi buta membakar serta membumihanguskan area pemukiman warga lain dengan dalil-dalil tertentu. Juga tragedi Morowali-Sigi Sulawesi Tengah, yang memakan korban jiwa. Di sana, beberapa nyawa juga melayang. Terkini adalah peristiwa Sampang-Madura. Lebih ironisnya lagi, berbagai tragedi kemanusiaan tersebut mewarnai hari-hari terakhir saat ini, yang mana sebagian besar anak bangsa, sedang merayakan  hari raya Idul Fitri.  Kenyataan-kenyataan ini kiranya sudah cukup bagi kita, untuk melihat kembali serta merefleksikan sejauh mana rasa masyarakat-bagsa kita sudah terjadi. Sejauh mana karakter komunitas keberagaman kita telah tercipta? Apakah  semua itu sudah menyadarkan kita yang lain akan kelam dan suramnya masa depan serta ke-Indonesia-an kita saat ini?
             Tertulis jelas dalam memori kebanyakan anak negeri, akan cita-cita luhur bangsa ini, yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. ”Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan di dorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.” Sungguh luar biasa cita-cita ini. Tentu, kemerdekaan yang dimaksud oleh founding fathers kita adalah dalam segala aspek kehidupan, dalam kebersamaan dengan berpayungkan pelangi keanekaan. John Gardner, seorang pemikir abad ini pernah mengatakan: “tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”. Artinya, kalau satu bangsa selalu menaruh curiga terhadap yang lain, maka tak ada jalan untuk mencapai satu bangsa yang besar.
Indonesia  Negara  Bangsa?
            Perjalanan (baca: usia) bangsa Indonesia sudah begitu jauh. Bertahannya kondisi ini, tentu dipengaruhi  serta disemangati dengan falsafah bangsa kita, yakni Pancasila. Sila-sila dalam Pancasila, seyogyanya menjadi perekat, pemersatu, pengayom dan juga sebagai pandangan hidup bersama sebagai masyarakat bangsa. Tetapi, cita-cita tersebut sudah kita lalaikan saat ini. Kenyataan termutakhir, kita seolah-olah kehilangan identitas dan jati diri sebagai perekat perbedaan. Indonesia negara bangsa tak tersetuh oleh pilar-pilar konstitusi, karena kuatnya paham sempit primordial kita.
Pancasila sebagai falsafah bangsa serta fondasi kehidupan kebersamaan lebih sering hanya dipajang tanpa makna. Rasa kebersamaan dalam keanekaan, terendus jelas menunju titik nadir kehancuran. Lebih senang kita mencederai keberbedaan, dengan saling menghakimi, secara mem-babi buta. Tragedi kemausiaan yang terjadi akhir-akhir ini, menguatkan hipotesa saya akan kehancuran keberadaban bangsa ini. Semangat negara-bangsa, yang dicita-citakan pendiri bangsa ini, yang beranekaragam suku, ras, golongan, kepercayaan dan agama, terasa hanya fatmorgana dan slogan tanpa makna. Lebih parahnya lagi, harapan luhur bangsa kita yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sering dipermainkan dalam adegan politik yang penuh dengan kemunafikan dan keangkuhan orang dan kelompok orang  tertentu.
Oase negara bangsa hilang arah. Kelompok-kelompok dengan ekstrim tetrtentu, tidak lagi memberikan rasa aman di tengah saudara-saudaranya. Seakan paham kita paling benar dan secara naif menuduh yang lain. Lebih sering bertahan, bahwa agama kita yang benar, men-judge  agama lain sebagai kafir. Sungguh, satu kecelakan maut yang luar biasa. Kapan kita harus bangkit? Padahal pengalaman kemajuan sebuah bangsa, seyogyanya dibentengi oleh karakter yang kuat dalam membina hubungan, menjalin kerja sama, serta saling menghargai. Tanpa kehilangan perbedaan, tidak dengan menyeragamkan warna kehidupan. Toh, kita semua memang diciptakan dalam kerangka perbedaan dan keanekaan.
Kehilangan Arah: Terbang  Tanpa Sayap
            Rasanya sulit bagi kita untuk merajut kembali indahnya cita-cita para Proklamator. Mereka dengan tegas dan dengan rasa kekeluargaan mencari “jalan terbaik” bagi terbentuknya negara ini.  Pancasila sebagi sayap terkuat yang mematenkan rasa kebersamaan dalam keanekaan, kini berada dalam tabir kegelapan, yang bukan tidak mungkin akan diporak-porandakan oleh kaum yang ingin mengoyak merah putihnya Indonesia.
Kekerasan hati dan pendirian kelompok teretentu, sedang menyeret keharmonisan yang pernah ada di negeri ini menuju kehancuran. Kesatuan dalam keanekaan itu sudah mulai hilang. Toleransi di antara sesama masyarakat bangsa terkikis. Bangsa kita mulai kehilangan arah, sayap-sayap perekat sudah mulai patah dan hancur. Karena kita terlanjur membiarkan onak kecurigaan merajalela. Dan akhirnya, kita masuk dalam kategori negara-bangsa  yang  gagal memberi rasa aman dan nyaman bagi penghuninya.
Mengutip  pidato  Proklamator kita, Ir. Soekarno: “ Pancasila adalah satu alat pemersatu yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke, hanya dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Kita hendak mendirikan satu negara, semua untuk semua.” Saya sungguh yakin, mereka tidak pernah setengah hati merintis negara ini di atas bingkai keberagaman. Mereka juga tidak menghalalkan segala cara untuk kelompok sendiri demi mencapai kemapanan sesaat. Meminjam bahasa Niccolo Machiavelli, filsuf berkebangsaan Italia,” demi mempertahankan kemapanan, terkadang orang atau kelompok orang tidak peduli dengan prinsip apa pun, dan mereka melakukan keinginan mereka untuk memperolehnya.” Para pencetus bangsa ini tidak melakukan hal itu. Tapi sekarang justru berbeda. Tertutupnya jalan untuk meretas indahnya kebersamaan dalam keaanekaan. Dan malahan, memuluskan rasa haus-lapar kaum serakah yang tak lagi memakai logika dan nalar kemanusiaan dalam bertindak. Lalu, mau di bawa ke mana arah negara-bangsa ini, kalau sayap (payung kontitusinya) tak berfungsi atau patah?
Toleransi terkikis-rasa aman menjauh:  negara (pemerintah) di mana?
            Tidak bisa dielakkan lagi, negara tercinta ini terancam kehilangan masa depan yang cerah. Gambaran masa depan yang adil, makmur, sejahtera  dan  harmonis yang dicita-citakan pada 67 tahun silam justeru  “diperkosa” demi  kepentingan pribadi, hasrat kekuasaan dan juga kesenangan kelompok-kelompok tertentu. Peran negara untuk memberi rasa aman kepada warganya tidak sampai pada titik maksimal. Ada kesan, berbagai peristiwa kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini seperti yang telah digambarkan di atas, diakibatkan oleh kurangnya, dan bahkan tidak tegasnya pemerintah (aparat penegak hukum) untuk menindak orang/ kelompok orang yang secara brutal melecehkan yang lain. Lebih mengecewakan lagi, terjadi saling lempar tanggung jawab dan terkesan cuci tangan terhadap setiap peristiwa.
Tak cukup dengan perintah dari pusat. Karena mental tersebut tidak lebih hanya sebagai pelipur dahaga sesaat (lip service) dan tidak akan pernah sampai pada titik  persoalan yang ada di setiap komunitas masyarakat. Bagaimana mungkin persoalan membumi-hanguskan komunitas tertentu, tetapi oleh pemerintah mengatakan perbuatan tersebut justru dianggap sebagai kriminal belaka? Justru saya berpikir, statement-statement seperti itu hanya akan menyuburkan lahan primordial dan keangkuhan kelompok tertentu untuk terus menghabiskan (membunuh sesama) secara bebas dan brutal. Kalau kondisi ini yang terus terjadi, untuk apa pemerintah ada? Sekali lagi, celaka dan laknat bangsa ini! Dan jelas, negara tidak lagi menjadi rumah bersama untuk merajut  harmoni dalam perbedaan.
Maka menurut hemat saya, rasa aman sebagai masyarakat bangsa hanya akan terjaga, ketika kita bisa menjadi sahabat bagi yang lain. Kehadiran pribadi dan komunitas lain dalam hidup, harus dipandang sebagai “aku” yang hadir dalam wujud  “dia” atau “mereka”. Dan peran semua pihak, lebih khusus para pengambil kebijakan benar-benar harus ditingkatkan serta dioptimalkan. Sehingga pada akhirnya, cita-cita proklamasi tentang negara yang beradab, negara yang adil, negara yang sejahtera serta negara yang aman, sungguh ada. Jangan biarkan sayap-sayap pemersatu bangsa ini tersobek oleh keangkuhan dan latenya pikiran sempit kelompok tertentu. Hidup sebagai satu bangsa dalam rumah bersama, dengan tetap menyadari  perbedaan sebagai sesuatu yang nyata merupakan hal terindah yang menjadi cita-cita banyak orang.

*Penulis adalah dosen tetap di STK St. Yakobus Merauke