Senin, 03 September 2012


NEGARA TANPA SAYAP
Oleh: Richard Christian Sarang, S.Fil*

             Hari peringatan proklamasi kemerdekaan negara kita tahun ini sungguh mencemaskan, diwarnai dengan keprihatinan yang cukup mendalam, berbagai peristiwa menyedihkan. Masih jelas dalam ingatan kita, beberapa waktu lalu di Jawa Barat, sekelompok orang (yang katanya sebagai warga negara yang baik dan ramah), begitu membabi buta membakar serta membumihanguskan area pemukiman warga lain dengan dalil-dalil tertentu. Juga tragedi Morowali-Sigi Sulawesi Tengah, yang memakan korban jiwa. Di sana, beberapa nyawa juga melayang. Terkini adalah peristiwa Sampang-Madura. Lebih ironisnya lagi, berbagai tragedi kemanusiaan tersebut mewarnai hari-hari terakhir saat ini, yang mana sebagian besar anak bangsa, sedang merayakan  hari raya Idul Fitri.  Kenyataan-kenyataan ini kiranya sudah cukup bagi kita, untuk melihat kembali serta merefleksikan sejauh mana rasa masyarakat-bagsa kita sudah terjadi. Sejauh mana karakter komunitas keberagaman kita telah tercipta? Apakah  semua itu sudah menyadarkan kita yang lain akan kelam dan suramnya masa depan serta ke-Indonesia-an kita saat ini?
             Tertulis jelas dalam memori kebanyakan anak negeri, akan cita-cita luhur bangsa ini, yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar negara kita. ”Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan di dorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.” Sungguh luar biasa cita-cita ini. Tentu, kemerdekaan yang dimaksud oleh founding fathers kita adalah dalam segala aspek kehidupan, dalam kebersamaan dengan berpayungkan pelangi keanekaan. John Gardner, seorang pemikir abad ini pernah mengatakan: “tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika tidak sesuatu yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar”. Artinya, kalau satu bangsa selalu menaruh curiga terhadap yang lain, maka tak ada jalan untuk mencapai satu bangsa yang besar.
Indonesia  Negara  Bangsa?
            Perjalanan (baca: usia) bangsa Indonesia sudah begitu jauh. Bertahannya kondisi ini, tentu dipengaruhi  serta disemangati dengan falsafah bangsa kita, yakni Pancasila. Sila-sila dalam Pancasila, seyogyanya menjadi perekat, pemersatu, pengayom dan juga sebagai pandangan hidup bersama sebagai masyarakat bangsa. Tetapi, cita-cita tersebut sudah kita lalaikan saat ini. Kenyataan termutakhir, kita seolah-olah kehilangan identitas dan jati diri sebagai perekat perbedaan. Indonesia negara bangsa tak tersetuh oleh pilar-pilar konstitusi, karena kuatnya paham sempit primordial kita.
Pancasila sebagai falsafah bangsa serta fondasi kehidupan kebersamaan lebih sering hanya dipajang tanpa makna. Rasa kebersamaan dalam keanekaan, terendus jelas menunju titik nadir kehancuran. Lebih senang kita mencederai keberbedaan, dengan saling menghakimi, secara mem-babi buta. Tragedi kemausiaan yang terjadi akhir-akhir ini, menguatkan hipotesa saya akan kehancuran keberadaban bangsa ini. Semangat negara-bangsa, yang dicita-citakan pendiri bangsa ini, yang beranekaragam suku, ras, golongan, kepercayaan dan agama, terasa hanya fatmorgana dan slogan tanpa makna. Lebih parahnya lagi, harapan luhur bangsa kita yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sering dipermainkan dalam adegan politik yang penuh dengan kemunafikan dan keangkuhan orang dan kelompok orang  tertentu.
Oase negara bangsa hilang arah. Kelompok-kelompok dengan ekstrim tetrtentu, tidak lagi memberikan rasa aman di tengah saudara-saudaranya. Seakan paham kita paling benar dan secara naif menuduh yang lain. Lebih sering bertahan, bahwa agama kita yang benar, men-judge  agama lain sebagai kafir. Sungguh, satu kecelakan maut yang luar biasa. Kapan kita harus bangkit? Padahal pengalaman kemajuan sebuah bangsa, seyogyanya dibentengi oleh karakter yang kuat dalam membina hubungan, menjalin kerja sama, serta saling menghargai. Tanpa kehilangan perbedaan, tidak dengan menyeragamkan warna kehidupan. Toh, kita semua memang diciptakan dalam kerangka perbedaan dan keanekaan.
Kehilangan Arah: Terbang  Tanpa Sayap
            Rasanya sulit bagi kita untuk merajut kembali indahnya cita-cita para Proklamator. Mereka dengan tegas dan dengan rasa kekeluargaan mencari “jalan terbaik” bagi terbentuknya negara ini.  Pancasila sebagi sayap terkuat yang mematenkan rasa kebersamaan dalam keanekaan, kini berada dalam tabir kegelapan, yang bukan tidak mungkin akan diporak-porandakan oleh kaum yang ingin mengoyak merah putihnya Indonesia.
Kekerasan hati dan pendirian kelompok teretentu, sedang menyeret keharmonisan yang pernah ada di negeri ini menuju kehancuran. Kesatuan dalam keanekaan itu sudah mulai hilang. Toleransi di antara sesama masyarakat bangsa terkikis. Bangsa kita mulai kehilangan arah, sayap-sayap perekat sudah mulai patah dan hancur. Karena kita terlanjur membiarkan onak kecurigaan merajalela. Dan akhirnya, kita masuk dalam kategori negara-bangsa  yang  gagal memberi rasa aman dan nyaman bagi penghuninya.
Mengutip  pidato  Proklamator kita, Ir. Soekarno: “ Pancasila adalah satu alat pemersatu yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke, hanya dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Kita hendak mendirikan satu negara, semua untuk semua.” Saya sungguh yakin, mereka tidak pernah setengah hati merintis negara ini di atas bingkai keberagaman. Mereka juga tidak menghalalkan segala cara untuk kelompok sendiri demi mencapai kemapanan sesaat. Meminjam bahasa Niccolo Machiavelli, filsuf berkebangsaan Italia,” demi mempertahankan kemapanan, terkadang orang atau kelompok orang tidak peduli dengan prinsip apa pun, dan mereka melakukan keinginan mereka untuk memperolehnya.” Para pencetus bangsa ini tidak melakukan hal itu. Tapi sekarang justru berbeda. Tertutupnya jalan untuk meretas indahnya kebersamaan dalam keaanekaan. Dan malahan, memuluskan rasa haus-lapar kaum serakah yang tak lagi memakai logika dan nalar kemanusiaan dalam bertindak. Lalu, mau di bawa ke mana arah negara-bangsa ini, kalau sayap (payung kontitusinya) tak berfungsi atau patah?
Toleransi terkikis-rasa aman menjauh:  negara (pemerintah) di mana?
            Tidak bisa dielakkan lagi, negara tercinta ini terancam kehilangan masa depan yang cerah. Gambaran masa depan yang adil, makmur, sejahtera  dan  harmonis yang dicita-citakan pada 67 tahun silam justeru  “diperkosa” demi  kepentingan pribadi, hasrat kekuasaan dan juga kesenangan kelompok-kelompok tertentu. Peran negara untuk memberi rasa aman kepada warganya tidak sampai pada titik maksimal. Ada kesan, berbagai peristiwa kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini seperti yang telah digambarkan di atas, diakibatkan oleh kurangnya, dan bahkan tidak tegasnya pemerintah (aparat penegak hukum) untuk menindak orang/ kelompok orang yang secara brutal melecehkan yang lain. Lebih mengecewakan lagi, terjadi saling lempar tanggung jawab dan terkesan cuci tangan terhadap setiap peristiwa.
Tak cukup dengan perintah dari pusat. Karena mental tersebut tidak lebih hanya sebagai pelipur dahaga sesaat (lip service) dan tidak akan pernah sampai pada titik  persoalan yang ada di setiap komunitas masyarakat. Bagaimana mungkin persoalan membumi-hanguskan komunitas tertentu, tetapi oleh pemerintah mengatakan perbuatan tersebut justru dianggap sebagai kriminal belaka? Justru saya berpikir, statement-statement seperti itu hanya akan menyuburkan lahan primordial dan keangkuhan kelompok tertentu untuk terus menghabiskan (membunuh sesama) secara bebas dan brutal. Kalau kondisi ini yang terus terjadi, untuk apa pemerintah ada? Sekali lagi, celaka dan laknat bangsa ini! Dan jelas, negara tidak lagi menjadi rumah bersama untuk merajut  harmoni dalam perbedaan.
Maka menurut hemat saya, rasa aman sebagai masyarakat bangsa hanya akan terjaga, ketika kita bisa menjadi sahabat bagi yang lain. Kehadiran pribadi dan komunitas lain dalam hidup, harus dipandang sebagai “aku” yang hadir dalam wujud  “dia” atau “mereka”. Dan peran semua pihak, lebih khusus para pengambil kebijakan benar-benar harus ditingkatkan serta dioptimalkan. Sehingga pada akhirnya, cita-cita proklamasi tentang negara yang beradab, negara yang adil, negara yang sejahtera serta negara yang aman, sungguh ada. Jangan biarkan sayap-sayap pemersatu bangsa ini tersobek oleh keangkuhan dan latenya pikiran sempit kelompok tertentu. Hidup sebagai satu bangsa dalam rumah bersama, dengan tetap menyadari  perbedaan sebagai sesuatu yang nyata merupakan hal terindah yang menjadi cita-cita banyak orang.

*Penulis adalah dosen tetap di STK St. Yakobus Merauke
 

Minggu, 10 Juni 2012

MASIH ADAKAH DAMAI DI TANAH PAPUA?


Pernah diterbitkan di Papaua Selatan Pos; Senin, 11 Juni 2012


MASIH ADAKAH DAMAI DI TANAH PAPUA?
(refleksi sederhana untuk tanahku)


Description: E:\Narcist\IMG_2496.JPG

Richard Christian Sarang, S.Fil*


Catatan Awal

Dari hari ke hari, kondisi keamanan di Papua semakin mengkwatirkan, marak terjadi kekerasan yang mengakibatkan kematian bagi beberapa anak manusia di serambi Cenderawasih.  Penembakan misterius hampir terjadi setiap pekannya. Rentetan peristiwa ganas; lakon pembunuhan, penembakan, perang saudara seperti  yang sudah dan sedang terjadi (Puncak Jaya, Timika, Jayapura), membuat masyarakat semakin resah. Yang lebih memprihatinkan lagi, korban jiwa bukan saja warga masyarakat lokal, tetapi juga orang  asing yang berwisata di negeri ini, yang katanya cinta keberagaman, tanah penuh damai, negeri yang diberkati.
Ironisnya, banyak peristiwa serakah ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan, baik oleh pemerintah maupun oleh keompok-kelompok dalam masyarakat itu dendiri. Seolah-olah, tak ada lagi spasi/ruang untuk berdialog, bercerita, merajut nasionalisme kebangsaan, keberagaman, kecintaan dan respek terhadap sesama. Label tanah damai, hanya menjadi slogan klise tanpa makna, yang menggiring anak manusia negeri ini terjerumus pada satu kecenderungan bertindak tanpa berpikir atau juga bisa sebaliknya, berpikir dan berbuat yang terkesan kuat pada actus hominis semata.
Ketika kelompok-kelompok tertentu berlomba-lomba mencari kepuasan sendiri, ketika tidak lagi menyadari nilai-nilai suci kehidupan manusia, maka kematian (pembunuhan, penembakan, pemaksaan, dll) adalah jalan satu-satunya untuk memuaskan dahaga keserakah itu. Artinya, seruan-seruan yang datang dari luar hanya akan menjadi alunan suara kosong yang tidak cukup berarti bagi perubahan pola pikir masyarakat tertentu.

Papuaku Sayang, Papuaku Malang
           
Itu tidak benar”, “itu tidak adil” . Tetapi, dari manakah ide “adil” dan “benar” datang?  Ide-ide ini dihubungkan dengan keadilan dan kebenaran. Keadilan adalah salah satu dari nilai paling penting manusia, karena keadilan mempengaruhi seluruh hidupnya. Berpikir tentang keadilan, biasanya melibatkan pemikiran tentang jenis masyarakat yang kita hidupi, atau ingin hidup di dalamnya lebih dari sekadar hubungan antarindividu. Begitu juga halnya dengan kebenaran. Walau dalam kaca mata tertentu,  tidak ada kebenaran mutlak, toh manusia selalu mengklaim bahwa kebenaran-nyalah yang mutlak. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya distorsi nilai masyarakat itu sendiri. Maka walaupun tidak ada kebenaran mutlak, tidak berarti kita enggan berusaha untuk menuju titik kebenaran bersama. Kebenaran dalam kacamata kebersamaan, tentu memiliki nilai yang lebih berarti, ketimbang kita mengabsolutkan nilai kebenaran kita, yang terkadang justru mencelakakan banyak orang.
Berhadapan  dengan kenyataan kita sekarang ini (kondisi tanah Papua), tentu kita  semua  yang masih concern dengan terciptanya toleransi, rasa aman dan damai di tanah ini, perlu membangun paradigma baru, berani keluar dari hegemoni kelompok yang tidak mencerminkan semangat sebagai tanah damai, negeri yang diberkati, negeri yang dilimpahi susu dan madu. Alangakah indahnya label cinta damai yang selalu disuarakan (bahkan sampai seluruh dunia tahu), dihidupkan mulai dari komunitas tercekcil, yang berangkat dari kesadaran kolegial akan makna hidup bersama sebagai saudara. Bagaimana mungkin, kita sebagai makhluk ber-Tuhan, tetapi ber-seragam-kan kebencian di antara sesama? Sejauh  mana kuatnya seruan-seruan moral, kalau hanya di awang-awang? Seberapa ampuhnya diplomasi pemerintah, kalau tidak menyentuh persoalan yang mendasar, yang sungguh-sungguh dirasakah oleh kita orang Papua?
Tentu bukan perkara mudah untuk memecahkan persoalan ini. Tetapi ketika kita memiliki komitmen yang sama, bergelora dengan semangat yang sama, “mewujudkan cinta kasih serta menghargai keberagaman”, maka lambat laun semuanya akan menjadi indah. Toh, kita tidak berada di jamannya filsuf Friedrich Nietzsche, yang dengan lantang menvonis atau mengklaim bahwa “Allah sudah mati”. Bagi Nietzsche, bahwa kepercayaan kepada Allah akan memiskinkan kehidupan manusia. Bahwa kepercayaan kepada Allah yang kita jalankan hanyalah halusinasi kosong terhadap kedangkalan pemikiran manusia itu sendiri. Tetapi kenyataannya, kita semua yang ada di tanah ini adalah orang-orang yang memiliki iman kepada Allah yang satu dan sama, walau dengan cara pandang yang berbeda. Maka, ruang diskusi yang pernah dikumandangkan oleh filsuf berdarah Yahudi itu, tidak memiliki tempat di atas tanah ini.
Harapan dan cita-cita semua manusia adalah terciptanya kebaikan bersama (bonum cumunae) dalam masyarakat yang bisa dirasakan, dialami dan hidup menyatu di tengah masyarakat itu sendiri. Tetapi sampai saat ini, harapan luhur itu masih sebatas wacana yang belum hidup dan bahkan mungkin tetap akan terpekur mati dikuasai oleh kepicikan cara pikir dan cara bertindak kita. Keadilan adalah cita-cita semua orang. Maka ketika keadilan itu tidak mendapat tempat di hati setiap pribadi, dengan sendirinya akan terjadi kecemburuan social yang tidak lagi memperhatikan kaidah/norma moral yang berlaku. Dengan demikian  sangat perlu kita berbenah, baik secara pribadi, maupun bersama. Baik pada komunitas keagamaan, maupun dalam tataran sebagai masyarakat negara.
Kita harus mulai menata kembali kelusutan benang kedamaian di tanah ini. Membuka diri, tanpa harus kehilangan jati diri. Berdialog, tanpa perlu meninggalkan keunikan komunitas. Berbagi rasa, tanpa harus memandang asal. Tidak perlu enggan, tidak perlu takut, tidak perlu resah untuk mencapai kedamaian dengan jalan permusyawaratan. Karena keengganan kita menerima kenyataan keberbedaan menjadi salah satu sebab, mengapa semakin suramnya rasa aman dan damai di negeri ini. Ketidakmampuan kita mengelola dan me-manage diri untuk keluar dari pemikiran sempit primordial, juga sebagai biang tumbuh suburnya kekerasan yang berujung kematian. Dan yang tidak kalah krusial adalah bagaimana peran sentral pemerintah dan tokoh agama (serta lembaga adat) dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat akar rumput yang menjadi dasar dari terciptanya suasana damai, cinta kasih dan kebersamaan. Kiranya saya tidak berlebihan dalam mengungkapkan pandangan sederhana ini. Boleh jadi, inilah awal kehancuran tanah kita, kalau belum sadar akan fenomena ini.  Yang oleh leluhur kita adalah tanah damai, mungkin akan hanya tinggal sejarah dan beralih langkah menuju lautan berlimpah darah keserakahan. Pertanyaan sederhana muncul; masih layakkah kita bangga dengan tanah ini? Apa yang perlu kita banggakan (kekayaan alam? sumber daya manusia?). Ataukah kita hanya membanggakan bahwa kita masih bisa membunuh sesama secara keji? Di mana letak kebanggaan kita? 

Toleransi Menjadi Spirit Kebersamaan

Semua pasti sepakat dengan saya, bahwa tidak ada tempat bagi kaum separatis bersenjata di tanah ini. Dengan ideologi apapun yang dibangun oleh kaum separtis, tentu kita memiliki kewajiban untuk menentangnya. Negara Indonesia sudah diletakkan di atas dasar yang satu dan sama, yang bernafaskan Pancasila, sebagai roh penggerak, roh pemersatu dan sebagai landasan pijak cara manusia Indonesia berpikir dan bertindak. Artinya, walau dalam berbagai keberbedaan, tidak menghalangi semangat kita untuk ada bersama. Maka toleransi antara sesama anak negeri ini, harus menjadi spirit kebersamaan.
Semua pihak ingin diperlakukan toleran, maka negara mendapat legitimasinya jika dapat bersikap toleran terhadap warganya (F.Budi Hardiman; Kompas, 30 Mei 2012). Tentu, kita tidak hanya menuntut pemerintah untuk bersikap toleran, tetapi yang paling mutlak harus dilakukan adalah bagaimana kita sebagai warga negera harus toleran dengan sesama, tanpa harus meninggalkan keunikan kita masing-masing. Tentu toleransi yang dimaksudkan di sini adalah toleransi positif, bukan toleransi negative. Toleransi positif yaitu respek terhadap orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda, agama yang berbeda, suku yang berbeda dan keturunan yang berbeda. Sementara toleransi negative adalah pembiaran ataupun ketidakpedulian terhadap kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan terhadap mereka yang berbeda.  Dan kedua modus ini bisa dilakukan oleh kita semua, tak terkecuali negara. Negara mengambil sikap toleransi negative, ketika membiarkan kelompok-kelompok separatis merajalela di tanah ini. Setiap pribadi mengambil sikap toleransi negative, ketika membiarkan diri dan masyarakat di mana ia tinggal larut dalam tindakan-tindakan anarkis.
Tentu dalam kasus ini, perlu perjuangan semua orang untuk menegakkan kedamaian di tanah ini. Tanah Papua akan menjadi negeri yang malang, yang tidak lagi dibanggakan ketika kita tidak serius menata diri untuk merangkai kebersamaan. Dan sebaliknya, serambi Cenderawasih ini akan selalu disayang, ketika setiap orang menyadari bahwa orang lain adalah aku yang hadir dalam bentuk serta ciri yang lain. Tanah Papua akan menjadi tanah yang diberkati, ketika kita semua menyadari serta menghidupi semangat kebersamaan dalam cinta kasih, yang telah didengungkan beribu-ribu tahun silam.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan setiap keputusan yang diambil, baik oleh pemerintah maupun oleh otoritas dalam masyarakat, tentu tidak bisa diselesaikan dengan cara kekerasan (pemembakan, perang saudara dan pembunuhan) yang justru menghancurkan masa depan kita sendiri. Dalam alam demokrasi, kehidupan yang baik hanya akan terwujud bila semua orang sadar akan keberbedaan, keberagaman dan tetap bersikap kritis terhadap setiap kebijakan, bukan dengan kekerasan tetapi mengedepankan sikap menghormati serta respek terhadap sesama. Saya dan anda tentu mencintai dan menghargai tanah ini, tanah Papua, serambi Cenderawasih yang berlimpah susu dan madu. Maka, tidak ada cara dan pengungkapan rasa hormat yang lebih berarti yang harus kita laksanakan, selain kita berada di dalamnya, berani menentang segala tindak kejahatan, terutama setiap tindakan menghilangkan nyawa sesama mansuia sebagai mahkota ciptaan. Cinta kehidupan menegaskan ekesistensi kita sebagai pribadi bermoral, yang selalu berteriak bahwa kita ber-Tuhan. Dan sebaliknya, membenci kehidupan (dengan menghilangkan nyawa sesama) adalah langkah yang memuluskan kita kepada akhirat yang mematikan***

*Penulis adalah pengajar tetap di Sekolah Tinggi Katolik St. Yakobus Merauke

MENEROPONG ARAH PENDIDIKAN KITA: QUO VADIS?


Rabu, 30 Mei 2012/Papua Selatan Pos

MENEROPONG ARAH PENDIDIKAN KITA: QUO VADIS?
(catatan sederhana untuk kelulusan SMU di Papua Selatan)

Richard Christian Sarang, S.Fil*


Catatan Awal

Tulisan ini hanyalah riak-riak pikiran saya, yang kini sedang menari menggelitik menemani saat-saatku. Saya mencoba mengungkapkan pendapat, yang mungkin basi dengan pandangan kebanyakan orang. Tidak bermaksud menghakimi terhadap orang-orang tertentu. Bukan juga men-judge, mempersalahkan pribadi-pribadi tertentu, tetapi semata-mata ingin membagi rasa, mengungkap kata terhadap wajah dunia pendidikan kita. Judul di atas juga, kiranya tidak berlebihan untuk kita lihat bersama, ke mana arah pendidikan kita. Kalau pun, ada yang merasa tulisan ini  kurang berkenan atau merasa tidak sejalan, marilah kita berbagi di ruang opini ini. Karena saya percaya, dengan banyak berbagi, akan banyak mendapat, dengan berdiskusi, maka selalu ada jalan keluar.
Sesuai dengan amanat UUD 1945, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang layak dari negara. Negara berkewajiban mencerdaskan setiap warganya, tanpa membedakan suku, agama, ras dan tempat tinggal. Tetapi, cita-cita luhur tersebut, belum menyentuh secara merata bagi seluruh masyarakat kita. Bahkan, pembangunan pendidikan yang sedang berjalan saat ini, dinilai belum memberikan hasil yang signifikan dalam membangun karakter bangsa sesuai dengan nilai-nilai normative kebangsaan Indonesia. 
Pendidikan dalam pengertiannya yang luas, memainkan peran yang makin besar untuk mewujudkan perubahan mendasar, dalam cara kita hidup dan bertinddak. Seyogyanya, pendidikan adalah kekuatan masa depan, karena merupakan alat perubahan yang sangat ampuh. Pendidikan memainkan peran penting untuk mampu mengakses banyak hal. Salah satu masalah yang terbesar yang kita hadapi adalah bagaimana menyesuaikan cara berpikir kita untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks, cepat berubah dan sulit diramalkan. Kita perlu merumuskan kembali cara kita mengelola pendidikan dan pengetahuan. Ini berarti, kita perlu memecahkan rintangan-rintangan antardisiplin dan mencari cara pikir baru yang dapat menghubungkan apa yang selama ini terpisah-pisah. Catatan inilah yang kiranya menjadi perhatian dari semua pihak, bukan saja para pendidik, tapi yang memiliki niat baik untuk mencerdaskan anak anak bangsa ini.


KPG Khas Papua Merauke: Tampil Beda, Ingin Berbeda?

Menengok sedikit peristiwa yang terjadi beberap hari kemarin, yang berkaitan dengan berita kelulusan siswa-siswi kita. Pengumuman kelulusan bagi siswa Sekolah Menengah Umum di seluruh pelosok tanah air Indonesia telah berlangsung pada 26 Mei 2012 yang lalu. Dan sudah menjadi tradisi tahunan, beberapa jam hari itu (hari pengumuman kelulusan) merupakan saat-saat yang sangat menegangkan bagi sebagian siswa. Tetapi, tak sedikit juga yang merasakan  bahwa hari tersebut adalah moment yang paling istimewa, kisah yang menggembirakan. Dua moment dalam satu kesempatan.
Pengalaman berbeda telah menguasai seluruh anak bangsa, putra-putri kita yang sedang menanati kabar keramat, menunggu datangnya dewa penolong, mendambakan satu kata yang digandrunngi (paling kurang) untuk lima menit, yaitu kata: LULUS. Selama 3 tahun duduk manis di bangku Sekolah Menengah Umum, berakhir hanya mengharapkan lima huruf, LULUS. Terlepas dari bagaimana proses belajar serta pembelajaran yang terjadi, yang selalu menemani para siswa selama mengenyam pendidikan formal tersebut. Tentu, kita perlu mengapresisasi kemauan anak-anak kita untuk sejenak ada di sekolah, sekali lagi terlepas dari kenyataan, apakah mereka benar-benar ada di sekolah (ada dalam proses belajar bersama para guru), atau hanya menyenangkan hati orang tua (asal bapak-mama senang). Tapi, bahwa saat istimewa itu, mereka bersama-sama ingin mendapatkan satu kepastian serta justifikasi terhadap keberadaan mereka di bangku SMU selama tiga tahun.  Pertanyaan sederhana: sudah cukupkah dengan kata lulus untuk sampai kepada estimasi bobot seorang peserta didik? Tentu tidak. Sejumlah persoalan masih harus dicermati bersama. Kenyataan bahwa masih banyak siswa siswi di beberapa Sekolah Menengah Atas yang tidak lulus dalam ujian nasional tahun ini, termasuk Kolese Pendidikan Guru Khas Papua Merauke, yang dalam tahun ini berprestasi kelululusan kurang dari 60 percent.  
Seorang pakar pendidikan; Maria Montessori dalam bukunya Education and Peace (Chicago, 1972), mendefenisikan pendidikan sebagai jalan untuk membangun dunia baru dan mampu membawa kedamaian. Rumusan sederhana ini mau merujuk pada cita-cita dasar pendidikan itu sendiri, yakni membangun nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik. Dalam arti, ruang gerak pendidikan tidak pernah lepas dari cita-cita semua kegiatan belajar mengajar untuk menghantar anak didik agar lebih manusiawi ketika sedang menetap dalam dunia baru yang penuh damai. Atau dalam bahasa yang lain, pendidikan adalah satu proses tindakan, yang bermula dari potensi menuju aktualisasi. Dengan demikian, pendidikan juga merupakan satu proses menyingkap dunia hari ini dan membuka tirai masa depan bagi dan kepada peserta didik. Bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas. Bahwa prorses menuju akhir lebih penting daripada hasil akhir semata.   
Apakah KPG sudah mulai sadar akan misi utama dan spirit dari lembaga pendidikan mereka? Yang mengedepankan penghargaan terhadap peserta didik, bukan “meluluskan” dengan mendongkrak-mengkatrol nilainya sehingga di atas rata-rata kemampuan normal/ kenyataan harian anak tersebut? Atau spirit kejujuran dengan tidak memberikan jawaban soal ujian nasional kepada anak didik?  Adakah satu langkah maju yang ingin dicapai oleh KPG di sana? Tentu, kita semua boleh bertanya. Kita semua boleh mengungkapkan pandangan tentang realitas kelulusan KPG. Betapa tidak, dan cukup mencengangkan bahwa  kelulusan siswa-siswi KPG yang hanya mencapai  58 % (dari 212 siswa, 109 siswa yang lulus dan 103 siswa dinyatakan tidak lulus). Kepada sekolah yang mencapai 100 percent kelulusan, tentu kita memberikan ucapan selamat. Dan kepada KPG Khas Papua Merauke, pasti kita berharap dan percaya bahwa inilah hasil terbaik, yang harus dibanggakan. Bukan bangga karena siswanya lulus semua, tetapi bangga karena KPG mengedepankan nilai-nilai moral dan menjunjung tinggi kejujuran sebagai dasar pembentukan karakter manusia yang berbobot. Kolese Pendidikan Guru Khas Papua, sebagai lembaga pendidikan  berlabel ’guru’, yang secara khusus dipersiapkan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, sudah sepantasnya dan sudah saatnya untuk berbeda dengan lembaga pendidikan lain. Secara pribadi (walau pun oleh banyak orang mungkin menganggap sebagai apresiasi yang tak berdasar);  saya bangga dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada lembaga pendidikan guru KPG Khas Papua Merauke, yang  sudah mulai  tampil  “berani  dan “berbeda”  dengan lembaga pendidikan lain di tanah Papua Selatan ini.
Tampil berani dan berbeda, bukanlah satu pilihan yang salah. Kenyataan berani dan berbeda juga bukanlah satu sikap melawan kebijakan pemerintah, yang selalu mau lulus semua, tanpa pernah tahu dan bahkan masa bodoh dengan kenyatan konkret di lapangan. Tetapi yang paling utama adalah kemauan untuk menghadirkan atau mengorbitkan pioneer-pioneer pendidikan masa depan yang lebih berkulialitas dalam berbagai segi kehidupan. Saya tidak bermaksud mengkerdilkan atau menyepelekan keberhasilan sekolah lain selain KPG Khas Papua. Tetapi fakta berbicara, bahwa orientasi pendidikan kita di Papua Selatan ini masih berkutat pada apa yang dinamakan final oriented, orientasi akhir yang berusaha menyenangkan banyak orang (terutama pemerintah), tanpa melihat dan memikirkan satu proses pembelajaran yang bermutu. Saya cukup tidak yakin, dengan mental belajar sebagian anak didik kita sekarang, bisa menjadikan satu sekolah lulus seratus percent? Apalagi, kalau proses belajar mengajar dalam sekolah-sekolah kurang berjalan secara baik dan bahkan tidak berjalan sama sekali. Itu logika sangat sederhana yang bisa dibangun. Dalam kaca mata awam penulis, di sinilah letak ketidakseriusan kita dalam memperjuangkan kualitas pendidikan yang lebih baik di tanah ini. Kita cenderung takut kepada pemerintah daripada cemas  kepada masa depan anak kita sendiri, yang akan memimpin tanah ini pada tahun-tahun yang akan datang. Pemerintah boleh memasang target tinggi, “mengharuskan” sesuatu terjadi walau kenyataannya tidak bisa. Tapi, peran kita sebagai pengajar, pendidik dan tenaga kependidikan harus tetap memperjuangkan serta menanamkan dasar-dasar pendidikan yang bermartabat, yang bisa menghasilkan manusia-manusia mandiri, cerdas dan berwawasan.
Tampil berani dan berbedanya KPG Khas Papua Merauke, kiranya membuka mata, pikiran dan hati kita, terutama untuk semua pendidik dan peserta didik di tanah ini. Bahwa ada satu kenyataan yang paling dekat dengan dunia pendidikan kita saat ini.  Bahwa tidak terlalu penting kita meluluskan semua siswa/ anak didik kita, kalau pada dasarnya mereka belum bisa lulus. Kalau kita ingin wajah pendidikan di Papua Selatan ini menjadi lebih baik, tidak berdosalah kita, untuk sebaik mungkin mendidik mereka, bukan pada orientasi akhir dengan memakai segala cara untuk lulus, tetapi dengan menanamkan nilai-nilai luhur dari pendididikan itu sendiri. Jangan paksa meluluskan siswa, kalau de facto tidak bisa lulus saat ini. Kalau mental ini yang menjadi primadona dan selalu kita kembangkan, maka saya yakin, generasi kita ke depan adalah generasi pengecut bermental easy going, yang tidak memiliki daya juang, daya membangun diri. Celakalah tanah ini, mencederai asas-asas luhur pencetus pendidikan. Bukankah lebih baik kalau kita mulai mengubah cara kerja di dunia pendidikan kita, kalau perubahan itu membawa kecerdasan intelektual, moral dan spiritual? Kita belum terlambat, ketika memiliki kemauan dan semangat untuk bersama-sama menghadirkan mutu pendidikan dalam berbagai aspek. Kualitas kitalah lebih penting, ketimbang kuantitas, yang hanya mensengsarakan generasi kita sendiri.

Catatan Akhir: Apa Yang Harus Dibenah?

            Peran strategis dunia pendidikan kita saat ini, memanag sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Dalam tataran yang lebih kecil, khususnya di Papua Selatan ini, kita semua perlu berbenah. Menurut hemat saya, terkait dengan kenyataan dunia pendidkan kita saat ini, maka penting untuk kita (pendidik dan peserta didik), juga pemerintah untuk bersama-sama mengubah paradigma/ cara pandang kita tentang prestasi anak didik. Berprestasi, bukan semata-mata karena lulus dalam ujian, tetapi berprestasi dimengerti lebih luas dan lebih penting, ketika peserta didik dilatih untuk semakin menyadari dan mengenal serta sanggup menghayati potensi yang ada dalam dirinya sendiri. Atau dalam dimensi yang lain, proses pendidikan hendaknya membantu sedapat mungkin peserta didik untuk menempatkan segala kesulitan dalam paket kebijaksanaan anak didik.
            Sebagai pendidik, harus menyadari diri akan tanggung jawab. Bukan saja tanggung jawab untuk membuat anak didik pintar, tetapi sedini mungkin untuk membentuk karakter yang bermoral, yang menghargai kerja keras, mencintai dirinya sendiri dan yang memilki sikap membangun, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Tak cukup dengan menggembirakan mereka saat ini, dengan paksa meluluskan, kalau toh mental mereka belum siap untuk melompat lebih tinggi dalam dunia pendidikan berikutnya. Tidak terlalu penting hanya melihat hasilnya sebagai indicator prestasi. Lebih penting adalah bagaimana seseorang ada dalam proses yang lama untuk mencapai titik estimasi keberhasilan. Final oriented hendaknya bukan menjadi satu-satu yang diperjuangkan, tetapi mengembangkan proses belajar mengajar yang berbobot, yang mengarah pada kecerdasan intelektual, emosional, spiritual akan lebih bernilai bagi anak-anak kita.
Saya yakin dan percaya, Kolese PendidIkan Guru Khas Papua Merauke, sudah memulainya tahun ini, dengan sedikit tampil berani dan berbeda. Beranikah kita (sekolah-sekolah lain) mengikuti langkah maju KPG yang saya istilahkan sebagai “melompat lebih tinggi”? Nah…, kita tunggu perubahannya!!


*Penulis adalah pengajar tetap di Sekolah Tinggi Katolik St. Yakobus Merauke