Kamis, 31 Januari 2013

KEBENARAN SUBJEKTIF DAN PENENTUAN PILIHAN MORAL PERSPEKTIF SOREN A. KIERKEGAARD



KEBENARAN SUBJEKTIF DAN PENENTUAN PILIHAN MORAL
PERSPEKTIF SOREN A. KIERKEGAARD

Rikard Kristian Sarang

Abstract:

In this article, the writer want to tell us about Kierkegaard’s thinking that be convinced about the subjective rightness as the first truth. In his view, human being will be the real person when they embrace and follow their existence, without must be influence from outside moment. At the long journey, human being has go into the crowd mass that have no handle, so they only become man or woman who commanded by other people. Therefore, Kierkegaard explain the people to exist or tobe theirselves. As long as the human being become our self, automaticaly  we can take over what can we do and we can be how we are. The existence and the subjective rightness will make us to live independent and more than it, we will determine what can we do and how about our life. At the high level, when we embace the subjective truth as the first, so our moral choices depended on our mind, not from other.  

Key words: subjective rightness, human being, crowd and moral


I.        Catatan Awal

Kierkegaard yang bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 15 Mei 1813 . Pada tahun 1830, ia masuk ke fakultas teologi Universitas Kopenhagen. Selain mempelajari teologi, ia juga mendalami  liberal arts dan sains. Ketika itulah ia berkenalan dengan pemikiran Hegel. Masa kuliahnya, ia merasa bahwa konsep filsafat, terutama filsafat yang dibangun oleh Hegel sangat tidak cocok dengan Kristianitas. Sepintas pemikirannya;
Apa gunanya kalau kebenaran berdiri di depan saya, dingin dan telanjang, tidak peduli apakah saya mengenalinya atau  tidak dan malah membuat saya takut dan bukannya percaya? Yang sungguh-sungguh tidak saya miliki adalah kejelasan apa yang harus saya lakukan dan bukannya apa yang harus saya ketahui kecuali sejauh pemahaman tertentu harus mendahului setiap tindakan" , menggambarkan kritiknya terhadap kepasuan, ketidak-otentikan hidup dan publik yang abstrak. Pada tahun 1838, setelah kematian ayahnya, ia melanjutkan studi teologi dan pada tahun 1840 dapat menyelesaikan studinya tersebut. Ada banyak karya tulis yang dihasilkannya dan memperlihatkan kecemerlangan pemikiran serta berpengaruh pada perkembangan filsafat modern pada abad ke-20, ditandai oleh munculnya aliran filsafat yang disebut eksistensialisme . Pandangan  yang menyatakan bahwa eksistensi bukanlah objek dari berpikir abstrak atau pengalaman kognitif (akal pikiran), tetapi merupakan pengalaman langsung, bersifat pribadi dan dalam batin individu . Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan segala persoalan pada eksistensinya. Titik pijak dari semua pergulatan yang ada dalam dunia adalah manusia sebagai makhluk yang unik, dan memiliki kebenaran dalam dirinya. Eksistensi pada manusia adalah bagaimana manusia itu berada, yang dibedakan dari cara beradanya benda-benda, di mana benda-benda hanya berada tetapi manusia bereksistensi. Tema paling awal dari eksistensialisme terdapat pada individu manusia sebagai subjek yang sadar, rasa ketidakbermaknaan dan kehampaan eksistensi manusia serta kegelisahan dan depresi yang larut dalam kehidupan manusia.
                Aliran ini mempertanyakan kembali eksistensi manusia yang mulai hilang. Hal demikian dilatarbelakangi oleh terjadinya perang dunia, yang mengakibatkan manusia kehilangan jati diri dan hanyut dalam arus masa yang memiliki kekuatan di atas kemampuan individu. Manusia masuk dalam tubir kekosongan eksistensi. Dalam situasi yang serba tak menentu ini, manusia lebih senang masuk dalam kelompok dan mengabaikan kehendaknya sendiri. Eksistensi autentiknya justru direduksi dengan kenyataan kekuatan massa. Manusia tidak lagi mampu memberikan ruang yang cukup kepada kemampuan individunya dan membiarkan arus kelompok bermain serta menguasai kebereksistensiannya.
                Melalui perjalanan yang panjang, manusia / individu mulai menyadari akan pentingnya berada secara benar dan tepat. Manusia mulai mempertanyakan serta mempertentangkan dirinya dalam relasi dengan benda-benda dan bagaimana ia dapat mencapai kebenaran. Pencarian manusia bersifat vertikal dan horisontal, yakni bagaimana manusia berhadapan dengan realitas duniawi serta cara berhadapan dengan yang absolut. Relasi manusia dengan sesama, alam dan dengan Allah menggambarkan  secara jelas tentang bagaimana sebagai individu atau subjek yang otonom, mampu menempatkan diri di hadapan yang lain. Dengan demikian, manusia mulai dengan bebas untuk melihat serta menginterpretasi kenyataan-kenyataan konkret yang ada, yang nampak sebagai pengalaman atau fakta eksistensial manusia. Karena itu, jaman modern ini juga bisa di sebut sebagai jaman pembentukan subjektifitas. Aku sebagai pusat pemikiran, pengamatan, kebebasan, tindakan, kehendak dan perasaan.
                Sebagai salah satu penganut aliran  eksistensial, ia menegaskan hakekat manusia sebagai individu. Eksistensi, ketakutan, hidup, mati, harapan, putus asa, dll yang kelak menjadi kegemaran aliran eksistensi, semua itu sudah meliputi alam pemikiran Kierkegaard. Realitas aku (individu) adalah paling nyata. Eksistensi membuat orang lebih menjadi individu melampaui universalitas. Ia mementingkan eksistensi manusia yang individual dan konkret. Tugas paling berat setiap orang menurutnya adalah menjadi seorang individu. Menjadi individu berarti mengenali keunikannya sendiri, menghadapi keharusan untuk mengambil keputusan sendiri, dan terutama melakukan “lompatan iman’”. Sebagai bapak eksistensialisme, pandangan filosofis Kierkegaard tentunya banyak membahas tentang manusia, khususnya eksistensinya. Beberapa point yang penting dalam filsafatnya: individu tidak ditempatkan di hadapan ketiadaan, melainkan di hadapan Tuhan. Dia menganggap Hegelianisme sebagai ancaman besar untuk individu, untuk manusia selaku persona. Yang harus dipersoalkan terutama subyektivitas dari kebenaran, yaitu bagaimana kebenaran dapat menjelma dalam kehidupan individu. Kebenaran obyektif  termasuk agama, harus mendarah daging dalam si individu. Yang penting ialah bahwa aku memahami diriku sendiri, bahwa kulihat dengan jelas apa yang Tuhan kehendaki sungguh-sungguh agar aku perbuat. Yang terutama kubutuhkan ialah mendapatkan suatu kebenaran yang adalah benar untuk aku, suatu ide yang bisa mengilhami kehidupan dan kematianku. Apakah gunanya menemukan suatu kebenaran yang disebut obyektif dan mempelajari semua sistem filosofis. Kierkegaard mencari kebenaran yang konkret serta eksistensial, suatu pengetahuanyang dihayati (connaissance vĂ©cue), a real knowledge.
II.     Stadium  Eksistensi Manusia: Sebagai Proses Menyadar
2.1. Stadium Estetis
Untuk menyakinkan pemahamannya, Kierkegaard membedakan manusia dalam tiga stadium penting, yaitu: estetis, etis dan religius. Pada stadium estetis manusia membiarkan diri dipimpin oleh sejumlah besar kesan-kesan indrawi, mengikuti prinsip kesenangannya, lebih dijadikan hidup daripada ia hidup sendiri. Manusia menyibukkan diri dengan rupa-rupa hal, tetapi ia tidak melibatkan diri; ia hanya tinggal seorang penonton yang berminat.
Tahap estetis dapat digambarkan sebagai usaha mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik (good) dan yang jahat (evil). Artinya, ketika orang bertindak tertentu, ia tidak memikirkan apakah tindakan itu baik atau jahat dan kemudian menilai apakah itu boleh dilakukan atau tidak. Individu dalam tahap estetis  menolak norma-norma etis, nilai-nlai yang terkandung dalam masyarakat dan lebih dari itu membentuk identitasnya dengan hidup mengejar kenikmatan. Hidup estetis dapat dinikmati dengan berbagai kekuatan seperti uang, reputasi, hobi dan di dalamnya segala sesuatu yang bersifat sementara. Tindakan atau keadaan estetis ini lebih dipengaruhi oleh pengamatan langsung dari pandangan indrawi yang membawa individu kepada usaha untuk memenuhi keinginannya tanpa mempertimbangkan akibat dari perbuatan tersebut (baik atau jahat). Yang ada hanyalah nafsu yang harus dikejar serta dipuaskan. Dalam eksistensi estetis, manusia menaruh perhatian yang besar terhadap sesuatu yang di luar dirinya. Ia hidup di dunia dan masyarakat, dengan segala sesuatu yang dimiliki dunia dan masyarakat itu. Ia menikmati segala yang jasmani dan rohani. Sekali pun demikian, batinnya kosong. Ia senantiasa  menghindari setiap keputusan yang menentukan. Sifat hakiki eksistensi estetis ialah  tidak adanya ukuran-ukuran moral yang umum yang telah ditetapkan dan tidak adanya kepercayaan keagamaan yang menentukan. Yang ada hanyalah keinginan untuk menikmati seluruh pengalaman emosi dan nafsu. Ia membenci segala pembatasan yang mengharuskannya  untuk memilih. Seluruh kenyataan dalam hidupnya sungguh-sunggguh digerakan oleh setiap rangsangan dari luar, tanpa mempertimbangkan apakah rangsangan itu bermanfaat baginya atau malah merugikan kehidupan individu estetis tersebut.  Yang ada dalam pikiran individu adalah kemauan dan hasrat untuk dipuaskan segala bentuk keinginannya. 

2.2.             Stadium Etis
Kebosanan, kekurangsenangan dan kecemasan memimpin seseorang ke arah
stadium yang kedua, stadium etis. Mulai mekar keinsafan akan kemungkinan-kemungkinan kita, akan kebebasan, tanggung jawab dan kewajiban kita. Kita sampai pada diri kita sendiri, menggantungkan kehidupan kita pada norma, bertumbuh menjadi persona. Kita semakin mengikat diri, dari penonton menjadi pelaku, kita melibatkan diri. Dalam stadium ini juga, manusia menyadari keadaannya yang tragis dan bercacat; ia menginsafi bahwa ia penuh kekurangan. Ia akan merasa jengkel karena ketidaksempurnaannya serta ketidaksanggupan morilnya dan mungkin akan memberontak terhadap seluruh tatanan etis.
Dalam wilayah eksistensi yang kedua, orang mulai memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik (good) dan yang jahat (evil) dalam bertindak. Hidupnya tidak lagi ditandai oleh sifat langsung (immediacy) tindakan-tindakannya, melainkan sudah memuat pilihan-pilihan  konkret berdasarkan pertimbangan rasio, suara hati dan juga refleksi. Pada stadium ini, manusia memperhatikan benar-benar kepada batinnya. Sikapnya di dalam dunia senantiasa diusahakan agar dapat ditentukan dari sudut hidup batiniahnya, menurut patokan-patokan yang umum. Pertimbangan berdasarkan rasio, suara hati dan refleksi menghantar individu kepada pengambilan keputusan yang benar. Individu akan melihat dan menilai seluruh situasi hidupnya, mana yang pantas dilakukan dan mana yang tidak boleh dijalankan. Inilah awal dari pembentukan hidup etis. Ada satu gerak maju, sehingga mencapai tingkat integrasi, memenuhi kewajiban dan peran sosialnya serta menerima tanggung jawab yang memberinya kesempatan untuk memperlihatkan siapa dirinya kepada dunia.
Pilihan etis dari setiap individu akan menambah nilai-nilai dalam masyarakat, sekalipun berkenan dengan kewajiban kepada Allah. Tahap etis ini adalah tahap di mana orang memilih untuk menjadi dirinya sendiri. Hanya dengan memilih,  aku menjadi diriku sendiri. Singkatnya pada tahap etis ini, orang diperhadapkan dengan berbagai kemungkinan dan ia dituntut untuk memilih. Seorang manusia etis menurutnya adalah orang yang mampu menentukan pilihan yang tepat bagi dirinya sendiri, dengan melibatkan kesadaran, pengetahuan dan kehendak serta komitmen yang tegas. Kenyataan-kenyataan tersebut membuat individu untuk berani menentukan hidup; melompat ke arah yang lebih tinggi untuk memberikan arti yang lebih sempurna bagi dirinya.

2.3.             Stadium Religius
Manusia bisa merasa dirinya kecil dan tidak berdaya sambil mendambakan
topangan serta bantuan Tuhan, yang mengulurkan tangan-Nya untuk membantu
manusia yang terkoyak-koyak (bdk. Mat 5:3). Bila kita menangkap tangan ini dan membuka diri untuk Tuhan, maka kita tiba pada stadium religius.
Dalam wilayah eksistensi ini, orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak memadai lagi untuk hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan yang Ilahi. Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mesti bukanlah miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang untuk memuaskan dirinya. Dalam relasi  dengan yang ilahi, kepuasan diri dalam mencapai sesuatu termasuk hidup bermoral dan bahkan pencapaian kebahagiaan abadi tidak mendapat tempat. Tahap religius mengantar individu untuk menjalankan relasi dengan Allah dan secara langsung bertanggung jawab kepada Allah. Ditandai oleh pengakuan individu akan Allah dan kesadarannya sebagai pendosa yang membutuhkan pengampunan Allah. Pada tahap ini, individu membuat komitmen personal dan melakukan apa yang disebutnya lompatan iman. Lompatan ini  bersifat non-rasional dan biasa di sebut pertobatan, yang oleh Kierkegaard sendiri dimaknai sebagai kontradiksi
Dalam  pemberian diri dan komitmen kepada yang Ilahi, orang harus terus menerus menyingkirkan dan membersihkan segala bentuk perhatian kepada diri sendiri (self regard) dari motivasinya bertindak, termasuk keinginan memperoleh kebahagiaan abadi bersama yang ilahi. Baginya puncak eksistensi manusia adalah apabila menemukan dirinya di hadapan Tuhan, karena siapa yang tidak menemukan dirinya di hadapan Tuhan, dia bukanlah seorang pribadi[13]. Iman adalah yang esensial dalam hidup. Iman yang hidup berarti menyerupai Kristus dan mengikuti Kristus. Sebagai orang Kristen, ia berani menerjunkan diri ke dalam petualangan untuk dengan ketidakpastian intelektual yang besar  mempertaruhkan seluruh jiwa raganya demi mengikuti jejak Kristus. Iman kepercayan Kristiani itu bersifat paradoks, sebagaimana Kristus merupakan Paradoks besar yang mempersatukan keabadian serta keduniawian, keilahian serta kemanusiawian. Hidup sebagai Kristen adalah cara hidup tertinggi yang merupakan kemungkinan ultim dan makna keberadaan manusia. Dengan adanya keberanian seperti ini, individu sungguh-sungguh menyadari diri sebagai yang terbatas serta mengakui adanya yang absolut. Tahap ini menjadi kepenuhan dari dua tahap sebelumnya, estetis dan etis. Dalam bahasa Peter Vardy, ia melihat perbedaan di antara ketiga tahap ini, yaitu: tahap estetis esensinya berkaitan dengan kenikmatan, cinta erotis, kesenangan sesaat, tahap etis esensinya cinta sebagai kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan dan dalam tahap religius cinta diarahkan  kepada Allah sebagai kenyataan yang absolut[14].

III.       Apa  Yang Dimaksud Dengan  Kebenaran  Subjektif
               
Filsafat Kierkegaard mulai dan berakhir dengan individu[15]. Baginya, kebenaran adalah masalah batin (inwardness), dan bukan pertama-tama masalah sesuatu yang berada di luar diri manusia. Kebenaran selalu dikaitkan dengan subjek, yakni dengan diri yang memeluk dan meyakini kebenaran itu secara pribadi. Yang ditekankan di sini adalah relasi manusia dengan kebenaran tersebut dan bukan hakekat kebenaran itu sendiri[16]. Secara tegas dia menggarisbawahi bahwa kebenaran adalah kepastian subjektif (kebenaran sebagai subjektifitas). Artinya, yang diketahui dengan pasti oleh manusia hanyalah realitas eksistensinya sendiri sebagai seorang pelaku. Sikap, keyakinan, perhatian dan harapan individu (subjek) terhadap objek atau sesuatu yang dipandangnya sebagai kebenaran mendahului (atau lebih penting) daripada kebenaran fakta itu sendiri. Titik berangkatnya adalah keyakinan subjek (pelaku). Namun, kebenaran atau realitas objektif (realitas sebagaimana adanya) tidak diketahui secara pasti oleh manusia. Padahal, manusia pada dasarnya juga memiliki kerinduan untuk menggapai kebenaran atau realitas objektif, yaitu kebenaran yang menjadi patokan salah atau benarnya penilaian manusia – baik kebenaran objektif yang bersifat manusiawi, maupun yang bersifat ilahi. Kebenaran bukan apa yang kita abstraksikan atau renungkan secara berjarak, tetapi apa yang kita bangun lewat pilihan dan keputusan personal. Kebenaran menjelma melalui rajutan eksistensial kita sebagai pelaku.
Kebenaran sebagai subjektifitas memfokuskan penekanannya pada relasi manusia dengan kebenaran tersebut, dan bukan hakikat kebenaran itu sendiri. Ketika isu-isu mengenai makna dan kepenuhan hidup seseorang sedang dipertaruhkan, sikap orang tersebut terhadap objek keprihatinannya atau apa yang dipandangnnya sebagai kebenaran, lebih penting daripada isu mengenai kebenaran fakta yang dimilikinya itu.  Contoh konkritnya adalah relasi imam dengan umat. Ada seorang imam yang tak lama lagi akan merayakan panca windu imamatnya. Umatnya sungguh yakin bahwa imam itu memang sungguh setia dalam panggilannya. Pengalaman hidup bersama imam mereka itu memberi kepastian kepada mereka bahwa imam itu memang mencintai panggilannya. Bagi mereka itu adalah kebenaran (kebenaran sebagai kepastian subjektif). Disebut kebenaran subjektif kerena hal itu hanya merupakan keyakinan subjek (umat). Namun, secara objektif (fakta yang terjadi) umat tidak dapat menyingkirkan kemungkinan bahwa suatu saat imam itu akan meninggalkan imamatnya. Di sini tampak jelas bahwa kebenaran sebagai kepastian subjektif lebih menekankan relasi subjek terhadap keyakinannya yang terealisasi dalam tindakannya, daripada kebenaran fakta yang dihadapinya. Dalam individulah sebenarnya terdapat intisari spirit terungkapkan yaitu sebagai subjektifitas.

IV. Hakekat Kebenaran Subjektif
4.1. Penerimaan Iman
                Penerimaan iman hanya akan dapat dimengerti dan dipahami dalam bingkai hubungan personal dengan Allah. Setiap pribadi memiliki andil untuk meretas hubungan dengan Allah. Tidak ada  orang lain yang dapat menggantikan tempatku untuk berhadapan dengan-Nya. Kenyataan ini sebagai realisasi dari makna terdalam dari subjektifitas. Subjektifitas merujuk kepada kebatinan dan kedalaman jiwa individu dalam berhadapan dengan berbagai ketidakpastian pendekatan objektif yang  berhubungan dengan kebenaran iman.  Bila iman dihubungkan dengan Allah, maka iman itu harus bersifat  subjektif, artinya bahwa berbagai jenis filsafat spekulatif yang menekankan akal, tidak akan menjangkau secara objektif dan memadai akan keabadian Allah.
Ketika pertanyaan tentang kebenaran dibangun atas dasar pemikiran objektif, maka refleksi yang kita bangun secara langsung akan bersifat objektif atas kebenaran itu. Dengan demikian, sebagai  objek yang kepadanya orang ingin tahu berhubungan. Walau pun demikian, refleksi  bukan terfokus atas relasi, tetapi pertama-tama pada persoalan atau pertanyaan apakah  itu sunggu-sunguh sebagai kebenaran yang kepadanya kita arahkan  pikiran serta menjalin hubungan[17]. Mencermati kenyataan ini, maka iman bisa dimengerti sebagai persoalan pribadi setiap orang untuk berhubungan dengan Allah. Hubungan personal ini melampau kekuatan terang akal budi manusia yang pada dasarnya adalah terbatas. Allah tidak mungkin bisa dipahami secara penuh hanya dalam pendekatan objektif spekulatif. Yang paling penting bagi manusia adalah bagaimana ia secara bebas, sadar dan bertanggung jawab menjalin hubungan dengan Allah.

4.2. Keputusan, Pilihan dan Penghayatan
                Berbagai keputusan yang diambil oleh setiap pribadi adalah bentuk tanggung jawabnya sebagai eksistensi yang otonom. Keputusan sebagai sebuah pilihan yang harus dihayati dalam perealisasian hidupnya. Semuanya itu merupakan kristalisasi kenyataan adanya. Manusia yang berpribadi menentukan hidup, bukan atas dasar kemauan orang lain tetapi semata-mata karena dia sadar dan memahami dirinya. Eksistensi itu sendiri merujuk pada kesadaran seseorang akan satu hal[18]. Bahwa keberadaannya yang tak tergantikan mengarahkan setiap pribadi untuk merealisasikan hidupnya.  Menghantar setiap individu untuk memahami diri serta mengambil berbagai keputusan untuk dihidupi, dihayati dan lebih dari itu agar penghayatan yang demikian  menyadarkan juga setiap pribadi yang ada di luar dirinya. Penghayatan hidup dari setiap orang adalah khas dan nyata sebagai pribadi bukan sebagai kerumunan orang-orang atau arus massa.

 4.3.Kesadaran Eksistensial: Aku Ada                 
                Aku ada, bukan sebagai pengakuan tanpa alasan, tetapi berdasar pada subjektifitas manusia. Menegaskan tentang keasadaran eksistensial manusia sebagai pemikir subjektif memiliki tugas untuk memahami dirinya dalam eksistensinya. Pemikiran yang abstrak hanya akan menunjukkan kontradiksi dan dengan dorongan kekuatan imanennya.  Karena itu, bagaimana pun juga dengan mengabstrakkan eksistensi akan muncul berbagai kesulitan. Pemikir subjektif adalah orang yang sama, dan berada pada waktu yang sama[19].
Kesadaran diri hanya ada pada manusia. Setiap manusia juga memiliki tingkat kesadaran yang berbeda tentang dirinya dan juga lingkungannya. Kesadaran itu juga yang memberikan afirmasi penuh kepada adanya manusia. Manusia yang sadar pada akhirnya memberikan penekan pada hidupnya  yang bersumber dari kesadarannya tersebut. Aku ada, bukan sebagai pengakuan tanpa alasan, tetapi berdasar pada subjektifitas manusia. Setiap individu diperhadapkan pada satu kenyataan bahwa ia ada, ada  yang konkret, real dan memiliki kewajiban personal  untuk menghayati adanya dalam dunia secara sadar dan tidak melihat semuanya secara abstrak dan umum. Ia yang menentukan pilihan sekalipun pilihan tersebut bertentangan dengan pandangan umum dan bahkan menyakitkan. Ia yang mengarahkan hidup ke mana ia inginkan. Bukan atas dasar keegoan dan kepalsuan  yang melebur dalam kebersamaan yang  bersifat abstrak serta tidak memiliki kekuatan.

V. Kebenaran Subjektif Dan Penentuan Pilihan Moral
5. 1  Manusia Sebagai Eksistensi Yang Otonom
                Sebagai eksistensi, manusia dipandang atau dipahami  dalam kerangka badan dan jiwa[20], yang secara dinamis memilliki relasi yang tak terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Manusia mengalami kenyataan jiwa dan badan dalam satu kesatuan yang utuh. Dalam kesatuan yang utuh inilah manusia mengaktualisasikan segala kemampuannya sebagai subjek, yang memiliki kesadaran, pikiran, pengalaman hidup yang berkaitan langsung dengan kenyatan hidupnya[21]. Manusia bereksistensi justeru karena manusia dianugerahi  kebebasan untuk memilih dan bebas menentukan pilihan. Kebebasan yang dimiliki manusia mengantarnya untuk  berjuang dalam seluruh pergulatan hidup, untuk memilih kemungkinan-kemungkinan yang membawa dirinya kepada kesempurnaan. Menjadi manusia baginya  berarti senantiasa berada dalam satu situasi konkret yang harus memberikan respons yang aktif terhadap situasi tersebut. Eksistensi manusia adalah sebuah tugas yang harus disempurnakan dan sebuah kewajiban yang harus diselesaikan.
                               
5.2 Moment Eksistensial: Melakukan Pilihan
                Yang paling penting dalam diri pribadi manusia sebagai subjek adalah bagaimana ia melakukan  serta menentukan pilihan. Setiap pilihan menggambarkan bagaimana manusia itu memaknai hidupnya. Hanya dengan memilih, manusia bisa menjadi pribadi yang sesungguhnya. Warna subjek dan keotentikannya dipertaruhkan ketika ia memilah mana yang baik untuk dipilih, mana yang tidak baik untuk dihindarkan atau bukan sebagai pilihan. Kenyataan  menentukan pilihan tersebut diarahkan pada berbagai aspek, baik sosial, moral pun religius. Dalam tataran ini, tentunya semua pilihan yang di ambil  oleh setiap pribadi adalah atas dasar kebebasan yang dia miliki. Hanya dengan suasana yang bebas dalam dirinya, manusia bisa menentukan pilihan yang akan membahagiakan dirinya.
Dalam setiap saat pilihan, ia terarah pada perwujudannya karena personalisasi dari seseorang akan nyata dari setiap pilihan yang dia ambil. Dan pada saat yang sama, ia memulai perwujudannya itu karena ia memilih dari dirinya sendiri berdasarkan kebebasannya. Sebagai produk, ia diarahkan untuk masuk ke dalam bentuk aktualitas sehingga dengan pilihan itu ia menjadikan dirinya elastis, serta mentrasformasikan segala sesuatu yang eksterior menuju yang interior[22].  Dengan demikian, sungguh jelas bahwa tak ada pribadi lain yang dapat menggatikan adaku untuk menentukan berbagai pilihan hidup. Pribadiku yang otentik dan sejati hanya ada maknanya dalam setiap pilihan yang aku ambil, yang aku hayati dalam kehidupan baik bagi diriku sendiri mau pun bagi lingkungan.

5..3 Panggilan Menjadi Diri Sendiri              
                Sebenarnya, kalau ditelusuri lebih dalam maka yang ditakutkan atau dicemaskan oleh Kierkegaard adalah beberapa pemikiran filosofis Hegel, terutama sistem yang gagal memperhatikan pergulatan eksistensial dan subjektifitas manusia. Beliau mendeskripsikan pemikiran filosofis Hegel seperti naik ke puncak gunung dan memandang ke bawah. Dari atas hanya di lihat keindahan, keteraturan atau pun kerapihan yang nampak. Tetapi Hegel lupa bahwa situasi yang nampak mungkin sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di dalamnya.  Dengan demikian, individu pun dengan mudah  larut dalam sistem abstrak atau lukisan besar tersebut. Manusia tidak lagi dikenal sebagai pengada yang memiliki kebenaran dan eksistensinya yang bersifat contingent[23]. Bereksistensi berarti berjuang untuk menjadi diri sendiri. Ketika orang berjuang dengan kekuatannya untuk menjalankan hidup dan mengikuti suara hati atau kebenaran terdalam dari adanya, ketika itu juga ia mulai menyadari akan keterpangggilan hidupnya. Bahwa dirinya tidak harus sepenuhnya digerakkah oleh berbagai kekuatan dari luar. Ia menjadi dirinya sendiri ketika semuanya berjalan sesuai dengan keberadaannya. Dengan demikian, seluruh personalitasnya bermakna bagi diri dan bagi orang lain. Dalam perjuangan tersebut, individu dihadapkan dengan satu persolan besar yakni pergumulan atau  pergulatan eksistensial. Pergulatan ini dikaitkan dengan kenyataan multidimensional yang ada dalam diri individu. Bagaimana individu dan keautentikannya mampu mempertahankan jati diri, tanpa harus mengikuti arus kerumunan. Baginya, cara mengada manusia dapat dirumuskan, I choose, therefore i exist.  Orang yang sungguh mengada tidak akan lari dari pilihan-pilihan yang harus dibuatnya dan dari keputusan-keputusan yang harus diambilnya.

VI. Subjektifitas Sebagai Dasar Pijak Untuk Menentukan Pilihan Moral
6.1 Subjektifitas Sebagai Kebenaran Pertama
                Dalam pandangannya mengenai kebenaran sebagai subjektifitas, Kierkegaard tidak berbicara mengenai semua bentuk kebenaran, melainkan hanya bentuk-bentuk kebenaran yang secara konkret menentukan cara manusia menjalani hidupnya, yakni kebenaran moral dan religius. Berbeda dengan kebenaran ilmu pengetahuan.  Kebenaran moral dan religius ini berbicara langsung kepada manusia sebagai subjek dan menawarkan nilai-nilai kehidupan, khususnya mengenai bagaimana kita hidup: apakah dalam bertindak kita akan memperhatikan nilai-nilai moral, apakah dimensi religius atau yang Ilahi memainkan peran utama dalam hidup kita, apakah untuk mencapai kepenuhan hidup dan menemukan maknanya kita harus mencari pasangan hidup, atau apakah yang menjadi prioritas hidup kita[24]? Semuanya ini tentu berawal dan  berdasar pada apa yang dinamakan kebenaran pertama yakni apa yang kita peluk erat-erat, apa yang dari semula kita yakini sebagai kebenaranan (kondisi batin kita). Dengan berpangkal pada kebenaran tersebut, kita akan mampu menentukan ke mana arah  tindakan dan penentuan pilihan kita. Pilihan moral yang berbobot, muncul ketika pertama-tama kita mendengarkan suara hati dan mempertimbangkan segala kemungkinannya. Itulah tugas seorang manusia: menanggapi secara konkret tawaran kebenaran moral dan religius, serta membangun relasi eksistensial dengannya, dengan membuat pilihan dan komitmen. Bagaimana pun juga, orang harus memilih bagaimana cara ia hidup di dunia atau cara ia berada dalam dunia (his or her own way of being in the world)[25]

6.2  Bentuk Tanggung Jawab
                Ketika individu memeluk kebenaran yang ada di dalam dirinya, serentak juga ia menyadari konsekwensi terdalam dari pilihan tersebut. Pilihan mengandaikan tanggung jawab dan mengarah kepada penyempurnaan diri. Dengan potensi (kebenaran dalam dirinya), refleksi atau acuan utama yang menjadi indikator adalah pergulatan eksistensi etis manusia. Artinya, pertimbangan moral (good-evil/ baik-buruk) akan sangat jelas demi sebuah pilihan. Pada tingkat inilah individu menjadi dirinya sendiri, individu yang memiliki kebenaran dalam dirinya.
Pilihan dari dirinya sendiri merupakan sesuatu yang krusial atau sangat penting bagi kepribadian seseorang. Melalui pilihan tersebut,  individu menyelami apa yang telah dipilihnya. Karena itu, ketika tidak melakukan pilihan, maka individu mengalami penurunan dalam kebereksistensiannya[26]. Pilihannya mengandung seluruh personalitasnya, mengandung pertimbangan, komitmen dan dengan demikian mengafirmasi kenyataan kebereksistensiannya.
Dengan demikian,  pemanfaatan potensi yang ada dalam diri individu sangat menentukan berbagai bentuk pilihan, terutama pilihan dalam ranah eksistensi etis. Pertimbangan good-evil akan selalu berjalan bersama demi terwujudnya kehidupan individu yang bermoral. Kehidupan moral individu yang baik menggambarkan atau menampakkan kebereksistensiannya. Bahwa ia bertanggung jawab penuh atas kenyataan dirinya, baik yang  bersifat  membangun mau pun terhadap setiap tindakan yang merugikan.
6.3  Komitmen  Pada Tingkat Tertentu          
                Dengan mengedepankan kebaikan sebagai hal tunggal yang harus dikehendaki, maka komitmen atau tanggung jawab subjektif yang perlu dibangun atas seluruh usaha menghenghendaki dan menghayati kebaikan sebagai tanggung jawab abadi di hadapan Allah: kebaikan tunggal. Komitmen pada tingkatan tertentu hanyalah mengungkapkan adanya  partikularitas dan determinasi tanggung jawab manusia yang menghendaki dan menghayatinya.  Inilah tantangan yang dimaksud.  Kierkegaard menyebutnya dengan nama kesibukan. Baginya, tanggung jawab  abadi di hadapan Alla sebagai  subjek adalah satu kewajiban  inheren, berkenan dengan segala bentuk realisasi diri yang berkesadaran. Oleh karena itu, bila seseorang ingin mencapai kemurnian hati,  dan benar-benar ingin menjalani hubungan  sepenuhnya dengan Allah  serta menghayati hubungan tersebut,  maka kesibukan dan berbagai kegiatan kehidupan lainnya akan menjadi godaan terbesar.

6.4  Arah Penyempurnaan Diri
                Panggilannya sebagai makhluk yang paling mulia akan menjadi penuh ketika manusia mampu  mengambil, meresapi serta menjalankan nilai-nilai kebenaran dalam kehidupannya. Nilai-nilai kehidupan (nilai moral) itu  harus hidup bukan karena ada tekanan atau intimidasi dari pihak luar tetapi benar-benar karena manusia itu sendiri menyadari kebereksistensiannya.  Kesempurnaan dirinya (walaupun tidak mutlak sempurna seperti Allah), akan menjadi nyata ketika ia bertindak sesuai dengan suara hati, bisa melawan arus kerumunan massa / eforia massa yang sarat dengan topeng kemunafikan dan berani mengambil keputusan yang berpihak pada pada kesejateraan bersama (bonum comunae). Dengan demikian, melalui berbagai perbuatannya yang baik dan benar, manusia berusaha membentuk dirinya sehingga mencapai titik yang sempurna dalam kaca mata manusia. Tugas itu harus dikonkretkan dalam setiap aktivitas melalui berbagai peristiwa hidup, baik secara pribadi  pun dengan sesama manusia. Dengan demikian,  tugas dan panggilan bukan saja membentuk dirinya, melainkan juga sebagai satu tindakan dan perbuatan. Setiap pribadi harus terus-menerus mentransformasikan seluruh adanya dengan segala kemampuan, memberikan diri seutuhnya kepada pemenuhan hasrat  dan untuk kebaikan bersama.

VII. Catatan Kritis: Relevansinya Bagi Kehidupan Manusia Jaman Sekarang
               
Kalau kita berbicara tentang manusia, tentu kita akan mengarahkan pikiran kepada apa yang dinamakan pribadi yang unik, otonom dan berkesadaran. Semuanya itu memberi arti yang tak tergantikan pada diri manusia itu sendiri dan sebagai pengafirmasian akan eksistensinya. Otonomitas bukan dibentuk atau dimaknai oleh adanya yang lain, tetapi pertama-tama dimengerti atau dipahami hanya karena manusia itu sendiri. Ia yang menjadikan dirinya bermakna baik bagi dirinya sendiri mau pun bagi orang lain (walau pun tidak bisa terlepas dari  campur tangan  orang atau pribadi lain di luar dirinya). Kebenaran ada pada subjek yang sadar yang pada gilirannya memberi arti bagi eksistensinya. Walau pun demikian, kebenaran subjektif yang melekat pada eksistensi manusia tidak pernah menyangkal atau pun menolak apa yang dinamakan kebenaran objektif. Hanya saja, perlu diberi distingsi yang jelas sehingga keduanya tetap pada tempatnya masing-masing, bukan saling mengklaim bahwa salah satunya saja yang benar dan yang lain mengikuti atau tidak memiliki kebenaran sama sekali. Proses pemikiran yang di bangun oleh manusia tentang dunianya bukan semata-mata karena ia melihat atau sadar akan res hic et nunc (realitas di sini dan sekarang), tetapi juga pemikiran tersebut muncul dari intensionalitas diri yang dimilikinya. Dari dalam diri telah ada yang dinamakan kebenaran. Kebenaran itulah yang selalu berhubungan atau berpartisipasi langsung dengan seluruh rangkaian kegiatan (menilai dan memutuskan) setiap tindakan. Kenyataan sadar setiap manusia dan berbuat baik  berdasarkan kesadaran tersebut. Dan di sini jelas bagi kita, bahwa kenyataan sadar  muncul pertama-tama dari dalam pribadi, bukan karena rangsangan dari luar. Kenyataan sadar itulah yang menggerakkan manusia untuk berbuat, memaknai hidupnya, merealisasikan adanya sekaligus sebagai bentuk penghayatan panggilannya. Bahwa setiap pribadi dipanggil untuk dapat memberi arti, baik bagi dirinya sendiri mau pun bagi  orang lain yang ada di sekitarnya, sehingga dengan demikian pengakuan terhadap dirinya sebagai pribadi yang tak tergantikan, unik, otonom dan berkesadaran  bisa berarti.
Dengan melihat pokok - pokok pikiran di atas, setidaknya ada beberapa point penting (dalam bidang kehidupan) yang  bisa kita ambil sebagai bahan permenungan bersama untuk dihidupkan dalam praksis hidup kita. Sekaligus bisa ditegaskan kembali bahwa semuanya itu itu adalah bentuk jawaban kita bagi Allah untuk melaksanakan pangggilan hidup.
Pertama, dalam bidang sosial-politik. Seringkali dalam praktek perpolitikan, kita cenderung mengabaikan hati nurani untuk setiap keputusan dan tindakan yang diambil. Politik yang pada hakekatnya sebagai art of life, justru dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kehilangan makna terdalamnya. Dalam setiap kebijakan yang di ambil, yang lebih dominan muncul adalah perjuangan untuk mencapai kemapanan keolompok-status quo, agar tetap eksis dengan mengorbankan golongan yang tak berdaya. Dan kenyataan inilah yang sejak awal perjuangan Kierkegaard menarik rasa  dan simpati hatinya. Ia coba mengubah pola pikir masyarakat pada masanya untuk tidak terjerumus dalam arus massa serta mengkritik kerumunan tersebut yang dilihatnya berandil besar menggeser dan bahkan melenyapkan apa yang dinamakan keunikan eksistensi setiap pribadi. Politik yang pada saat itu lebih cenderung arogan dan bermotif untuk meningkatkan kemapanan kelompok tertentu sungguh digandrungi oleh  kaum elit. Dan di sinilah orang - orang kecil dikorbankan.  Kenyataan yang sama juga masih kita jumpai dengan jelas di jaman  sekarang ini.  Karena itu, pada saat ini seruan yang sama, yang pernah dilontarkan oleh Kierkegaard juga diarahkan kepada kita sebagai bagian darinya untuk  bermain  dan memaknai hidup sebagai bentuk panggilan kita. Tentunya, perjuangan itu tetap dalam tataran yang mengedepankan bisikan suara hati serta kebenaran yang kita miliki, karena sesungguhnya berpolititik adalah sebuah panggilan  dan seni kehidupan.
Kedua, dalam bidang agama-religius. Bercermin pada situasi perpolitikan di masanya yang cenderung mengabaikan kekuatan hati nurani dan kebenaran subjektif, hal ini juga berimbas pada kenyataan hidup keagamaan. Orang memeluk agama atau beriman  dengan kepercayaan tertentu bukan atas dasar keinginan hati atau keadaannya sendiri, tetapi lebih dikarenakan situasi yang ada di sekitarnya. Agama baginya hanyalah sebagai simbol yang memang melekat dengan negara. Agama bukan sebagai jaminam hidup di masa depan, tetapi karena negara mewajibkannya. Karena itu, tidaklah heran kalau praktek keagamaan itu juga lebih bersifat profan dan hura-hura. Penerimaan agama Kristen memerlukan subjektifitas, disposisi batin personal yang dilandasi tanggung jawab inheren, menyangkut pilihan, hasrat dan penghayatan hidup yang sesuai. Allah menjadi pilihan, hasrat dan keputusan mutlak. Semua temporalitas dan kesibukan dunia hanyalah hal sekunder yang menjabarkan kemutlakan ini. Karena itu, sebagai bentuk panggilan kenabian kita pada masa ini, hendaknya agama (iman) perlu dipegang dan dipeluk erat-erat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keberekesistensian kita. Kita juga perlu menyadari, bahwa dengan memeluknya sebagai bagian dari hidup maka setiap tindakan yang kita ambil dan keputusan yang dilaksanakan akan mencerminkan keberpihakan kita kepada nilai-nilai kebenaranan  yang menuju kepada kebaikan bersama (kesejahteraan rakyat banyak).
Ketiga, dalam bidang moral-kemasyarakatan.  Kehidupan moral yang baik dalam masyarakat selalu menjadi cita-cita setiap  pribadi manusia. Setiap pribadi selalu mengidealkan hal yang sama karena dengan adanya kehidupan moral yang baik dalam masyarakat, maka akan muncul harmoni dan keselarasan dalam hidup. Meskipun adanya cita-cita bersama ini, tetap saja terjadi banyak ketimpangan dan bahkan dekadensi moral yang mengakibatkan kehidupan semakin tidak menentu. Berbagai tindakan yang tidak didasarkan pada fondasi kebenaran serta hati nurani justru dilegalkan dan bahkan dijalankan tanpa beban. Moral masyarakat tidak mencerminkan adanya sebagai pribadi yang beriman, otonom, unik dan berkesadaran. Manusia terjerumus dalam hegemoni hedonisme sekular yang lebih memilih untuk menikmati hal-hal sesaat, tanpa mempertimbangkan akibatnya.  Manusia bertumpu dan berharap kepada kekuatan massa yang terkadang  tanpa dasar yang kuat untuk dipertahankan. Manusia lebih senang untuk ada dalam kerumunan karena ia takut untuk menjalani kebereksistensiannya secara pribadi. Yang ada hanyalah aksi tanpa hati, dinamika tanpa arah.  Karena itu, pada saat ini kita semua dipanggil sebagai pribadi yang memiliki kekuatan dalam diri untuk  melawan segala kebobrokan hidup dalam masyarakat. Eksistensi kita hanya akan berarti ketika kita mampu menunjukkan kepada dunia  bahwa kita adalah manusia yang otonom, unik dan berkesadaran untuk melakukan apa yang kita mau sesuai dengan hati nurani dan kebenaran yang kita miliki. Kehidupan moral yang baik dalam masayarakat akan berarti ketika setiap kita sadar akan panggilan kenabian yang diembankan kepada kita. Inilah panggilan kita sebagai pribadi yang memiliki kebenaran dalam diri, yang unik, yang otonom serta yang berkesadaran.
Manusia harus menampilkan “diri otentik“ dengan keluar dari kerumunan atau massa, karena dalam kerumunan, setiap pribadi mengalami gejolak yang pada akhirnya menjerumuskannya untuk tidak mendengarkan kata hati atau kebenaran dari dalam dirinya. Terkadang tak bermakna lagi, ketika kekuatan massa lebih mendominasi seluruh kehidupan. Kebenaran sebagai subjektifitas yang bermuara pada penyerahan kepada Yang Tak Terbatas. Iman dalam diri yang terbatas mengakui realitas yang tak terbatas. Imanlah yang menghidupkan agama sekaligus menjawab keraguan, kecemasan dan ketakpastian manusia.  Dengan iman yang kita miliki, maka akan turut mempengaruhi setiap tindakan. Iman yang akan menyelaraskan kehidupan. Maka yang terpenting bagi setiap pribadi adalah bagaimana terjadi harmoni antara intensi, ekspresi dan tindakan. Dengan munculnya harmoni,  maka tindakan kita akan selalu memperhitungkan baik buruk, boleh tidaknya sesuatu untuk dilakukan. Moral yang baik akan selalu terjaga ketika semua hal yang kita lakukan berpegang teguh pada komitmen kita dan relasi kita dengan Allah.
             

Daftar Pustaka

Soren A. Kierkegaard, Concluding Unscientific Postcript, translate by David F. Swnson (New Jesrey: Princenton University Press, 1944)

____________________, Either/Or, Part II, Edited and Translated  with introduction and notes by Howard V. Hong and Edna H. Hong (New Jesrey: Princeton University Press, 1987)

Albert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan,(Yogyakarta: Kanisius, 2004)

Antony T. Pandovano, The Estranged God Modern Man’s Search For Believe, (New York: Combridge University Press,1996)

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama,2004)

Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2005)

Hadiwijono H., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980)

Harry Hmmersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983)

Louis Dupre, Kierkegaard as Theologian, (New York: Comebridge University Press, 1963)

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002)
N. Drijarkara, SJ, Percikan Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan, 1981)

Peter Vardy, Kierkegaard, (London: Part of Harper Collins Publisher,1996)

Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern Dari Descartes Sampai Witgenstain,  (Jakarta: Panca Simpati, 1986)

Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990)

William L.Kelly, Readings in the Phylosophy of Man, (USA: McGraw-Hill Book Company, 1967)





[1] Louis Dupre, Kierkegaard as Theologian, (New York: Comebridge University Press, 1963), p. 3
[2] Lihat catatan harian Kierkegaard dalam Thomas Hidya Tjahya, Kierkegaard: Pergulatan Menjadi diri Sendiri, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004), p. 4  
[3] Fuad Hasan, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2005), p. 124 Eksistensialisme merupakan satu  paham atau aliran, yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada ekistensi; yakni cara manusia berada di dalam dunia. Cara manusia berada dalam dunia, berbeda dengan cara berada benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaanya, juga yang satu berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tetapi manusia menyadari dirinya di antara manusia lain dan benda-benda (bdk. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980, p. 148)
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), p. 185

[5] Harry Hmmersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983), p. 4

[6] Peter Vardy, Kierkegaard, (London: Part of Harper Collins Publisher,1996), p. 34
[7] Harun Hadiwijono, Op.Cit., p.51
[8] Thomas Hidya Tjahya, Op.Cit., p. 89-90
[9] Ibid., p. 91
[10] Peter Vardy, Op.Cit., p. 55
[11] F. Budi Hardiman, Op.Cit., p. 253
[12] Tahap religius merupakan tahap pemenuhan, tetapi perlu dicatat bahwa pemenuhan itu tidak seperti seorang yang memberikan sedekah berupa emas, tetapi lebih dipahami sebagai penyesalan atau pertobatan secara pribadi yang akan terjadi dalam waktu yang tak terbatas dan sebagai konsekuensinya religius adalah kontradiksi” (Soren A. Kierkegaard, Stages of Life’s Way, edited and translate with introduction and notes by Howard H.Hong and Edna H. Hong ( New Jesrey: Princenton University Press, 1988), p. 477)
[13] Louis Dupre, Op.Cit., p. 47-48
[14] Peter Vardy, Op.Cit., p. 58
[15] Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern Dari Descartes Sampai Witgenstain,  (Jakarta: Panca Simpati, 1986), p. 224
[16] Thomas Hidya Tjahya, Op.Cit., p. 112

[17] Lihat dalam Soren A. Kierkegaard, Concluding Unscientific Postcript, translate by David F. Swnson (New Jesrey: Princenton University Press, 1944) p. 296
[18] Ibid., p. 276
[19] Ibid., p. 314
[20] Louis Dupre, Op.Cit., p. 41
[21] Albert Snijders, Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), p. 24
[22] Lihat dalam Soren A. Kierkegaard, Either/Or, Part II, Edited and Translated  with introduction and notes by Howard V. Hong and Edna H. Hong (New Jesrey: Princeton University Press, 1987), p. 251
 Thomas Hidya Tjahya, Op.Cit., p. 153-155
 Ibid., p. 14-15
 Loc.Cit.
 Lihat dalam Soren A. Kierkegaard, Either/Or, Part II, Edited and Translated  with introduction and notes by Howard V. Hong and Edna H. Hong (New Jesrey: Princeton University Press, 1987), p. 163