Minggu, 10 Juni 2012

MASIH ADAKAH DAMAI DI TANAH PAPUA?


Pernah diterbitkan di Papaua Selatan Pos; Senin, 11 Juni 2012


MASIH ADAKAH DAMAI DI TANAH PAPUA?
(refleksi sederhana untuk tanahku)


Description: E:\Narcist\IMG_2496.JPG

Richard Christian Sarang, S.Fil*


Catatan Awal

Dari hari ke hari, kondisi keamanan di Papua semakin mengkwatirkan, marak terjadi kekerasan yang mengakibatkan kematian bagi beberapa anak manusia di serambi Cenderawasih.  Penembakan misterius hampir terjadi setiap pekannya. Rentetan peristiwa ganas; lakon pembunuhan, penembakan, perang saudara seperti  yang sudah dan sedang terjadi (Puncak Jaya, Timika, Jayapura), membuat masyarakat semakin resah. Yang lebih memprihatinkan lagi, korban jiwa bukan saja warga masyarakat lokal, tetapi juga orang  asing yang berwisata di negeri ini, yang katanya cinta keberagaman, tanah penuh damai, negeri yang diberkati.
Ironisnya, banyak peristiwa serakah ini dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap berbagai kebijakan, baik oleh pemerintah maupun oleh keompok-kelompok dalam masyarakat itu dendiri. Seolah-olah, tak ada lagi spasi/ruang untuk berdialog, bercerita, merajut nasionalisme kebangsaan, keberagaman, kecintaan dan respek terhadap sesama. Label tanah damai, hanya menjadi slogan klise tanpa makna, yang menggiring anak manusia negeri ini terjerumus pada satu kecenderungan bertindak tanpa berpikir atau juga bisa sebaliknya, berpikir dan berbuat yang terkesan kuat pada actus hominis semata.
Ketika kelompok-kelompok tertentu berlomba-lomba mencari kepuasan sendiri, ketika tidak lagi menyadari nilai-nilai suci kehidupan manusia, maka kematian (pembunuhan, penembakan, pemaksaan, dll) adalah jalan satu-satunya untuk memuaskan dahaga keserakah itu. Artinya, seruan-seruan yang datang dari luar hanya akan menjadi alunan suara kosong yang tidak cukup berarti bagi perubahan pola pikir masyarakat tertentu.

Papuaku Sayang, Papuaku Malang
           
Itu tidak benar”, “itu tidak adil” . Tetapi, dari manakah ide “adil” dan “benar” datang?  Ide-ide ini dihubungkan dengan keadilan dan kebenaran. Keadilan adalah salah satu dari nilai paling penting manusia, karena keadilan mempengaruhi seluruh hidupnya. Berpikir tentang keadilan, biasanya melibatkan pemikiran tentang jenis masyarakat yang kita hidupi, atau ingin hidup di dalamnya lebih dari sekadar hubungan antarindividu. Begitu juga halnya dengan kebenaran. Walau dalam kaca mata tertentu,  tidak ada kebenaran mutlak, toh manusia selalu mengklaim bahwa kebenaran-nyalah yang mutlak. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya distorsi nilai masyarakat itu sendiri. Maka walaupun tidak ada kebenaran mutlak, tidak berarti kita enggan berusaha untuk menuju titik kebenaran bersama. Kebenaran dalam kacamata kebersamaan, tentu memiliki nilai yang lebih berarti, ketimbang kita mengabsolutkan nilai kebenaran kita, yang terkadang justru mencelakakan banyak orang.
Berhadapan  dengan kenyataan kita sekarang ini (kondisi tanah Papua), tentu kita  semua  yang masih concern dengan terciptanya toleransi, rasa aman dan damai di tanah ini, perlu membangun paradigma baru, berani keluar dari hegemoni kelompok yang tidak mencerminkan semangat sebagai tanah damai, negeri yang diberkati, negeri yang dilimpahi susu dan madu. Alangakah indahnya label cinta damai yang selalu disuarakan (bahkan sampai seluruh dunia tahu), dihidupkan mulai dari komunitas tercekcil, yang berangkat dari kesadaran kolegial akan makna hidup bersama sebagai saudara. Bagaimana mungkin, kita sebagai makhluk ber-Tuhan, tetapi ber-seragam-kan kebencian di antara sesama? Sejauh  mana kuatnya seruan-seruan moral, kalau hanya di awang-awang? Seberapa ampuhnya diplomasi pemerintah, kalau tidak menyentuh persoalan yang mendasar, yang sungguh-sungguh dirasakah oleh kita orang Papua?
Tentu bukan perkara mudah untuk memecahkan persoalan ini. Tetapi ketika kita memiliki komitmen yang sama, bergelora dengan semangat yang sama, “mewujudkan cinta kasih serta menghargai keberagaman”, maka lambat laun semuanya akan menjadi indah. Toh, kita tidak berada di jamannya filsuf Friedrich Nietzsche, yang dengan lantang menvonis atau mengklaim bahwa “Allah sudah mati”. Bagi Nietzsche, bahwa kepercayaan kepada Allah akan memiskinkan kehidupan manusia. Bahwa kepercayaan kepada Allah yang kita jalankan hanyalah halusinasi kosong terhadap kedangkalan pemikiran manusia itu sendiri. Tetapi kenyataannya, kita semua yang ada di tanah ini adalah orang-orang yang memiliki iman kepada Allah yang satu dan sama, walau dengan cara pandang yang berbeda. Maka, ruang diskusi yang pernah dikumandangkan oleh filsuf berdarah Yahudi itu, tidak memiliki tempat di atas tanah ini.
Harapan dan cita-cita semua manusia adalah terciptanya kebaikan bersama (bonum cumunae) dalam masyarakat yang bisa dirasakan, dialami dan hidup menyatu di tengah masyarakat itu sendiri. Tetapi sampai saat ini, harapan luhur itu masih sebatas wacana yang belum hidup dan bahkan mungkin tetap akan terpekur mati dikuasai oleh kepicikan cara pikir dan cara bertindak kita. Keadilan adalah cita-cita semua orang. Maka ketika keadilan itu tidak mendapat tempat di hati setiap pribadi, dengan sendirinya akan terjadi kecemburuan social yang tidak lagi memperhatikan kaidah/norma moral yang berlaku. Dengan demikian  sangat perlu kita berbenah, baik secara pribadi, maupun bersama. Baik pada komunitas keagamaan, maupun dalam tataran sebagai masyarakat negara.
Kita harus mulai menata kembali kelusutan benang kedamaian di tanah ini. Membuka diri, tanpa harus kehilangan jati diri. Berdialog, tanpa perlu meninggalkan keunikan komunitas. Berbagi rasa, tanpa harus memandang asal. Tidak perlu enggan, tidak perlu takut, tidak perlu resah untuk mencapai kedamaian dengan jalan permusyawaratan. Karena keengganan kita menerima kenyataan keberbedaan menjadi salah satu sebab, mengapa semakin suramnya rasa aman dan damai di negeri ini. Ketidakmampuan kita mengelola dan me-manage diri untuk keluar dari pemikiran sempit primordial, juga sebagai biang tumbuh suburnya kekerasan yang berujung kematian. Dan yang tidak kalah krusial adalah bagaimana peran sentral pemerintah dan tokoh agama (serta lembaga adat) dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat akar rumput yang menjadi dasar dari terciptanya suasana damai, cinta kasih dan kebersamaan. Kiranya saya tidak berlebihan dalam mengungkapkan pandangan sederhana ini. Boleh jadi, inilah awal kehancuran tanah kita, kalau belum sadar akan fenomena ini.  Yang oleh leluhur kita adalah tanah damai, mungkin akan hanya tinggal sejarah dan beralih langkah menuju lautan berlimpah darah keserakahan. Pertanyaan sederhana muncul; masih layakkah kita bangga dengan tanah ini? Apa yang perlu kita banggakan (kekayaan alam? sumber daya manusia?). Ataukah kita hanya membanggakan bahwa kita masih bisa membunuh sesama secara keji? Di mana letak kebanggaan kita? 

Toleransi Menjadi Spirit Kebersamaan

Semua pasti sepakat dengan saya, bahwa tidak ada tempat bagi kaum separatis bersenjata di tanah ini. Dengan ideologi apapun yang dibangun oleh kaum separtis, tentu kita memiliki kewajiban untuk menentangnya. Negara Indonesia sudah diletakkan di atas dasar yang satu dan sama, yang bernafaskan Pancasila, sebagai roh penggerak, roh pemersatu dan sebagai landasan pijak cara manusia Indonesia berpikir dan bertindak. Artinya, walau dalam berbagai keberbedaan, tidak menghalangi semangat kita untuk ada bersama. Maka toleransi antara sesama anak negeri ini, harus menjadi spirit kebersamaan.
Semua pihak ingin diperlakukan toleran, maka negara mendapat legitimasinya jika dapat bersikap toleran terhadap warganya (F.Budi Hardiman; Kompas, 30 Mei 2012). Tentu, kita tidak hanya menuntut pemerintah untuk bersikap toleran, tetapi yang paling mutlak harus dilakukan adalah bagaimana kita sebagai warga negera harus toleran dengan sesama, tanpa harus meninggalkan keunikan kita masing-masing. Tentu toleransi yang dimaksudkan di sini adalah toleransi positif, bukan toleransi negative. Toleransi positif yaitu respek terhadap orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda, agama yang berbeda, suku yang berbeda dan keturunan yang berbeda. Sementara toleransi negative adalah pembiaran ataupun ketidakpedulian terhadap kejahatan, ketidakadilan, dan penindasan terhadap mereka yang berbeda.  Dan kedua modus ini bisa dilakukan oleh kita semua, tak terkecuali negara. Negara mengambil sikap toleransi negative, ketika membiarkan kelompok-kelompok separatis merajalela di tanah ini. Setiap pribadi mengambil sikap toleransi negative, ketika membiarkan diri dan masyarakat di mana ia tinggal larut dalam tindakan-tindakan anarkis.
Tentu dalam kasus ini, perlu perjuangan semua orang untuk menegakkan kedamaian di tanah ini. Tanah Papua akan menjadi negeri yang malang, yang tidak lagi dibanggakan ketika kita tidak serius menata diri untuk merangkai kebersamaan. Dan sebaliknya, serambi Cenderawasih ini akan selalu disayang, ketika setiap orang menyadari bahwa orang lain adalah aku yang hadir dalam bentuk serta ciri yang lain. Tanah Papua akan menjadi tanah yang diberkati, ketika kita semua menyadari serta menghidupi semangat kebersamaan dalam cinta kasih, yang telah didengungkan beribu-ribu tahun silam.
Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan setiap keputusan yang diambil, baik oleh pemerintah maupun oleh otoritas dalam masyarakat, tentu tidak bisa diselesaikan dengan cara kekerasan (pemembakan, perang saudara dan pembunuhan) yang justru menghancurkan masa depan kita sendiri. Dalam alam demokrasi, kehidupan yang baik hanya akan terwujud bila semua orang sadar akan keberbedaan, keberagaman dan tetap bersikap kritis terhadap setiap kebijakan, bukan dengan kekerasan tetapi mengedepankan sikap menghormati serta respek terhadap sesama. Saya dan anda tentu mencintai dan menghargai tanah ini, tanah Papua, serambi Cenderawasih yang berlimpah susu dan madu. Maka, tidak ada cara dan pengungkapan rasa hormat yang lebih berarti yang harus kita laksanakan, selain kita berada di dalamnya, berani menentang segala tindak kejahatan, terutama setiap tindakan menghilangkan nyawa sesama mansuia sebagai mahkota ciptaan. Cinta kehidupan menegaskan ekesistensi kita sebagai pribadi bermoral, yang selalu berteriak bahwa kita ber-Tuhan. Dan sebaliknya, membenci kehidupan (dengan menghilangkan nyawa sesama) adalah langkah yang memuluskan kita kepada akhirat yang mematikan***

*Penulis adalah pengajar tetap di Sekolah Tinggi Katolik St. Yakobus Merauke

Tidak ada komentar:

Posting Komentar