Rabu, 30 Mei 2012/Papua Selatan Pos
MENEROPONG ARAH PENDIDIKAN KITA: QUO VADIS?
(catatan sederhana untuk kelulusan SMU di
Papua Selatan)
Richard Christian Sarang, S.Fil*
Catatan Awal
Tulisan
ini hanyalah riak-riak pikiran saya, yang kini sedang menari menggelitik
menemani saat-saatku. Saya mencoba mengungkapkan pendapat, yang mungkin basi
dengan pandangan kebanyakan orang. Tidak bermaksud menghakimi terhadap orang-orang
tertentu. Bukan juga men-judge, mempersalahkan pribadi-pribadi tertentu, tetapi
semata-mata ingin membagi rasa, mengungkap kata terhadap wajah dunia pendidikan
kita. Judul di atas juga, kiranya tidak berlebihan untuk kita lihat bersama, ke
mana arah pendidikan kita. Kalau pun, ada yang merasa tulisan ini kurang berkenan atau merasa tidak sejalan,
marilah kita berbagi di ruang opini ini. Karena saya percaya, dengan banyak
berbagi, akan banyak mendapat, dengan berdiskusi, maka selalu ada jalan keluar.
Sesuai
dengan amanat UUD 1945, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh
pendidikan yang layak dari negara. Negara berkewajiban mencerdaskan setiap
warganya, tanpa membedakan suku, agama, ras dan tempat tinggal. Tetapi,
cita-cita luhur tersebut, belum menyentuh secara merata bagi seluruh masyarakat
kita. Bahkan, pembangunan pendidikan yang sedang berjalan saat ini, dinilai
belum memberikan hasil yang signifikan dalam membangun karakter bangsa sesuai
dengan nilai-nilai normative kebangsaan Indonesia.
Pendidikan dalam pengertiannya yang luas,
memainkan peran yang makin besar untuk mewujudkan perubahan mendasar, dalam
cara kita hidup dan bertinddak. Seyogyanya, pendidikan adalah kekuatan masa
depan, karena merupakan alat perubahan yang sangat ampuh. Pendidikan memainkan
peran penting untuk mampu mengakses banyak hal. Salah satu masalah yang
terbesar yang kita hadapi adalah bagaimana menyesuaikan cara berpikir kita
untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks, cepat berubah dan sulit
diramalkan. Kita perlu merumuskan kembali cara kita mengelola pendidikan dan
pengetahuan. Ini berarti, kita perlu memecahkan rintangan-rintangan
antardisiplin dan mencari cara pikir baru yang dapat menghubungkan apa yang
selama ini terpisah-pisah. Catatan inilah yang kiranya menjadi perhatian dari
semua pihak, bukan saja para pendidik, tapi yang memiliki niat baik untuk mencerdaskan
anak anak bangsa ini.
KPG Khas
Papua Merauke: Tampil Beda, Ingin Berbeda?
Menengok sedikit peristiwa yang terjadi
beberap hari kemarin, yang berkaitan dengan berita kelulusan siswa-siswi kita.
Pengumuman kelulusan bagi siswa Sekolah Menengah Umum di seluruh pelosok tanah
air Indonesia telah berlangsung pada 26 Mei 2012 yang lalu. Dan sudah menjadi
tradisi tahunan, beberapa jam hari itu (hari pengumuman kelulusan) merupakan
saat-saat yang sangat menegangkan bagi sebagian siswa. Tetapi, tak sedikit juga
yang merasakan bahwa hari tersebut
adalah moment yang paling istimewa, kisah yang menggembirakan. Dua moment dalam
satu kesempatan.
Pengalaman berbeda telah menguasai seluruh
anak bangsa, putra-putri kita yang sedang menanati kabar keramat, menunggu
datangnya dewa penolong, mendambakan satu kata yang digandrunngi (paling
kurang) untuk lima menit, yaitu kata: LULUS. Selama 3 tahun duduk manis di
bangku Sekolah Menengah Umum, berakhir hanya mengharapkan lima huruf, LULUS.
Terlepas dari bagaimana proses belajar serta pembelajaran yang terjadi, yang
selalu menemani para siswa selama mengenyam pendidikan formal tersebut. Tentu,
kita perlu mengapresisasi kemauan anak-anak kita untuk sejenak ada di sekolah, sekali
lagi terlepas dari kenyataan, apakah mereka benar-benar ada di sekolah
(ada dalam proses belajar bersama para guru), atau hanya menyenangkan hati
orang tua (asal bapak-mama senang). Tapi, bahwa saat istimewa itu, mereka
bersama-sama ingin mendapatkan satu kepastian serta justifikasi terhadap
keberadaan mereka di bangku SMU selama tiga tahun. Pertanyaan sederhana: sudah cukupkah dengan
kata lulus untuk sampai kepada estimasi bobot seorang peserta didik? Tentu
tidak. Sejumlah persoalan masih harus dicermati bersama. Kenyataan bahwa masih banyak
siswa siswi di beberapa Sekolah Menengah Atas yang tidak lulus dalam ujian
nasional tahun ini, termasuk Kolese Pendidikan Guru Khas Papua Merauke, yang
dalam tahun ini berprestasi kelululusan kurang dari 60 percent.
Seorang pakar pendidikan; Maria Montessori
dalam bukunya Education and Peace (Chicago, 1972), mendefenisikan pendidikan
sebagai jalan untuk membangun dunia baru dan mampu membawa kedamaian. Rumusan
sederhana ini mau merujuk pada cita-cita dasar pendidikan itu sendiri, yakni
membangun nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik. Dalam arti, ruang gerak
pendidikan tidak pernah lepas dari cita-cita semua kegiatan belajar mengajar
untuk menghantar anak didik agar lebih manusiawi ketika sedang menetap dalam
dunia baru yang penuh damai. Atau dalam bahasa yang lain, pendidikan adalah
satu proses tindakan, yang bermula dari potensi menuju aktualisasi. Dengan
demikian, pendidikan juga merupakan satu proses menyingkap dunia hari ini dan
membuka tirai masa depan bagi dan kepada peserta didik. Bahwa kualitas lebih
penting dari kuantitas. Bahwa prorses menuju akhir lebih penting daripada hasil
akhir semata.
Apakah KPG sudah mulai sadar akan misi utama
dan spirit dari lembaga pendidikan mereka? Yang mengedepankan penghargaan
terhadap peserta didik, bukan “meluluskan” dengan mendongkrak-mengkatrol
nilainya sehingga di atas rata-rata kemampuan normal/ kenyataan harian anak
tersebut? Atau spirit kejujuran dengan tidak memberikan jawaban soal ujian
nasional kepada anak didik? Adakah satu
langkah maju yang ingin dicapai oleh KPG di sana? Tentu, kita semua boleh
bertanya. Kita semua boleh mengungkapkan pandangan tentang realitas kelulusan
KPG. Betapa tidak, dan cukup mencengangkan bahwa kelulusan siswa-siswi KPG yang hanya
mencapai 58 % (dari 212 siswa, 109 siswa
yang lulus dan 103 siswa dinyatakan tidak lulus). Kepada sekolah yang mencapai
100 percent kelulusan, tentu kita memberikan ucapan selamat. Dan kepada KPG
Khas Papua Merauke, pasti kita berharap dan percaya bahwa inilah hasil terbaik,
yang harus dibanggakan. Bukan bangga karena siswanya lulus semua, tetapi bangga
karena KPG mengedepankan nilai-nilai moral dan menjunjung tinggi kejujuran
sebagai dasar pembentukan karakter manusia yang berbobot. Kolese
Pendidikan Guru Khas Papua, sebagai lembaga pendidikan berlabel ’guru’, yang secara khusus
dipersiapkan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, sudah sepantasnya dan sudah
saatnya untuk berbeda dengan lembaga pendidikan lain. Secara pribadi
(walau pun oleh banyak orang mungkin menganggap sebagai apresiasi yang tak
berdasar); saya bangga dan memberikan
apresiasi yang tinggi kepada lembaga pendidikan guru KPG Khas Papua Merauke,
yang sudah mulai tampil
“berani” dan “berbeda” dengan lembaga pendidikan lain di tanah Papua
Selatan ini.
Tampil berani dan berbeda, bukanlah satu
pilihan yang salah. Kenyataan berani dan berbeda juga bukanlah satu sikap
melawan kebijakan pemerintah, yang selalu mau lulus semua, tanpa pernah tahu
dan bahkan masa bodoh dengan kenyatan konkret di lapangan. Tetapi yang
paling utama adalah kemauan untuk menghadirkan atau mengorbitkan
pioneer-pioneer pendidikan masa depan yang lebih berkulialitas dalam berbagai
segi kehidupan. Saya tidak bermaksud mengkerdilkan atau menyepelekan
keberhasilan sekolah lain selain KPG Khas Papua. Tetapi fakta berbicara, bahwa
orientasi pendidikan kita di Papua Selatan ini masih berkutat pada apa yang
dinamakan final oriented, orientasi akhir yang berusaha menyenangkan
banyak orang (terutama pemerintah), tanpa melihat dan memikirkan satu proses
pembelajaran yang bermutu. Saya cukup tidak yakin, dengan mental belajar sebagian
anak didik kita sekarang, bisa menjadikan satu sekolah lulus seratus percent?
Apalagi, kalau proses belajar mengajar dalam sekolah-sekolah kurang berjalan
secara baik dan bahkan tidak berjalan sama sekali. Itu logika sangat sederhana
yang bisa dibangun. Dalam kaca mata awam penulis, di sinilah letak
ketidakseriusan kita dalam memperjuangkan kualitas pendidikan yang lebih baik
di tanah ini. Kita cenderung takut kepada pemerintah daripada cemas
kepada masa depan anak kita sendiri,
yang akan memimpin tanah ini pada tahun-tahun yang akan datang. Pemerintah
boleh memasang target tinggi, “mengharuskan” sesuatu terjadi walau kenyataannya
tidak bisa. Tapi, peran kita sebagai pengajar, pendidik dan tenaga kependidikan
harus tetap memperjuangkan serta menanamkan dasar-dasar pendidikan yang
bermartabat, yang bisa menghasilkan manusia-manusia mandiri, cerdas dan
berwawasan.
Tampil berani dan berbedanya KPG Khas Papua
Merauke, kiranya membuka mata, pikiran dan hati kita, terutama untuk semua
pendidik dan peserta didik di tanah ini. Bahwa ada satu kenyataan yang paling
dekat dengan dunia pendidikan kita saat ini.
Bahwa tidak terlalu penting kita meluluskan semua siswa/ anak didik
kita, kalau pada dasarnya mereka belum bisa lulus. Kalau kita ingin wajah
pendidikan di Papua Selatan ini menjadi lebih baik, tidak berdosalah kita,
untuk sebaik mungkin mendidik mereka, bukan pada orientasi akhir dengan memakai
segala cara untuk lulus, tetapi dengan menanamkan nilai-nilai luhur dari
pendididikan itu sendiri. Jangan paksa meluluskan siswa, kalau de
facto tidak bisa lulus saat ini. Kalau mental ini yang menjadi
primadona dan selalu kita kembangkan, maka saya yakin, generasi kita ke depan
adalah generasi pengecut bermental easy going, yang tidak
memiliki daya juang, daya membangun diri. Celakalah tanah ini, mencederai
asas-asas luhur pencetus pendidikan. Bukankah lebih baik kalau kita mulai
mengubah cara kerja di dunia pendidikan kita, kalau perubahan itu membawa kecerdasan
intelektual, moral dan spiritual? Kita belum terlambat, ketika memiliki kemauan
dan semangat untuk bersama-sama menghadirkan mutu pendidikan dalam berbagai
aspek. Kualitas kitalah lebih penting, ketimbang kuantitas, yang hanya
mensengsarakan generasi kita sendiri.
Catatan Akhir: Apa Yang Harus Dibenah?
Peran strategis dunia pendidikan kita saat
ini, memanag sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Dalam
tataran yang lebih kecil, khususnya di Papua Selatan ini, kita semua perlu berbenah.
Menurut hemat saya, terkait dengan kenyataan dunia pendidkan kita saat ini,
maka penting untuk kita (pendidik dan peserta didik), juga pemerintah untuk
bersama-sama mengubah paradigma/ cara pandang kita tentang prestasi anak didik.
Berprestasi, bukan semata-mata karena lulus dalam ujian, tetapi berprestasi
dimengerti lebih luas dan lebih penting, ketika peserta didik dilatih untuk
semakin menyadari dan mengenal serta sanggup menghayati potensi yang ada dalam
dirinya sendiri. Atau dalam dimensi yang lain, proses pendidikan hendaknya
membantu sedapat mungkin peserta didik untuk menempatkan segala kesulitan dalam
paket kebijaksanaan anak didik.
Sebagai pendidik, harus menyadari
diri akan tanggung jawab. Bukan saja tanggung jawab untuk membuat anak didik
pintar, tetapi sedini mungkin untuk membentuk karakter yang bermoral, yang
menghargai kerja keras, mencintai dirinya sendiri dan yang memilki sikap
membangun, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Tak cukup dengan menggembirakan
mereka saat ini, dengan paksa meluluskan, kalau toh mental mereka belum siap
untuk melompat lebih tinggi dalam dunia pendidikan berikutnya. Tidak terlalu
penting hanya melihat hasilnya sebagai indicator prestasi. Lebih penting adalah
bagaimana seseorang ada dalam proses yang lama untuk mencapai titik estimasi
keberhasilan. Final oriented hendaknya bukan menjadi satu-satu yang
diperjuangkan, tetapi mengembangkan proses belajar mengajar yang berbobot, yang
mengarah pada kecerdasan intelektual, emosional, spiritual akan lebih bernilai
bagi anak-anak kita.
Saya
yakin dan percaya, Kolese PendidIkan Guru Khas Papua Merauke, sudah memulainya
tahun ini, dengan sedikit tampil berani dan berbeda. Beranikah kita
(sekolah-sekolah lain) mengikuti langkah maju KPG yang saya istilahkan sebagai “melompat
lebih tinggi”? Nah…, kita tunggu perubahannya!!
*Penulis adalah pengajar tetap di Sekolah
Tinggi Katolik St. Yakobus Merauke
Tidak ada komentar:
Posting Komentar