Minggu, 10 Juni 2012

MENEROPONG ARAH PENDIDIKAN KITA: QUO VADIS?


Rabu, 30 Mei 2012/Papua Selatan Pos

MENEROPONG ARAH PENDIDIKAN KITA: QUO VADIS?
(catatan sederhana untuk kelulusan SMU di Papua Selatan)

Richard Christian Sarang, S.Fil*


Catatan Awal

Tulisan ini hanyalah riak-riak pikiran saya, yang kini sedang menari menggelitik menemani saat-saatku. Saya mencoba mengungkapkan pendapat, yang mungkin basi dengan pandangan kebanyakan orang. Tidak bermaksud menghakimi terhadap orang-orang tertentu. Bukan juga men-judge, mempersalahkan pribadi-pribadi tertentu, tetapi semata-mata ingin membagi rasa, mengungkap kata terhadap wajah dunia pendidikan kita. Judul di atas juga, kiranya tidak berlebihan untuk kita lihat bersama, ke mana arah pendidikan kita. Kalau pun, ada yang merasa tulisan ini  kurang berkenan atau merasa tidak sejalan, marilah kita berbagi di ruang opini ini. Karena saya percaya, dengan banyak berbagi, akan banyak mendapat, dengan berdiskusi, maka selalu ada jalan keluar.
Sesuai dengan amanat UUD 1945, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang layak dari negara. Negara berkewajiban mencerdaskan setiap warganya, tanpa membedakan suku, agama, ras dan tempat tinggal. Tetapi, cita-cita luhur tersebut, belum menyentuh secara merata bagi seluruh masyarakat kita. Bahkan, pembangunan pendidikan yang sedang berjalan saat ini, dinilai belum memberikan hasil yang signifikan dalam membangun karakter bangsa sesuai dengan nilai-nilai normative kebangsaan Indonesia. 
Pendidikan dalam pengertiannya yang luas, memainkan peran yang makin besar untuk mewujudkan perubahan mendasar, dalam cara kita hidup dan bertinddak. Seyogyanya, pendidikan adalah kekuatan masa depan, karena merupakan alat perubahan yang sangat ampuh. Pendidikan memainkan peran penting untuk mampu mengakses banyak hal. Salah satu masalah yang terbesar yang kita hadapi adalah bagaimana menyesuaikan cara berpikir kita untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks, cepat berubah dan sulit diramalkan. Kita perlu merumuskan kembali cara kita mengelola pendidikan dan pengetahuan. Ini berarti, kita perlu memecahkan rintangan-rintangan antardisiplin dan mencari cara pikir baru yang dapat menghubungkan apa yang selama ini terpisah-pisah. Catatan inilah yang kiranya menjadi perhatian dari semua pihak, bukan saja para pendidik, tapi yang memiliki niat baik untuk mencerdaskan anak anak bangsa ini.


KPG Khas Papua Merauke: Tampil Beda, Ingin Berbeda?

Menengok sedikit peristiwa yang terjadi beberap hari kemarin, yang berkaitan dengan berita kelulusan siswa-siswi kita. Pengumuman kelulusan bagi siswa Sekolah Menengah Umum di seluruh pelosok tanah air Indonesia telah berlangsung pada 26 Mei 2012 yang lalu. Dan sudah menjadi tradisi tahunan, beberapa jam hari itu (hari pengumuman kelulusan) merupakan saat-saat yang sangat menegangkan bagi sebagian siswa. Tetapi, tak sedikit juga yang merasakan  bahwa hari tersebut adalah moment yang paling istimewa, kisah yang menggembirakan. Dua moment dalam satu kesempatan.
Pengalaman berbeda telah menguasai seluruh anak bangsa, putra-putri kita yang sedang menanati kabar keramat, menunggu datangnya dewa penolong, mendambakan satu kata yang digandrunngi (paling kurang) untuk lima menit, yaitu kata: LULUS. Selama 3 tahun duduk manis di bangku Sekolah Menengah Umum, berakhir hanya mengharapkan lima huruf, LULUS. Terlepas dari bagaimana proses belajar serta pembelajaran yang terjadi, yang selalu menemani para siswa selama mengenyam pendidikan formal tersebut. Tentu, kita perlu mengapresisasi kemauan anak-anak kita untuk sejenak ada di sekolah, sekali lagi terlepas dari kenyataan, apakah mereka benar-benar ada di sekolah (ada dalam proses belajar bersama para guru), atau hanya menyenangkan hati orang tua (asal bapak-mama senang). Tapi, bahwa saat istimewa itu, mereka bersama-sama ingin mendapatkan satu kepastian serta justifikasi terhadap keberadaan mereka di bangku SMU selama tiga tahun.  Pertanyaan sederhana: sudah cukupkah dengan kata lulus untuk sampai kepada estimasi bobot seorang peserta didik? Tentu tidak. Sejumlah persoalan masih harus dicermati bersama. Kenyataan bahwa masih banyak siswa siswi di beberapa Sekolah Menengah Atas yang tidak lulus dalam ujian nasional tahun ini, termasuk Kolese Pendidikan Guru Khas Papua Merauke, yang dalam tahun ini berprestasi kelululusan kurang dari 60 percent.  
Seorang pakar pendidikan; Maria Montessori dalam bukunya Education and Peace (Chicago, 1972), mendefenisikan pendidikan sebagai jalan untuk membangun dunia baru dan mampu membawa kedamaian. Rumusan sederhana ini mau merujuk pada cita-cita dasar pendidikan itu sendiri, yakni membangun nilai kemanusiaan dalam diri peserta didik. Dalam arti, ruang gerak pendidikan tidak pernah lepas dari cita-cita semua kegiatan belajar mengajar untuk menghantar anak didik agar lebih manusiawi ketika sedang menetap dalam dunia baru yang penuh damai. Atau dalam bahasa yang lain, pendidikan adalah satu proses tindakan, yang bermula dari potensi menuju aktualisasi. Dengan demikian, pendidikan juga merupakan satu proses menyingkap dunia hari ini dan membuka tirai masa depan bagi dan kepada peserta didik. Bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas. Bahwa prorses menuju akhir lebih penting daripada hasil akhir semata.   
Apakah KPG sudah mulai sadar akan misi utama dan spirit dari lembaga pendidikan mereka? Yang mengedepankan penghargaan terhadap peserta didik, bukan “meluluskan” dengan mendongkrak-mengkatrol nilainya sehingga di atas rata-rata kemampuan normal/ kenyataan harian anak tersebut? Atau spirit kejujuran dengan tidak memberikan jawaban soal ujian nasional kepada anak didik?  Adakah satu langkah maju yang ingin dicapai oleh KPG di sana? Tentu, kita semua boleh bertanya. Kita semua boleh mengungkapkan pandangan tentang realitas kelulusan KPG. Betapa tidak, dan cukup mencengangkan bahwa  kelulusan siswa-siswi KPG yang hanya mencapai  58 % (dari 212 siswa, 109 siswa yang lulus dan 103 siswa dinyatakan tidak lulus). Kepada sekolah yang mencapai 100 percent kelulusan, tentu kita memberikan ucapan selamat. Dan kepada KPG Khas Papua Merauke, pasti kita berharap dan percaya bahwa inilah hasil terbaik, yang harus dibanggakan. Bukan bangga karena siswanya lulus semua, tetapi bangga karena KPG mengedepankan nilai-nilai moral dan menjunjung tinggi kejujuran sebagai dasar pembentukan karakter manusia yang berbobot. Kolese Pendidikan Guru Khas Papua, sebagai lembaga pendidikan  berlabel ’guru’, yang secara khusus dipersiapkan menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, sudah sepantasnya dan sudah saatnya untuk berbeda dengan lembaga pendidikan lain. Secara pribadi (walau pun oleh banyak orang mungkin menganggap sebagai apresiasi yang tak berdasar);  saya bangga dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada lembaga pendidikan guru KPG Khas Papua Merauke, yang  sudah mulai  tampil  “berani  dan “berbeda”  dengan lembaga pendidikan lain di tanah Papua Selatan ini.
Tampil berani dan berbeda, bukanlah satu pilihan yang salah. Kenyataan berani dan berbeda juga bukanlah satu sikap melawan kebijakan pemerintah, yang selalu mau lulus semua, tanpa pernah tahu dan bahkan masa bodoh dengan kenyatan konkret di lapangan. Tetapi yang paling utama adalah kemauan untuk menghadirkan atau mengorbitkan pioneer-pioneer pendidikan masa depan yang lebih berkulialitas dalam berbagai segi kehidupan. Saya tidak bermaksud mengkerdilkan atau menyepelekan keberhasilan sekolah lain selain KPG Khas Papua. Tetapi fakta berbicara, bahwa orientasi pendidikan kita di Papua Selatan ini masih berkutat pada apa yang dinamakan final oriented, orientasi akhir yang berusaha menyenangkan banyak orang (terutama pemerintah), tanpa melihat dan memikirkan satu proses pembelajaran yang bermutu. Saya cukup tidak yakin, dengan mental belajar sebagian anak didik kita sekarang, bisa menjadikan satu sekolah lulus seratus percent? Apalagi, kalau proses belajar mengajar dalam sekolah-sekolah kurang berjalan secara baik dan bahkan tidak berjalan sama sekali. Itu logika sangat sederhana yang bisa dibangun. Dalam kaca mata awam penulis, di sinilah letak ketidakseriusan kita dalam memperjuangkan kualitas pendidikan yang lebih baik di tanah ini. Kita cenderung takut kepada pemerintah daripada cemas  kepada masa depan anak kita sendiri, yang akan memimpin tanah ini pada tahun-tahun yang akan datang. Pemerintah boleh memasang target tinggi, “mengharuskan” sesuatu terjadi walau kenyataannya tidak bisa. Tapi, peran kita sebagai pengajar, pendidik dan tenaga kependidikan harus tetap memperjuangkan serta menanamkan dasar-dasar pendidikan yang bermartabat, yang bisa menghasilkan manusia-manusia mandiri, cerdas dan berwawasan.
Tampil berani dan berbedanya KPG Khas Papua Merauke, kiranya membuka mata, pikiran dan hati kita, terutama untuk semua pendidik dan peserta didik di tanah ini. Bahwa ada satu kenyataan yang paling dekat dengan dunia pendidikan kita saat ini.  Bahwa tidak terlalu penting kita meluluskan semua siswa/ anak didik kita, kalau pada dasarnya mereka belum bisa lulus. Kalau kita ingin wajah pendidikan di Papua Selatan ini menjadi lebih baik, tidak berdosalah kita, untuk sebaik mungkin mendidik mereka, bukan pada orientasi akhir dengan memakai segala cara untuk lulus, tetapi dengan menanamkan nilai-nilai luhur dari pendididikan itu sendiri. Jangan paksa meluluskan siswa, kalau de facto tidak bisa lulus saat ini. Kalau mental ini yang menjadi primadona dan selalu kita kembangkan, maka saya yakin, generasi kita ke depan adalah generasi pengecut bermental easy going, yang tidak memiliki daya juang, daya membangun diri. Celakalah tanah ini, mencederai asas-asas luhur pencetus pendidikan. Bukankah lebih baik kalau kita mulai mengubah cara kerja di dunia pendidikan kita, kalau perubahan itu membawa kecerdasan intelektual, moral dan spiritual? Kita belum terlambat, ketika memiliki kemauan dan semangat untuk bersama-sama menghadirkan mutu pendidikan dalam berbagai aspek. Kualitas kitalah lebih penting, ketimbang kuantitas, yang hanya mensengsarakan generasi kita sendiri.

Catatan Akhir: Apa Yang Harus Dibenah?

            Peran strategis dunia pendidikan kita saat ini, memanag sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Dalam tataran yang lebih kecil, khususnya di Papua Selatan ini, kita semua perlu berbenah. Menurut hemat saya, terkait dengan kenyataan dunia pendidkan kita saat ini, maka penting untuk kita (pendidik dan peserta didik), juga pemerintah untuk bersama-sama mengubah paradigma/ cara pandang kita tentang prestasi anak didik. Berprestasi, bukan semata-mata karena lulus dalam ujian, tetapi berprestasi dimengerti lebih luas dan lebih penting, ketika peserta didik dilatih untuk semakin menyadari dan mengenal serta sanggup menghayati potensi yang ada dalam dirinya sendiri. Atau dalam dimensi yang lain, proses pendidikan hendaknya membantu sedapat mungkin peserta didik untuk menempatkan segala kesulitan dalam paket kebijaksanaan anak didik.
            Sebagai pendidik, harus menyadari diri akan tanggung jawab. Bukan saja tanggung jawab untuk membuat anak didik pintar, tetapi sedini mungkin untuk membentuk karakter yang bermoral, yang menghargai kerja keras, mencintai dirinya sendiri dan yang memilki sikap membangun, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Tak cukup dengan menggembirakan mereka saat ini, dengan paksa meluluskan, kalau toh mental mereka belum siap untuk melompat lebih tinggi dalam dunia pendidikan berikutnya. Tidak terlalu penting hanya melihat hasilnya sebagai indicator prestasi. Lebih penting adalah bagaimana seseorang ada dalam proses yang lama untuk mencapai titik estimasi keberhasilan. Final oriented hendaknya bukan menjadi satu-satu yang diperjuangkan, tetapi mengembangkan proses belajar mengajar yang berbobot, yang mengarah pada kecerdasan intelektual, emosional, spiritual akan lebih bernilai bagi anak-anak kita.
Saya yakin dan percaya, Kolese PendidIkan Guru Khas Papua Merauke, sudah memulainya tahun ini, dengan sedikit tampil berani dan berbeda. Beranikah kita (sekolah-sekolah lain) mengikuti langkah maju KPG yang saya istilahkan sebagai “melompat lebih tinggi”? Nah…, kita tunggu perubahannya!!


*Penulis adalah pengajar tetap di Sekolah Tinggi Katolik St. Yakobus Merauke

Tidak ada komentar:

Posting Komentar