Kamis, 19 April 2012

Hasil Penelitian Quam Singulari


Betapa Istimewanya
(Jantje Rasuh)

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah anak berusia 7 tahun sudah bisa menerima komuni pertama menurut dokumen Quam Singulari. Penelitian dilakukan di sekolah dasar Xaverius II Merauke dan SD Mikael Merauke. Subjek peneitian berjumlah 44 orang anak kelas 1 SD Xaverius II Merauke dan 52 anak kelas 1 SD Mikael Merauke. Hasil penelitian menunjukkan t = 4,785 pada dk = 0,005 untuk SD Xaverius II, dan t = 2,89 pada dk 0,005. Itu berarti subjek penelitian sudah mencapai usia akal budi menurut Quam Singulari. Setelah itu penelitian ini dilanjutkan dengan uji perbedaan antara kemampuan subjek kelas 1 SD Xaverius II dengan kelas 1 SD Mikael dalam menjawab Quesioner yang diberikan. Subjek dari SD Xaverius II mendapatkan pengajaran materi persiapan komuni pertama dan subjek dari SD Mikael tidak diberikan materi tersebut. Hasil uji t menunjukkan t = 2,189 pada dk = 0,005. Itu berarti terdapat perbedaan antara subjek yang menerima materi persiapan dan tidak. Perbedaannya terletak pada kemampuan menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan moralitas. Untuk mendapatkan penelitian yang holistik penelitan ini dilanjutkan dengan survey pendapat orang tua dan para imam tentang batas usia komuni pertama. Pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan angket pada orang tua yang tinggal di Keuskupan Agung Merauke berjumlah 45 responden, sedangkan para imam berjumlah 9 orang diwawancarai melalui telepon. Para imam berdomisili di beberapa keuskupan di Indonesia dan memiliki latar belakang pendidikan dari seminari tinggi yang berbeda. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa para orang tua dan imam tidak menyetujui anak berusia 7 tahun menerima komuni pertama karena belum mampu menangkap makna sakramen. Semoga penelitian ini menjadi bahan acuan dalam menentukan batas usia atau kriteria seseorang sudah bisa menerima komuni pertama.
Kata kunci : Anak, Usia, akal budi, orang tua, imam.

PENDAHULUAN
Sudah lumrah anak menerima komuni pertama pada usia 9 tahun atau kelas IV SD. Anak juga dinilai berperilaku baik oleh pembina atau guru, kemudian dapat menerima komuni pertama. Sedangkan menurut dokumen Quam Singulari (Betapa Istimewanya) sebaiknya seorang anak sudah bisa menerima komuni pertama pada usia 7 tahun. Anak  usia 7 tahun sudah dapat membedakan hosti biasa dan hosti kudus, anggur biasa dan anggur kudus, serta perbuatan jahat dan perbuatan baik. Dengan menerima sakramen anak juga diteguhkan atau dibimbing ke arah yang benar.
Dari perbedaan antara ajaran geraja katolik (Quam Singulari) tentang komuni pertama yang dikeluarkan oleh Paus Pius X dengan praktek pastoral gereja katolik di lapangan penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara statistik apakah anak berusia 6 sampai 7 tahun sudah mencapai usia akal budi sebagaimana dimaksud dalam dokumen Quam Singulari, yang menjadi syarat seorang anak menerima sakramen pengakuan dosa dan komuni pertama.
Aspek yang diukur pada penelitian ini adalah kemampuan anak-anak berumur 6 sampai 7 tahun dalam membedakan hosti biasa dengan roti kudus, anggur biasa dan anggur kudus, perbuatan baik dan jahat, serta apakah anak sudah mau menerima komuni pertama dan memiliki rasa hormat terhadap roti kudus. Kemampuan anak-anak tersebut diukur dengan menggunakan angket kemudian diuji secara statistik. Setelah itu penelitian ini dilanjutkan dengan pengujian perbedaan antara anak-anak berusia 6 tahun dan 7 tahun yang mendapatkan materi persiapan komuni pertama dengan yang tidak mendapatkan. Untuk mendapatkan penelitian yang menyeluruh penelitian ini juga dilengkapi dengan survei pendapat orang tua dan para imam tentang syarat menerima komuni pertama.

Landasan Teori
1.  Karakteristik Anak Berumur 7 Tahun
Para ahli psikologi menggambarkan karakteristik anak 7 tahun dari berbagai sudut pandang sesuai dengan kajian bidang penelitian atau mazhab yang mereka anut. Dalam pembahasan ini karakteristik anak tujuh tahun dapat ditinjau dari faktor perkembangan, kognitif, sosial emosional, moral dan kepercayaan.

a.    Kognitif
Anak berusia tujuh tahun sudah mulai menggunakan logika oprasional konkret (concrete operation). Pada tahap ini anak sudah dapat berpikir dua arah (reversibel) dan sistem kekekalan (konservasi) (Piaget, dalam Suparno, 2001). Reversibel artinya anak dapat mengerti suatu pemikiran logika bolak balik, misalnya dalam penjumlahan 2 + 3 = 5 atau 5 – 3 = 2. Sistem konservasi adalah pemikiran terhadap suatu objek yang  bersifat konstan ketika dipindahkan pada tempat atau wadah yang lain. Misalnya Air dalam gelas dipindahkan pada dua wadah yang berlainan bentuk berupa wadah yang panjang (A) dan pendek (B). Wadah yang pendek lebih lebar akan tetapi memiliki daya tampung volume yang sama dengan wadah yang tinggi. Anak usia 7 tahun mengetahui bahwa isi pada wadah A dan B tetap sama meskipun berbeda bentuk. Selain itu anak usia 7 tahun mengerti bahwa suatu benda meskipun diubah bentuknya, substansi fisiknya tidak berubah. Misalnya tanah liat dirubah bentuknya menjadi bola namun tanah liat tidak berubah secara substansi.
b.    Sosial-emosional
Dari sudut pandang perkembangan sosial emosional anak yang berumur tujuh tahun mulai mengembangkan sikap rajin dan mempelajari reward dari ketekunan dan  kerajinan (Erikson, dalam Hall C. S. & Linzey G., Ed. Supratiknya,  A. 1993). Perhatian pada minat bermain berangsur-angsur digantikan dengan perhatian pada alat-alat kerja. Pada periode ini perkembangan seksualitas anak bersifat laten karena energi psikisnya diarahkan pada tugas belajar atau pendidikan formal.
Apabila pada tahap ini anak berhasil mengembangkan sikap rajin maka ia akan mendapatkan nilai kompetensi. Rasa kompetensi ini dicapai dengan menekuni pekerjaan dan penyelesaian tugas-tugas. Sebaliknya jika anak gagal mengembangkan sikap rajin maka ia akan menjadi inferior (Erikson, dalam  Hall C. S. & Linzey G., Ed. Supratiknya, A.1993).
c.    Moral
Anak berumur tujuh tahun memiliki sistem moral heteronom (piaget dalam Santrock, 2003). Keadilan dan peraturan adalah  hal mutlak yang tidak dapat diubah serta menjadi patokan atau acuan untuk bertindak. Orientasi moral ini jika dilihat dari sudut pandang perkembangan moral menurut Kholberg berada pada tahap orientasi pada hukuman dan kepatuhan (Kholberg, 1995). Seorang anak melakukan tindakan yang benar karena takut akan hukuman dan patuh pada otoritas.
d.   Kepercayaan
Anak berusia antara 3 sampai 7 tahun memiliki kepekaan terhadap gerak dan isyarat yang digunakan orang dewasa dalam mengungkapkan kepercayaannya (Fowler J. W., Ed. Supratiknya, 1995). Anak pada usia ini peka terhadap dunia misteri dan yang ilahi serta tanda-tanda nyata kekuasaan. Selain itu anak membentuk gambaran diri dan imajinasi kekuatan yang melindungi dan mengancam dirinya. Gambaran dan imajinasi itu akan berpengaruh kuat pada perkembangan kepercayaan selanjutnya.
2. Usia Akal Budi
Dalam ajaran Gereja Katolik syarat orang menerima komuni pertama sudah merima sakramen permandian dan tobat.  Sakramen ekaristi diberikan setelah menerima sakramen tobat. Yang menjadi syarat orang menerima komuni pertama setelah menerima sakramen permandian adalah usia akal budi. Menurut dokumen Quam Singulari usia akal budi adalah “saat seseorang dapat membedakan antara baik dan jahat, yaitu ketika seseorang mencapai tahap penggunaan akal budi tertentu, sama saja halnya untuk komuni kudus, dituntut suatu usia saat seorang anak dapat membedakan antara roti dari Ekaristi kudus dan roti biasa” (Dokumen Quam Singulari, Pen. Gloria B. M., 2003).
3.  Usia 7 Tahun Dan Quam Singulari
Menurut dokumen ajaran Gereja Katolik yang dikeluarkan oleh St. Paus Pius X bahwa anak bersusia 7 tahun sudah dapat menerima komuni pertama yang didahului oleh sakramen pengakuan dosa, (Dokumen Quam Singulari, Pen. Gloria B. M., 2003). Hal itu karena anak tujuh tahun sudah dapat mengenakan akal budinya yang juga menjadi syarat menerima sakramen tobat. Patokan usia akal budi ini berasal dari pendat  St. Thomas Aquinas. Ia mengatakan bahwa ‘saat anak-anak mulai menggunakan akal budinya sedemikian sehingga mereka dapat membayangkan,  memikirkan suatu penghormatan kepada sakramen (Ekaristi), maka sakramen ini dapat diberikan kepada mereka’ (Dokumen Quam Singulari, Pen. Gloria B. M., 2003).
Dalam perkembangan kognitif anak 7 tahun sudah dapat berpikir konkrit. Dengan kemampuan pada taraf berpikir konkrit, anak 7 tahun sudah dapat membedakan roti biasa dan roti kudus. Dengan kemampuan berpikir reversibel dan konservasi ia kemungkinan besar dapat membuat suatu perbandingan pada dua objek yang berbeda. Anak tujuh tahun sudah mampu melihat secara konservasi antara  roti biasa dan roti kudus. Dalam  pemikiran konservasi, secara subtansial bentuk dan warna dari roti biasa dan roti kudus dalam perayaan ekaristi tidak berbeda. Tetapi anak 7 tahun mampu menunjukkan perbedaan sikap antara roti biasa dan roti sudah diberkati. Hal ini didukung oleh kemampuannya yang peka terhadap tanda dan isyarat yang dilakukan orang dewasa dalam mengungkapkan iman pada suatu perayaan keagamaan (Fowler J. W., Ed. Supratiknya, A. 1995).
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah anak berumur 7 tahun sudah mencapai usia akal budi menurut dokumen Quam Singulari. Selain itu juga terdapat perbedaan antara anak yang menerima materi usia akal budi dengan tidak mendapatkan materi usia akal budi.
Metode Penelitian
1.    Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kemudian dilanjutkan dengan uji perbedaan hasil dari dua sampel penelitian. Penelitian deskriptif bertujuan memberikan gambaran atas hasil yang diperoleh sampel penelitian. Dan penelitian komparatif atau uji beda ialah memberikan penjelasan mengenai perbandingan hasil dua sampel atau lebih terhadap suatu pengukuran (Sugiyono, 2007).
2.    Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah anak-anak kelas satu SD Xaverius II Merauke berjumlah 44 orang dan SD St. Mikael Merauke berjumlah 52 orang. Mereka beusia 6 sampai 7 tahun. Selain itu juga orang tua yang beragama katolik dan para imam.
3.    Aspek-aspek Yang Diukur
a.     Pada Anak Kelas 1 SD
Aspek yang diukur dalam penelitian ini adalah usia akal budi menurut dokumen Quam Singulari (QS), keinginan anak untuk menerima komuni pertama serta rasa hormat terhadap roti kudus. Dalam dokumen QS usia akal budi didefinisikan“saat seseorang dapat membedakan antara baik dan jahat, yaitu ketika seseorang mencapai tahap penggunaan akal budi tertentu, sama saja halnya untuk komuni kudus, dituntut suatu usia saat seorang anak dapat membedakan antara roti dari Ekaristi kudus dan roti biasa” (Dokumen Singulari, Pen. Gloria B. M., 2003, dalam Boli Ujan 2010, Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib 2004,).
Definisi usia akal budi dibagi dalam 3 aspek. Aspek pertama, kemampuan anak membedakan antara roti biasa dan roti kudus. Indikatornya anak mampu membedakan mana roti biasa yang belum diberkati dengan roti kudus yang sudah diberkati imam dalam misa. Cara membedakannya anak diberikan pertanyaan lisan atau tulisan bisa dalam bentuk gambar. Kemudian anak memilih jawaban yang ia anggap benar. Aspek kedua anak diminta membedakan anggur biasa dan anggur kudus. Anggur biasa berarti belum diberkati dan didoakan dalam misa sedangkan anggur kudus sudah didoakan dalam misa. Cara menjawab pertanyaan seperti pada membedakan roti biasa dan roti kudus. Aspek ketiga anak diminta memilih pertanyaan yang ia anggap benar tentang perbuatan baik dan jahat.
Keempat adalah aspek keinginan. Indikatornya anak memiliki kemauan menerima roti kudus tanpa ada paksaan dari orang lain. Pengukurannya anak diberikan pertanyaan lisan atau tulisan tentang keinginannya menerima komuni pertama. Kelima aspek rasa hormat, indikatornya anak mampu memilih jawaban dalam angket yang menunjukkan anak memiliki rasa hormat pada roti kudus.  Aspek-aspek yang diukur dalam penelitian ini dijabarkan pada 15 item pertanyaan.
b.    Pada Orang Tua dan Imam
Para orang tua diminta mengisi angket tentang pendapat mereka mengenai anak yang menerima komuni pertama dan pengakuan dosa pada usia 6 atau 7 tahun yang duduk di kelas 1 SD.  Para pastor diwawancarai lewat telepon dengan metode wawancara semi terstruktur.
4.    Pengambilan Data
Alat pengumpul data pada penelitian ini menggunakan angket usia akal budi menurut Quam Singulari yang dibuat peneliti. Kemudian angket dibagikan pada anak-anak  kelas 1 SD Xaverius II Merauke dan SD Mikael Merauke. Anak-anak diminta untuk menjawab pertanyaan pada angket. Caranya responden memilih jawaban yang mereka anggap benar. Bagi anak yang tidak tahu membaca, angket dibacakan oleh guru atau peneliti, kemudiaan anak diminta memilih jawaban yang mereka anggap benar. Untuk anak yang tidak tahu membaca dibagi secara berkelompok dengan jumlah 5-6 anak dalam menjawab pertanyan.
Pada anak-anak kelas 1 SD Xaverius II Merauke sebelum diminta mengisi angket, mereka diajari materi usia akal budi menurut dokumen Quam Singulai. Pada anak-anak sekolah dasar kelas 1 SD Mikael tidak diajarkan materi yang akan diukur. Materinya adalah perbedaan antara anggur biasa dan anggur kudus, hosti biasa dan roti kudus serta perbedaan perbuatan baik dan jahat. Setelah satu minggu kemudiaan anak-anak diminta menjawab pertanyaan angket usia akal budi menurut Quam Singulari. Setiap pertanyaan memiliki 2 pilihan jawaban dan hanya ada satu jawaban yang benar.
Pada anak-anak sekolah dasar kelas 1 SD Mikael tidak diajarkan materi yang akan diukur. Mereka mengisi angket Quam Singulari yang dibuat peneliti tanpa ada pemberitahun pada hari sebelumnya. Angket yang diberikan pada anak-anak sekolah SD Xaverius II sama dengan di SD St. Mikael Merauke.
Untuk pengambilan data pada orang tua dan para imam dilakukan lewat survei dan wawancara melalui telepon. Para orang tua diminta mengisi atau menjawab pertanyaan pada angket yang telah disusun. Para imam diwawancarai lewat telepon.

Hasil Penelitian
Hasil uji reliabilitas angket dengan internal consistency diperoleh nilai KR 20 sebesar 0,413. Analisi data menggunakan bantuan program komputer Microsoft Office Exel 2007.  Di bawah ini hasil penelitian usia akal budi menurut Quam Singulari yang dijelaskan pada bagian aspek yang diukur di halaman sebelumnya.
1.    Hasil Penelitian Pada SD Xaverius II  Merauke.
Tabel 1: Statistik Deskriptif Hasil Penelitian        
                                                       Skor                        
Mean                                            10,54
Standar Deviasi (SD)                    2,14
Range                                              9
Minimum                                         5
Maximum                                       14 
 n                                                    44
Kategorisasi norma dalam penelitian ini
 X  < X – 1,5 σ  Sangat Rendah
 _                           _
 X – 1,5 σ< X < X – 0,5 σ   Rendah
  _                          _
 X – 0,5 σ< X < X + 0,5 σ   Sedang
 _                           _
 X + 0,5 σ< X < X + 1,5 σ   Tinggi
 _
 X + 1,5 σ> X                      Sangat Tinggi

Tabel 2 : Frekuensi Subjek dan Persentase Skor Usia Akal Budi pada siswa kelas 1 SD Xaverius II Merauke menggunakan norma Empirik.
Kategori                               Subjek/Frekuensi                      Presentase
Sangat rendah                                      1                                       2,27%  
Rendah                                                8                                      18,18%                           
Sedang                                                28                                     63,63%                     
Tinggi                                                  7                                      15,90%                      
Sangat Tinggi

Grafik 1: persentase hasil penelitian SD Xaverius II Merauke.
2.        Hasil Penelitian Pada SD St. Mikael  Merauke.
Tabel 3: Statistik Deskriptif Hasil Penelitian
                                                            Skor
Mean                                                 9,88
Standar Deviasi (SD)                        2,19
Range                                                 10
Minimum                                             4
Maximum                                           14 
n                                                          52


Tabel 4: Frekuensi Subjek dan Persentase Skor Usia Akal Budi pada siswa kelas 1 SD St. Mikael Merauke menggunakan norma Empirik.
Kategori                               Subjek/Frekuensi                       Presentase
Sangat rendah                                   1                                       1,92%  
Rendah                                              5                                       9,61%                           
Sedang                                             39                                     75,00%                     
Tinggi                                                7                                      15,90%                      
Sangat Tinggi

Grafik 2 : persentase hasil penelitian SD St. Mikael  Merauke.

3.    Hasil Survei Pada Orang Tua
Di bawah ini adalah hasil survei pendapat orang tua mengenai anak yang berusia enam atau tujuh tahun apakah sudah bisa menerima komuni pertama atau belum. Dari 45 respoden semuanya menjawab tidak setuju anak yang berumur 7 tahun atau kelas 1 SD sudah bisa menerima komuni pertama. Berikut adalah jawaban para orang tua yang tinggal di Wilayah Keuskupan Agung Merauke.

Tabel 5 : alasan anak berumur tujuh tahun belum bisa menerima komuni pertama.
No
Alasan
Frekuensi
1
Belum memenuhi persyaratan umur yang sudah biasa menjadi patokan.
25
2
Belum bisa menghayati makna sakramen
14
3
Belum bisa menghafal doa-doa
7
4
Belum dewasa dalam Iman
5

Jumlah Total
51

Grafik 3 : alasan anak berumur tujuh tahun belum bisa menerima komuni pertama berdasarkan table 5.

4.    Hasil Wawancara Dengan Para Imam
Wawancara dilakukan dengan para imam lewat telepon. Imam yang diwawancarai terdiri dari 4 imam dari Merauke, dan luar Merauke yaitu: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Manado masing-masing satu orang imam. Dari hasil wawancara semi terstruktur semua responden mengatakan anak yang berusia 7 tahun atau kelas 1 SD belum bisa menerima komuni pertama. Alasanya anak yang berumur 7 tahun belum bisa menangkap makna dari sakramen ekaristi.
Analisis Data
Skor yang diperoleh oleh masing-masing sampel akan diuji dengan rumus pengujian hipotesis deskriptif. Jika subjek menjawab soal pada angket QS lebih besar atau sama dengan sembilan 9 (≥ 9) berarti subjek pada umumnya sudah berada pada usia akal budi. Nilai 9 berarti 60 %  nilai kebenaran dari nilai 15 item.
Hasil uji hipotesis deskriptif skor yang diperoleh SD kelas 1 Xaverius II menunjukkkan t = 4,785 pada dk = 0,005. Itu berarti anak-anak kelas 1 SD Xaverius II pada umum memiliki kemampuan menjawab pertanyaan pada angket QS di atas atau sama dengan 60 % kebenarannya. Begitu juga dengan anak-anak kelas 1 SD St. Mikael memiliki kemampuan di atas 60% dalam menjawab pertanyaan angket QS. Karena hasil uji hipotesis  pada hasil tes anak-anak kelas 1 SD St. Mikael Merauke menunjukkan t = 2,89 pada dk 0,005.
Hasil uji komparatif atau perbedaan antara hasil tes dari SD Xaverius II dan SD St. Mikael menunjukkan t = 2,189 pada dk = 0,005. Jadi terdapat perbedaan kemampuan menjawab angket QS antara anak-anak kelas 1 SD Xaverius II dan anak-anak SD St. Mikael Merauke. Dengan demikian materi QS yang diajarkan pada anak-anak SD kelas 1 Xaverius II memiliki pengaruh yang signifikan.
Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek sudah berada pada usia akal budi menurut dokumen Quam Singulari. Dengan demikian anak-anak kelas 1 SD atau berumur 7 tahun sudah bisa menerima komuni pertama. Mereka sudah bisa membedakan antara hosti atau roti yang belum diberkati dan yang sudah diberkati.
Anak juga pada usia 7 tahun secara psikologis sudah mulai menggunakan akal budinya. Ia bisa menganalisis sesuatu walaupun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat konkrit. Anak berumur 6 sampai 12 tahun mulai memiliki kemampuan mengklasifikasikan, mengelompokkan, menyusun dan menghubungkan (Piaget dalam Syamsu Yusuf, 2007). Sementara menurut Fowler (1995) anak-anak usia di bawah tujuh tahun sangat peka terhadap gerak isyarat, upacara dan kata-kata yang digunakan orang dewasa untuk mengungkapkan kepercayaan mereka.
Disamping itu persiapan materi komuni pertama sangat membantu anak dalam memahami makna sakramen. Dari hasil uji perbedaan antara siswa siswi kelas 1 SD Xaverius II Merauke dengan anak-anak kelas 1 SD St. Mikael Merauke menunjukkan ada perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan tersebut nampak pada hasil skor menjawab item-item yang mengukur moralitas. Anak-anak yang mendapatkan materi persiapan komuni pertama lebih banyak menjawab benar untuk item-item moralitas dari pada anak-anak yang tidak mendapatkan persiapan. Hasil penelitian pada orang tua menggambarkan bahwa pengetahuan para orang tua tentang syarat menerima sakramen pengakuan dosa dan komuni pertama ada perbedaan dengan ajaran gereja katolik Quam singulari.
Penelitian pada para imam menjelaskan bahwa anak yang sudah bisa menerima komuni pertama ketika sudah bisa menangkap makna dari sakramen ekaristi. Maka terjadi perbedaan antara praktek pastoral dan ajaran Quam Singulari karena terdapat perbedaan yang menjadi dasar anak menerima komuni pertama.
Kesimpulan Dan Saran
Dari hasil penelitiaan ini dapat disimpulkan bahwa anak-anak kelas 1 SD sudah bisa menerima komuni pertama yang diawali dengan sakramen pengakuan dosa. Pada umumnya subjek penelitian sudah berada pada usia akal budi yang menjadi syarat seseorang menerima komuni pertama menurut dokumen Quam Singulari. Dengan menerima sakramen orang juga merasa diteguhkan untuk menjalani hidup selanjutnya.
Untuk para orang tua perlu diadakan katekismus atau pengajaran tentang peran orang tua mendidik iman anak dan mempersiapkan anak menerima komuni pertama. Dengan komuni pertama, menyadarkan peran orang tua yang begitu penting dalam mendidik iman anak. Karena anak pada usia 7 tahun secara psikologis merupakan periode yang baik membangun iman anak.
Semoga penelitian ini dapat menjadi bahan acuan atau pertimbangan dalam melaksanakan pastoral dan katekese umat khususnya untuk menentukan batas usia komuni pertama dan persiapan menerima komuni pertama yang didahului oleh sakramen tobat.

Daftar Pustaka
Boli Ujan B. (2010).Berapa Usia Anak Untuk Komuni dan Pengakuan Dosa. Artikel.

Betapa Istimewanya (Quam Singulari). Bernadette Maria “dc” Gloria (Penyunting). Ende: Nusa Indah, 2003.

Fowler J.W. (1995). Teori Perkembangan Kepercayaan. Alih bahasa: Agus Cremers. Editor: Supratiknya A. Yogyakarta: Kanisius.

Hall C. S. & Lindzey G. (1993). Teori-teori psikodinamika (klinis).  Supratiknya A.Yokyakarta: Kanisius.

H. Syamsu Yusuf L N. (2007) Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT  Remaja Rosdakarya.

Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen (2004) Redemptionis Sacramentum. R.P. Cornelis Bohm, MSC. Jakarta: Komisi Liturgi KWI.

Kholberg L. (1995). Tahap-tahap perkembangan moral. Pen.Santo d.j. & Cremers A. Yogyakarta : Kanisius.

Sugiyono.(2007) Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Suparno P. (2001). Perkembangan kognitif jean piaget.Yogyakarta: Kanisius.

Santrock J.W. (2003) Adolescence, perkembangan remaja. Alih bahasa: Adelar S.B.; Saragih S. Ed: Kristiaji W.C; Sumiharti S. Jakarta: Erlangga.


2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. semoga hasil riset ini membawa limpah manfaat bagi gereja di indonesia! :) instaurare omnia in christo!+

      Hapus