Kamis, 10 Mei 2012


PENDIDIKAN: SEBUAH PROSES PEMBEBASAN
 Yan Yusuf Subu, S.Fil (Dosen STK St. Yakobus)
Negara telah mendedikasikan tanggal 2 Mei sebagai hari pendidikan nasional atau dikenal dengan HARDIKNAS. Dalam menyongsong HARDIKNAS ini, setiap lembaga atau instansi yang bergelut dalam bidang pendidikan merencanakan berbagai kegiatan sebagai bentuk peningkatan kualitas pendidikan. Namun penetapan tanggal 2 Mei sebagai HARDIKNAS juga menjadi ajang untuk menuai berbagai kritik terhadap penyelenggaraan pendidikan. Lembaga dan elemen-elemen sosial yang menjadi pemerhati pendidikan sering melontarkan kritik sebagai salah satu bentuk tanggungjawab dan andil dalam mencerdaskan manusia Indonesia.
Realitas pendidikan di Indonesia menjadi masalah besar. Idealisme pendidikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ada kehancuran moral yang dibangun oleh anak-anak didik. Bahkan tindakan generasi anak bangsa kita semakin meresahkan masyarakat karena sering melakukan tawuran dan bahkan melakukan tindakan-tindakan kriminal. Misalnya polisi menangkap tiga orang pelajar karena membacok seorang siswa Madrasah Aliyah Negeri III di Cempaka Putih, Jakarta Pusat pada kamis, 19 April 2012. Ketiga orang pelajar ini merupakan anggota komunitas geng motor “The Wools” (bdk. Papua Selatan Pos, 25 April 2012 hal. 2 kolom 26-28). Inilah realitas pendidikan anak bangsa yang menampilkan wajah buram dengan tindakan kekerasan. Ketika dunia pendidikan diperhadapkan dengan persoalan seperti ini maka kita perlu menelisik hakekat pendidikaan itu sendiri. Apakah pendidikan harus dimulai dalam keluarga (pendidikan informal)? Apakah pendidikan sudah memerdekakan anak-anak didiknya? Siapa yang bertanggungjawab terhadap pendidikan? Apakah pendidikan itu harus berlangsung seumur hidup?
Pertanyaan-pertanyaan di atas lebih berkaitan dengan arti pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan sesungguhnya adalah pemanusiaan manusia. Ini berarti pendidikan merupakan sebuah proses untuk memanusiakan manusia. Jika demikian maka pendidikan itu merupakan proses menginternalisasi nilai dan norma-norma yang berkaitan dengan kemanusiaan. Nilai dan norma-norma kemanusiaan hanya dapat disosialisasikan pertama dan utama adalah keluarga. Peran keluarga menjadi sangat penting karena keluarga menjadikan anak harus bersikap dan berperilaku normal sebagai manusia yang berakal budi. Di sini berarti anak  menjadi manusia dewasa, manusia yang memiliki rasa kemanusiaan, manusia yang seutuhnya. Dengan demikian keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama. Maka pertanyaan, apakah pendidikan harus dimulai dalam keluarga (pendidikan informal) dapat terjawab.   
Pendidikan merupakan proses humanisasi maka pendidikan harus dirancangbangun demi pembentukan karakter kepribadian manusia sehingga sungguh-sungguh manusiawi. Karena itu, kita perlu menggagas pendidikan sebagai sebuah pembebasan. Di sini saya mengangkat pemikiran seorang filsuf dan ahli pendidikan yang berkebangsaan Brasil yaitu Paulo Freire. Menurutnya pendidikan yang membebaskan sesungguhnya merupakan penyadaran tentang kemanusiaan yang berasal dari dirinya sendiri. Kesadaran tentang kemanusiaannya (potensi diri, daya kreativitas, dan inisiatif) harus memampukan orang untuk mengidentifikasi dan mencermati realitas sosial. Pendidikan menjadi momen untuk membangun kesadaran kritis terhadap berbagai problem sosial yang ada di dalam masyarakat. Kesadaran kritis merupakan kesadaran penuh dalam diri di mana manusia dapat memilah sesuatu, membedakan sesuatu, dan memvisualisasi apa yang tidak dipahami sebelumnya (bdk. Seri Buku VOX Ledalero, seri 51/03-04/2006, hal 44). Kesadaran kritis berarti merenungkan tentang dirinya dan realitas dunia yang dihadapinya. Pada tahap ini, pendidikan merupakan sebuah proses untuk menghantar orang dalam memanusiawikan dirinya. Maka pendidikan bukanlah sebuah penyaluran pengetahuan dan informasi dengan metode dan teknik  pengajaran yang ideal. Pendidikan bukan hanya sekedar menggunakan proyektor dan kecanggihan teknologi melainkan pendidikan merupakan sebuah proses pembentukan secara fundamental sikap kritis terhadap diri, dunia, dan masyarakat.
Pendidikan adalah proses maka seharusnya pendidikan itu berlangsung terus-menerus. Pendidikan sebagai proses berarti pendidikan merupakan suatu realitas yang sedang berlangsung dan terus berlanjut sampai pada tahap di mana terjadi transformasi dan perubahan. Pendidikan sebagai proses berarti pendidikan terus berlangsung dalam diri manusia dan tidak akan pernah selesai. Model pendidikan seperti ini akan mudah dipahami. Ketika manusia sudah memahami tentang sesuatu, memilah sesuatu maka ia memasuki tahap refleksi. Tahap refleksi berada pada tingkat menemukan nilai bagi dirinya, bagi realitas dunia yang dihadapi. Ketika dasar nilai itu terbentuk dalam dirinya maka tindakan yang benar akan tercipta. Maka pendidikan yang membebaskan seseorang dari nilai-nilai yang berseberangan dengan kemanusiaan dapat tercipta.   
Berdasarkan gagasan tentang pendidikan di atas, maka ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan ketika proses pendidikan bagi masyarakat Papua belum sampai pada taraf transformasi karakter kepribadian manusia (humanisasi). Pertama: pendidikan harus dimulai di dalam keluarga. Keluarga menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak-anak karena hanya di dalam keluarga terjadi proses transformasi nilai dan norma dalam hidup bermasyarakat di mana mereka tinggal. Sebagian masyarakat Papua masih memilih kebiasaan hidup berpindah-pindah. Gaya hidup seperti ini akan berakibat pada pembentukan sikap dan watak anak. Kapan orangtua memiliki waktu untuk mendidik anak-anak tentang nilai dan norma yang harus dihayati sebagai pegangan hidup? Ketika orangtua hidup berpindah-pindah maka anak-anak tidak memiliki dasar nilai dan norma hidup yang kokoh dalam dirinya. Anak-anak akan sulit menemukan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan juga teman sebaya. Anak-anak membutuhkan tempat tinggal yang tetap sehingga mereka sungguh-sungguh kerasan dan merasa bahagia dengan lingkungan sekitarnya. Jika hal ini terjadi maka proses transformasi dan internalisasi nilai dan norma dapat terjadi dalam diri anak-anak. Sangat disayangkan, jika anak-anak dibiarkan setiap hari bahkan malam hari mengais rezeki di pinggiran toko ataupun di rawa-rawa tanpa ada fungsi kontrol orangtua. Realitas seperti ini akan melemahkan arti pendidikan yang sesungguhnya. Anak-anak tidak diberikan kesempatan untuk mencerna nilai-nilai dalam lingkungan pergaulan, kebebasan untuk hidup sebagai seorang anak dimatikan melainkan beralih peran menjadi pencari nafkah. Karena itu saya yakin semua sependapat bahwa keluarga merupakan lingkungan pokok dalam pendidikan anak-anak dan pendidikan harus dimulai, dilangsungkan, dan diselesaikan dalam keluarga (bdk. Josephus Ignatius G. M. Drost. Sekolah: Mengajar atau Mendidik, 1998. Hal. 27). Kedua, ketika keluarga belum memfungsikan diri secara maksimal maka proses menginternalisasi nilai dan norma hidup sebagai manusia belum tercapai sehingga pembentukan sikap dan watak kepribadian belum tercipta. Pendidikan yang otentik selalu berpapasan dengan adanya patokan dan dasar nilai yang benar untuk bisa menemukan kesadaran yang benar sehingga melakukan tindakan yang benar juga. Ketika kesadaran nilai seseorang keliru maka akan menghasilkan strategi yang keliru dan juga tindakan yang keliru. Karena itu tidak heran jika hampir setiap hari, surat kabar harian selalu memberitakan peristiwa pencurian, pembunuhan, pemerkosaan di Merauke dan bahkan setiap hari selalu ada pemabuk yang berkeliaran di jalan. Di sini orangtua perlu menanamkan nilai dan norma hidup yang obyektif serta universal dalam diri anak. Nilai dan kebenaran obyektif adalah nilai yang mengangkat manusia menuju taraf yang lebih manusiawi dan beradab. Nilai-nilai tersebut tidak bergantung pada rasa senang atau tidak senang melainkan secara obyektif harus dikejar karena berkaitan dengan martabat manusia. Misalnya dilarang membunuh adalah berlaku secara obyektif dan harus ditaati, apapun suasana batin yang berlangsung. Ketiga, sistem pendidikan yang sedang dibangun oleh pemerintah tidak mampu menciptakan manusia Papua menjadi manusia yang berkualitas. Pendidikan hanya sebagai sebuah proyek untuk menggolkan kepentingan kelompok-kelompok tertentu sementara itu anak-anak didik menjadi korban dari sistem yang ada. Pendidikan hanya akan menjadi ajang untuk saling menjajah. Otonomi khusus daerah Papua dengan kucuran dana yang besar hanya membuka peluang untuk menjarah. Program-program yang diadakan pemerintah hanya sebagai sarana untuk menghabiskan dana dan belum mengena pada sasarannya. Misalnya program paket untuk siswa-siswi yang berusia lebih dari 18 tahun (bdk. Papua Selatan Pos, 25 April 2012). Apakah siswa-siswi yang mengikuti program ini sudah dibebaskan dari buta huruf? Apakah setelah menyelesaikan program ini siswa-siswi dapat mengikuti perkuliahan di perguruan tinggi? Apakah mereka akan mampu memenuhi tuntutan perguruan tinggi yang nota bene harus menerbitkan sebuah karya ilmiah dalam jurnal ilmiah (berdasarkan peraturan Kemendikbud sekarang)? Atau misalnya salah satu program yang diusung oleh kantor perpustakaan dan arsip kabupaten Merauke adalah perpustakaan masuk kampung (bdk. Papua Selatan Pos, 25 April 2012). Pertanyaan muncul, apakah masyarakat kampung juga sudah dibebaskan dari buta huruf? Apakah masyarakat kampung sudah memiliki minat baca yang cukup tinggi? Sementara itu fasilitas sekolah yang tidak memadai sehingga anak-anak belum mengalami suasana belajar yang sesungguhnya. Hemat saya, program-program seperti di atas perlu ditinjau kembali sehingga sungguh menyentuh sasaran yang dituju.
Berdasarkan catatan di atas maka saya menawarkan beberapa solusi agar pendidikan di Papua dapat membangun jiwa kemanusiaan masyarakat. Pertama, pemerintah bersama elemen-elemen sosial masyarakat perlu mengupayakan penyadaran kepada keluarga dan masyarakat Papua bahwa pendidikan bukan hanya sekedar untuk naik kelas dan memperoleh ijazah tetapi pendidikan sesungguhnya adalah membebaskan manusia dari situasi terbelenggu. Pendidikan harus dipahami sebagai suatu proses untuk menarik mereka dari situasi yang tidak manusiawi menjadi berwajah manusiawi (pribadi yang integral berarti pribadi yang kreatif, jujur, dan memiliki daya juang tinggi). Pendidikan harus dipahami sebagai proses untuk menjadi manusia yang sungguh-sungguh mulia, yang keluar dari ketertindasan dan kebodohan (mengutip pemikiran Y.B. Mangunwijaya). Kedua, pemerintah dan Gereja lokal (Katolik) perlu bekerja sama untuk mempersiapkan tenaga-tenaga pendidik yang memiliki semangat pengabdian dan pengorbanan bagi daerah-daerah pedalaman Papua. Di sini berarti pemerintah dan Gereja lokal perlu bersikap selektif terhadap tenaga-tenaga pendidik yang akan bekerja. Para pendidik harus mampu menghantar anak-anak didik menjadi manusia utuh. Menjadi pendidik yang memiliki keutamaan sehingga mampu mengangkat anak-anak Papua menjadi lebih bermartabat. Tenaga pendidik yang mampu membentuk karakter anak-anak didik, sikap kritis dan semangat juang yang tinggi bagi siswa-siswi. Ketiga, pemerintah perlu mencanangkan program-program yang sungguh-sungguh menyentuh sasaran dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Papua. Program-program itu harus berkelanjutan dan tepat sasar sehingga mampu membawa perubahan dalam bidang pendidikan. Misalnya jika ingin mencanangkan program perpustakaan masuk kampung maka langkah awal yang harus dilakukan adalah membebaskan masyarakat kampung dari buta huruf. Apabila langkah yang diambil secara tepat maka saya yakin program untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat berupa perpustakaan masuk kampung akan mungkin sedikit berfaedah. Karena itu pemerintah dan setiap lembaga pemerintahan perlu mengkritisi setiap program yang ada sehingga program-program yang dibangun sungguh-sungguh tepat sasar dan mampu menjawabi situasi dan persoalan yang sedang melilit masyarakat Papua. Keempat, pemerintah juga perlu menyediakan fasilitas belajar yang membangun semangat belajar bagi siwa-siswi yang berada di daerah-daerah pedalaman Papua. Dengan fasilitas belajar yang memadai pasti akan memberikan kenyamanan belajar. Maka proses pendidikan yang mereka peroleh mampu membebaskan mereka dari situasi keterpurukan dan menciptakan generasi cerah bagi bangsa dan negara.        

2 komentar:

  1. Banyak orang tidak mau menghargai proses, tapi berharap hasil yang optimal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. banyak orang sudah terjebak dalam mental hidup seorang nomaden. jika orang hdup nomaden berarti ia tidak tahu bahwa segala sesuatu membutuhkan proses.ia hanya tahu menikmati hasilnya maka dia juga telah menghilangkan potensi diri, daya kreatifitas, inisiatif. kalau seperti ini berarti manusia belum sampai pada tahap bertingkahlaku secara normal karena ratio tdk berlaku bagi dirinya. yan

      Hapus