Jumat, 04 Mei 2012

Pernah diterbitkan di Papua Pos, 20 Mei 2011



MENEROPONG KELULUSAN
SEKOLAH MENENGAH UMUM 2011
Oleh: Richard Christian Sarang, S.Fil*(Dosen STK St. Yakobus Merauke)
         

Pengumuman kelulusan Sekolah Menengah Umum secara nasional, baru saja selesai dilaksanakan.Antusiasme para insan pendidikan mewarnai moment indah yang mereka sebut sebagi sebuah pencapain. Tapi tak disangkal pula, di samping eforia kesenangan dan kegembiraan, terlihat jelas wajah-wajah sedih, menangis, bahkan sampai  terjadi kesurupan karena perjuangan mereka selama tiga tahun di bangku pendidikan Sekolah Menengah Umum, hanya mampu dihadiahi oleh dua kata angker yang oleh setiap peserta ujian tidak pernah mengharapkannya, yakni TIDAK LULUS.
          Pengalaman ini tentu sudah menjadi bagian terpenting dan menyatu dengan dunia pendidikan kita.Bahwa dalam satu pertandingan akhir, ujian nasional, tentu memiliki indicator tentang keberhasilan. Ada aturan main yang harus dipatuhi bersama, memiliki standar yang oleh pengambil kebijakan adalah domain baku dan harus diamini oleh semua pihak. Karena kita ada dalam sebuah sistem, maka apa pun hasil kerja sistem, juga  menjadi hasil kerja kita semua. Walau pun, dalam cara pandang dan gerakan hati nurani yang berbeda, mungkin sangat tidak sesuai, atau dalam bahasa filsuf Paulo Freire; “ mencederai  makna terdalam dari pendidikan itu sendiri.”
          Pada kesempatan ini, saya ingin menuangkan sedikit pandangan saya, tentang fenomena mondial yang sedang menggerogoti dunia pendidikan kita. Ada apa dengan dunia pendidikan kita saat ini? Dan sebelumnya, saya mengajak semua pihak yang memiliki kerinduan agar dunia pendidikan kita semakin baik, disegani, dihormati, bukan saja karena siswanya selalu lulus seratus percent, tetapi yang terpenting adalah bagaimana mampu mengkaderkan penerus bangsa, calon pemikir masa depan dengan berkualitas the best. Karena bagi saya, peserta didik lulus semua, bukan mutlak karena kepintaran intelegensinya, tetapi bisa terjadi karena banyak kepentingan yang mengaburkan cita-cita pendidikan itu sendiri.  Karena itu, pada saat ini saya mengajak para pembaca, yang concern dengan dunia  pendidikan kita saat ini, boleh nimbrung di kolom OPINI Papua Pos, membagi pikiran, menuangkan ide, harapan, atau mungkin ide-ide cemerlang yang bertolak belakang dengan penulis, juga mungkin komentar kita tentang alam akademik pendidikan kita sekarang ini.   
Tahun ini, hampir semua siswa telah lulus UN. Bahkan ada begitu banyak sekolah yang siswanya lulus seratus percent. Secara jelas juga diberitakan, bawa tingkat kelulusan tertinggi diraih oleh Propinsi Bali dan peringkat kelulusan terendah atau urutan buncit dimenangkan oleh Propinsi Nusa Tenggara Timur.Secara nasional, kelulusan tahun ini mengalami peningkatan. Dari jumlah siswa SMU seluruh Indonesia yang mengikuti Ujian Nasional ( 1.461.941 orang ), tercatat 1.450.498 orang yang dinyatakan lulus atau sekitar  99,22 percent. Dibanding tahun lalu, hanya mencapai 89,93 percent (CEPOS, 14  Mei, hlm. 1).
          Pertanyaanya; apakah mereka lulus karena mereka benar-benar menginginkan kelulusan itu dengan kerja keras, komitmen, perjuangan?Atau dibalik kelulusan itu, mereka hanyalah pribadi-pribadi yang setengah aktif dan selebihnya adalah hasil permainan indah para guru dan pengawas UN? Nah…, sekali lagi, mari kita melihat ke dalam pribadi masing-masing, baik sebagai pendidik, pengawas, maupun sebagai siswa. Dipandang dari segi kuantitas kelulusan, kita boleh bangga.Kita beri apresiasi yang tinggi pada kenyataan ini.Tetapi, dari segi kualitas (hal yang paling fundamental dalam dunia pendidikan), saya cukup mensangsikan hasil ini. Cita-cita luhur bangsa  Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa (UUD 1945), yang dijabarkan secara jelas juga dalam UU RI no. 20 thn. 2003, pasal 1 ayat 1. Secara jelas dimaklumkan, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangas dan negara.
Cita-cita ini seakan mendapat justifikasi dengan membenarkan berbagai cara. Ada mark up, penggelembungan nilai, manipulasi hasil ujian, supaya siswanya lulus dengan nilai standar. Bukan rahasia lagi, ketika pemerintah pusat melimpahkan kewenangan kepada daerah untuk menentukan nilai kelulusan, dengan cara menggabungkan nilai ujian sekolah dan ujian nasional, maka terjadi begitu banyak kecurangan, penipuan, yang pada dasarnya memperkosa martabat pendidikan itu sendiri. Saya tidak bermaksud memvonis siapa yang salah, siapa yang benar, sekolah mana yang tidak jujur dan sekolah mana yang betul-betul siswanya lulus karena kerja keras, disiplin, komitmen yang tinggi. Untuk hal tersebut, cukup kita melihat ke dalam sekolah atau perguruan kita masing-masing.Tetapi, yang pasti pada kenyatanya, demi lulusnya seorang siswa, maka nilai ujian sekolah harus rela dikatrol sampai angka 8 atau 9. Maka ketika nilai mata pelajaran yang sama pada ujian nasional, hanya bisa mendapat angka 3 atau 4, sudah pasti siswa tersebut akan lulus. Ini sebuah ironisme.Satu sisi, kita mengharapkan kelulusan yang bermartabat, bergensi dengan harus mengedepankan kaidah dan aturan main pendidikan yang valid. Tetapi di sisi lain, kita membiarkan kebobrokan itu selalu diam aman di dalam lembaga pendidikan kita.
          Pendidikan yang  seyogyanya adalah wadah proses belajar mengajar siswa untuk menjadi manusia yang beritikad baik, menghormati kehidupan, menghargai kerja keras, menjadi manusia yang  bermutu, jujur,  kreatif, disiplin, berwawasan global, dll, justeru dicederai dan diperkosa oleh kepentingan sesaat yang merugikan kita sendiri. Dengan melihat kenyataan tadi, adanya berbagai kecurangan, penipuan secara melembaga, menggambarkan bahwa dunia pendidikan kita sekarang bukan lagi sejalan dengan cita-cita awal pendidikan, yaitu membentuk manusia ideal. Tetapi pendidikan yang serba instan, tidak disiplin, tidak memiliki tata aturan yang jelas, mental easy going (cari gampang), dan pada akhirnya berujung pada kalimat: ASAL LULUS. Resiko asal lulus tentu sangat mahal, tak sebanding dengan  praktek kecurangan dan penipuan yang menghantar para siswa untuk lulus. Output yang muncul hanyalah karbitan, yang dirangkai dari berbagai kemerosotan, kebobrokan, keengganan untuk berusaha serta kerapuhan elemen pendidikan itu sendiri.   Tidak ada cara lain, yang lebih bermartabat, selain bersama-sama menegakkan kembali cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam bidang ini, dengan mengedepankan nilai kejujujuran, yang mutlak dijalankan oleh semua orang.
Memang sedikit keras, tetapi saya ingin kita semua sadar akan hal ini. Bahwa negara kawasan Asia yang cukup berkembang dalam dunia pendidikannya, seperti Singapura, Malaysia, Jepang dan Korea, sangat menghargai proses pendidikan. Bagi mereka, proses lebih penting daripada hasil. Apalah arti nilai ujian akhir dapat angka 9, tetapi tidak melalui proses yang panjang ( kerja keras, disiplin, jujur, punya komitmen)? Bagaimana pula, profesionalisme sebagai guru dan pendidik kita hormati, kalau  dengan seenak hati kita menyangkal keberadaan tersebut? Dengan gampang kita men-sulap nilai 2 menjadi 8, nilai 3 menjadi 9, dengan hanya mengikuti perasaan kita, agar anak-anak didik lulus? Bagaimana eksistensi kita sebagai guru, yang walau pun sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi harus memberi jasa  untuk menjadikan manusia Indonesia yang bermutu, berbobot serta memiliki daya jual yang tinggi?  Wah…, celaka kita  sebagai guru. Artinya, kita  kurang menghargai profesi sebagai guru, pendidik dan pengajar. 
          Menjawab semua fenomena di atas, kiranya ada berapa hal yang perlu kita perjuangkan bersama, sebagai komitmen kita untuk maju satu langkah ke arah yang lebih baik dalam membenah dunia pendidikan kita.Pertama; guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan harus bertanggungjawab atas seluruh proses pendidikan. Kualitas pendidikan akan dipertaruhkan ketika guru sebagai pengajar dan pendidik mampu mengejawantahkan semua atribut keguruannya kepada anak didik. Karena peran yang sangat penting dan vital ini,  guru dituntut untuk memiliki profesionalisme yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Kedua; kesadaran yang penuh sebagai peserta didik, harus benar-benar tertanam baik dalam diri setiap siswa. Bahwa sebuah keberhasilan akan muncul dari satu proses panjang, yaitu kerja keras, memiliki komitmen, disiplin, seta kemauan yang tinggi. Tidak ada keberhasilan, tanpa perjuangan. Tidak pernah akan ditemukan angka 8 atau 9 dalam nilai ujian, kalau tidak belajar. Maka dipandang mutlak perlu, agar setiap peserta didik menaruh sepenuhnya kemampuan yang ada demi kebaikan diri, bangsa dan negara.Ketiga; cakupan yang integral antara pendidik, peserta didik, orang tua, masyarakat dan juga pemerintah. Ketika semua elemen ini, sadar akanpanggilannya masing-masing, serta merasa bahwa mereka berarti bagi yang lain, maka saya percaya, kita tidak akan terjebak lagi dalam kamuflase bebohongan, penipuan yang hanya menyensarakan kita sendiri.
Precentase kelulusan bukanlah hal yang paling penting dan utama, tetap yang harus dibenah pertama-tama adalah bagaiaman membangun karakter, cara pandang, dan etos kerja untuk mencapai hasil yang tebaik.  Baik sebagai pendidik, anak didik, orang tua, pemerintah dan juga yang memiliki kemauan untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga segi bobot kelulusan.Harus  bersama-sama ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan dasar yang kokoh, diwadahi oleh keuletan, tekad, kerja keras, disiplin, komitmen serta perjuangan bersama. Kalau kita mau menjadi bangsa yang tangguh dan berbobot, jangan pernah nuansa kemalasan dan mental easy going menyelimuti dunia pendidikan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar