MENEROPONG KELULUSAN
SEKOLAH MENENGAH UMUM 2011
Pengumuman kelulusan Sekolah Menengah
Umum secara nasional, baru saja selesai dilaksanakan.Antusiasme para insan
pendidikan mewarnai moment indah yang mereka sebut sebagi sebuah pencapain.
Tapi tak disangkal pula, di samping eforia kesenangan dan kegembiraan, terlihat
jelas wajah-wajah sedih, menangis, bahkan sampai terjadi kesurupan karena perjuangan mereka
selama tiga tahun di bangku pendidikan Sekolah Menengah Umum, hanya mampu
dihadiahi oleh dua kata angker yang oleh setiap peserta ujian tidak pernah
mengharapkannya, yakni TIDAK LULUS.
Pengalaman
ini tentu sudah menjadi bagian terpenting dan menyatu dengan dunia pendidikan
kita.Bahwa dalam satu pertandingan akhir, ujian nasional, tentu memiliki
indicator tentang keberhasilan. Ada aturan main yang harus dipatuhi bersama,
memiliki standar yang oleh pengambil kebijakan adalah domain baku dan harus
diamini oleh semua pihak. Karena kita ada dalam sebuah sistem, maka apa pun
hasil kerja sistem, juga menjadi hasil
kerja kita semua. Walau pun, dalam cara pandang dan gerakan hati nurani yang
berbeda, mungkin sangat tidak sesuai, atau dalam bahasa filsuf Paulo Freire; “
mencederai makna terdalam dari
pendidikan itu sendiri.”
Pada
kesempatan ini, saya ingin menuangkan sedikit pandangan saya, tentang fenomena
mondial yang sedang menggerogoti dunia pendidikan kita. Ada apa dengan dunia
pendidikan kita saat ini? Dan sebelumnya, saya mengajak semua pihak yang
memiliki kerinduan agar dunia pendidikan kita semakin baik, disegani,
dihormati, bukan saja karena siswanya selalu lulus seratus percent, tetapi yang
terpenting adalah bagaimana mampu mengkaderkan penerus bangsa, calon pemikir
masa depan dengan berkualitas the best. Karena bagi saya, peserta didik lulus
semua, bukan mutlak karena kepintaran intelegensinya, tetapi bisa terjadi
karena banyak kepentingan yang mengaburkan cita-cita pendidikan itu
sendiri. Karena itu, pada saat ini saya
mengajak para pembaca, yang concern dengan dunia pendidikan kita saat ini, boleh nimbrung di
kolom OPINI Papua Pos, membagi pikiran, menuangkan ide, harapan, atau mungkin
ide-ide cemerlang yang bertolak belakang dengan penulis, juga mungkin komentar
kita tentang alam akademik pendidikan kita sekarang ini.
Tahun ini, hampir semua siswa telah
lulus UN. Bahkan ada begitu banyak sekolah yang siswanya lulus seratus percent.
Secara jelas juga diberitakan, bawa tingkat kelulusan tertinggi diraih oleh
Propinsi Bali dan peringkat kelulusan terendah atau urutan buncit dimenangkan
oleh Propinsi Nusa Tenggara Timur.Secara nasional, kelulusan tahun ini
mengalami peningkatan. Dari jumlah siswa SMU seluruh Indonesia yang mengikuti
Ujian Nasional ( 1.461.941 orang ), tercatat 1.450.498 orang yang dinyatakan lulus
atau sekitar 99,22 percent. Dibanding
tahun lalu, hanya mencapai 89,93 percent (CEPOS, 14 Mei, hlm. 1).
Pertanyaanya;
apakah mereka lulus karena mereka benar-benar menginginkan kelulusan itu dengan
kerja keras, komitmen, perjuangan?Atau dibalik kelulusan itu, mereka hanyalah
pribadi-pribadi yang setengah aktif dan selebihnya adalah hasil permainan indah
para guru dan pengawas UN? Nah…, sekali lagi, mari kita melihat ke dalam
pribadi masing-masing, baik sebagai pendidik, pengawas, maupun sebagai siswa.
Dipandang dari segi kuantitas kelulusan, kita boleh bangga.Kita beri apresiasi
yang tinggi pada kenyataan ini.Tetapi, dari segi kualitas (hal yang paling
fundamental dalam dunia pendidikan), saya cukup mensangsikan hasil ini.
Cita-cita luhur bangsa Indonesia,
mencerdaskan kehidupan bangsa (UUD 1945), yang dijabarkan secara jelas juga
dalam UU RI no. 20 thn. 2003, pasal 1 ayat 1. Secara jelas dimaklumkan, bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan sarana belajar dan
proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangas dan negara.
Cita-cita ini seakan mendapat
justifikasi dengan membenarkan berbagai cara. Ada mark up, penggelembungan
nilai, manipulasi hasil ujian, supaya siswanya lulus dengan nilai standar.
Bukan rahasia lagi, ketika pemerintah pusat melimpahkan kewenangan kepada
daerah untuk menentukan nilai kelulusan, dengan cara menggabungkan nilai ujian
sekolah dan ujian nasional, maka terjadi begitu banyak kecurangan, penipuan,
yang pada dasarnya memperkosa martabat pendidikan itu sendiri. Saya tidak
bermaksud memvonis siapa yang salah, siapa yang benar, sekolah mana yang tidak
jujur dan sekolah mana yang betul-betul siswanya lulus karena kerja keras,
disiplin, komitmen yang tinggi. Untuk hal tersebut, cukup kita melihat ke dalam
sekolah atau perguruan kita masing-masing.Tetapi, yang pasti pada kenyatanya,
demi lulusnya seorang siswa, maka nilai ujian sekolah harus rela dikatrol
sampai angka 8 atau 9. Maka ketika nilai mata pelajaran yang sama pada ujian
nasional, hanya bisa mendapat angka 3 atau 4, sudah pasti siswa tersebut akan
lulus. Ini sebuah ironisme.Satu sisi, kita mengharapkan kelulusan yang
bermartabat, bergensi dengan harus mengedepankan kaidah dan aturan main
pendidikan yang valid. Tetapi di sisi lain, kita membiarkan kebobrokan itu
selalu diam aman di dalam lembaga pendidikan kita.
Pendidikan
yang seyogyanya adalah wadah proses
belajar mengajar siswa untuk menjadi manusia yang beritikad baik, menghormati
kehidupan, menghargai kerja keras, menjadi manusia yang bermutu, jujur, kreatif, disiplin, berwawasan global, dll,
justeru dicederai dan diperkosa oleh kepentingan sesaat yang merugikan kita
sendiri. Dengan melihat kenyataan tadi, adanya berbagai kecurangan, penipuan
secara melembaga, menggambarkan bahwa dunia pendidikan kita sekarang bukan lagi
sejalan dengan cita-cita awal pendidikan, yaitu membentuk manusia ideal. Tetapi
pendidikan yang serba instan, tidak disiplin, tidak memiliki tata aturan yang
jelas, mental easy going (cari gampang), dan pada akhirnya berujung pada
kalimat: ASAL LULUS. Resiko asal lulus tentu sangat mahal, tak sebanding
dengan praktek kecurangan dan penipuan
yang menghantar para siswa untuk lulus. Output yang muncul hanyalah karbitan,
yang dirangkai dari berbagai kemerosotan, kebobrokan, keengganan untuk berusaha
serta kerapuhan elemen pendidikan itu sendiri.
Tidak ada cara lain, yang lebih bermartabat, selain bersama-sama
menegakkan kembali cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam bidang ini, dengan
mengedepankan nilai kejujujuran, yang mutlak dijalankan oleh semua orang.
Memang sedikit keras, tetapi saya ingin
kita semua sadar akan hal ini. Bahwa negara kawasan Asia yang cukup berkembang
dalam dunia pendidikannya, seperti Singapura, Malaysia, Jepang dan Korea,
sangat menghargai proses pendidikan. Bagi mereka, proses lebih penting daripada
hasil. Apalah arti nilai ujian akhir dapat angka 9, tetapi tidak melalui proses
yang panjang ( kerja keras, disiplin, jujur, punya komitmen)? Bagaimana pula,
profesionalisme sebagai guru dan pendidik kita hormati, kalau dengan seenak hati kita menyangkal keberadaan
tersebut? Dengan gampang kita men-sulap nilai 2 menjadi 8, nilai 3 menjadi 9,
dengan hanya mengikuti perasaan kita, agar anak-anak didik lulus? Bagaimana
eksistensi kita sebagai guru, yang walau pun sebagai pahlawan tanpa tanda jasa,
tetapi harus memberi jasa untuk
menjadikan manusia Indonesia yang bermutu, berbobot serta memiliki daya jual
yang tinggi? Wah…, celaka kita sebagai guru. Artinya, kita kurang menghargai profesi sebagai guru,
pendidik dan pengajar.
Menjawab
semua fenomena di atas, kiranya ada berapa hal yang perlu kita perjuangkan
bersama, sebagai komitmen kita untuk maju satu langkah ke arah yang lebih baik
dalam membenah dunia pendidikan kita.Pertama; guru sebagai ujung tombak
pelaksanaan pendidikan harus bertanggungjawab atas seluruh proses pendidikan.
Kualitas pendidikan akan dipertaruhkan ketika guru sebagai pengajar dan
pendidik mampu mengejawantahkan semua atribut keguruannya kepada anak didik.
Karena peran yang sangat penting dan vital ini,
guru dituntut untuk memiliki profesionalisme yang tinggi dalam
melaksanakan tugasnya. Kedua; kesadaran yang penuh sebagai
peserta didik, harus benar-benar tertanam baik dalam diri setiap siswa. Bahwa
sebuah keberhasilan akan muncul dari satu proses panjang, yaitu kerja keras,
memiliki komitmen, disiplin, seta kemauan yang tinggi. Tidak ada keberhasilan,
tanpa perjuangan. Tidak pernah akan ditemukan angka 8 atau 9 dalam nilai ujian,
kalau tidak belajar. Maka dipandang mutlak perlu, agar setiap peserta didik
menaruh sepenuhnya kemampuan yang ada demi kebaikan diri, bangsa dan negara.Ketiga;
cakupan yang integral antara pendidik, peserta didik, orang tua, masyarakat dan
juga pemerintah. Ketika semua elemen ini, sadar akanpanggilannya masing-masing,
serta merasa bahwa mereka berarti bagi yang lain, maka saya percaya, kita tidak
akan terjebak lagi dalam kamuflase bebohongan, penipuan yang hanya
menyensarakan kita sendiri.
Precentase kelulusan bukanlah hal yang
paling penting dan utama, tetap yang harus dibenah pertama-tama adalah
bagaiaman membangun karakter, cara pandang, dan etos kerja untuk mencapai hasil
yang tebaik. Baik sebagai pendidik, anak
didik, orang tua, pemerintah dan juga yang memiliki kemauan untuk meningkatkan
mutu pendidikan Indonesia, bukan saja dari segi kuantitas, tetapi juga segi bobot
kelulusan.Harus bersama-sama ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan dasar yang kokoh, diwadahi oleh keuletan,
tekad, kerja keras, disiplin, komitmen serta perjuangan bersama. Kalau kita mau
menjadi bangsa yang tangguh dan berbobot, jangan pernah nuansa kemalasan dan
mental easy going menyelimuti dunia pendidikan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar